Showing posts with label An-Nisaa’. Show all posts
Showing posts with label An-Nisaa’. Show all posts

Tuesday, June 12, 2018

An-Nisaa’

0 Comments

An-Nisaa’


Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’(Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
Tafsir Ibnu Katsir Lengkap Klik Disini
An-Nisaa’, ayat: 1
-Perintah Allah untuk bertakwa kepada-Nya
An-Nisaa’, ayat: 2-4
-Perintah Allah untuk menyerahkan keseluruhan harta anak yatim, jika mereka telah baligh dan ancaman dari memakannya
-Dibolehkannya menikahi wanita hingga empat orang, asalkan memiliki kemampuan dan dapat berbuat adil di antara mereka
-Perintah memberikan mahar (maskawin) kepada wanita
An-Nisaa’, ayat: 5-6
-Bimbingan Allah dalam mengurus harta anak yatim
An-Nisaa’, ayat: 7-10
-Laki-laki dan wanita mendapatkan hak waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan untuk masing-masingnya
-Perintah untuk bersedekah kepada orang fakir dari kerabat yang bukan ahli waris, anak-anak yatim dan orang orang miskin di saat pembagian waris
-Perintah untuk memperhatikan kemaslahatan ahli waris
-Ancaman bagi orang yang memakarr harta anak yatim secara zhalim
An-Nisaa’, ayat: 11
-Pokok-pokok dalam hukum waris
An-Nisaa’, ayat: 12
-Pokok-pokok dalam hukum waris
An-Nisaa’, ayat: 13-14
-Perintah untuk mentaati ketentuan-ketentuan yang telah Allah gariskan, khususnya dalam hal waris
An-Nisaa’, ayat: 15-16
-Mengenai hukuman zina pada permulaan Islam yang kemudian dihapus-Nya dengan hukum jild (cambuk) dan rajam
An-Nisaa’, ayat: 17-18
-Allah menerima taubat seseorang selama ajal belum sampai ke tenggorokan
An-Nisaa’, ayat: 19-22
-Larangan untuk mewarisi wanita sebagaimana yang terjadi pada masa sebelum Islam.
-Larangan untuk menyusahkan isteri, karena untuk mengambil kembali mahar.
-Perintah untuk bergaul dengan baik terhadap isteri.
-Larangan untuk mengambil kembali mahar yang telah diberikan.
-Larangan untuk menikahi wanita yang telah dinikahi oleh Bapak
An-Nisaa’, ayat: 23-24
-Para mahram yang haram dinikahi dan beberapa ketentuan lainnya yang berkenaan dengan wanita yang haram dinikahi
An-Nisaa’, ayat: 25
-Keterangan mengenai menikahi budak
An-Nisaa’, ayat: 26-28
-Allah berkehendak untuk menjelaskan hukum-Nya, mengampuni dan memberikan keringanan kepada orang-orang mukmin
An-Nisaa’, ayat: 29-31
-Larangan untuk memakan harta sesame manusia dengan bathil, kecuali dengan jalan perdagangan
An-Nisaa’, ayat: 32
-Larangan untuk iri terhadap apa yang dimiliki seseorang dan juga larangan terhadap in hatinya wanita untuk disamakan dengan laki-laki
An-Nisaa’, ayat: 33
-Hak ahli waris untuk menerima pembagian dari peninggalan kedua orang tua dan kerabat keluarganya.
-Penjelasan mengenai sumpah setia dan hubungannya dengan warisan
An-Nisaa’, ayat: 34
-Pengutamaan laki-laki terhadap wanita.
-Sifat wanita shalihah.
-Mengenai wanita yang nusyuz
An-Nisaa’, ayat: 35
-Mendamaikan perselisihan antara suami isteri
An-Nisaa’, ayat: 36
-Perintah untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada ibu bapak dan kepada beberapa orang lainnya yang Allah rinci penyebutannya
An-Nisaa’, ayat: 37-39
-Ancaman terhadap perbuatan bakhil dan riya’
An-Nisaa’, ayat: 40-42
-Allah tidak menyia-nyiakan amal seorang hamba walau sekecil apa pun amal itu, bahkan Allah melipatgandakan pahala amal tersebut
An-Nisaa’, ayat: 43
-Larangan bagi orang mabuk untuk mengerjakan shalat, hal ini terjadi sebelum khamr diharamkan
An-Nisaa’, ayat: 44-46
-Laknat Allah ‘ kepada orang Yahudi
An-Nisaa’, ayat: 47-48
-Kewajiban Ahlul Kitab untuk beriman kepada al-Qur’an
-Diampuninya seluruh dosa kecuali syirik kepada Allah
An-Nisaa’, ayat: 49-52
-Celaan Allah terhadap Yahudi dan Nasrani
-Pembahasan mengenaijibt dan thaghut
An-Nisaa’, ayat: 53-55
-Celaan Allah terhadap Yahudi dan Nasrani berkenaan dengan kebakhilan dan kedengkian mereka
An-Nisaa’, ayat: 56-57
-Ancaman Allah terhadap orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan kabar gembira bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
An-Nisaa’, ayat: 58
-Kewajiban untuk menunaikan amanat.
-Kewajiban bagi para hakim untuk menegakkan keadilan di antara manusia
An-Nisaa’, ayat: 59
-Perintah untuk mentaati Allah , Rasul-Nya dan Ulil Amri.
-Perintah untuk kembali (merujuk) kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, jika terjadi perbedaan pendapat
An-Nisaa’, ayat: 60-63
-Ancaman Allah terhadap orang yang tidak berhujjah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
-Ancaman Allah ‘ terhadap orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 64-65
-Seseorang belum beriman hingga ia ridha terhadap apa yang diputuskan oleh Rasulullah
An-Nisaa’, ayat: 66-70
-Kedudukan orang yang mentaati Allah dan Rasul-Nya
An-Nisaa’, ayat: 71-74
-Kewajiban untuk bersiap-siaga dan waspada terhadap serangan musuh
-Keadaan orang munafik dalam keengganan dan berlambat-lambatnya mereka dalam menghadapi perang
An-Nisaa’, ayat: 75-76
-Dorongan Allah terhadap orang-orang mukmin untuk berperang di jalan Allah dan menyelamatkan orang-orang yang tertindas di kota Makkah
An-Nisaa’, ayat: 77-79
-Celaan Allah terhadap orang-orang yang takut perang.
-Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah. Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri
An-Nisaa’, ayat: 80-81
-Barangsiapa yang mentaati Rasulullah berarti ia telah mentaati Allah Penipuan orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 82-83
-Perintah untuk mentadabburi al-Qur’an.
-Larangan Allah terhadap terburu-buru dalam menyebarkan suatu berita sebelum diteliti terlebih dahulu kebenarannya
An-Nisaa’, ayat: 84-87
-Dorongan Allah kepada Nabi-Nya dan kepada orang-orang mukmin untuk berperang
-Mengenai memberikan syafa’at (pertolongan).
-Cara menjawab salam.
-Allah bersumpah bahwa Ia akan mengumpulkan manusia pada hari Kiamat
An-Nisaa’, ayat: 88-91
-Teguran Allah ‘ terhadap sikap orang mukmin dalam menghadapi orang-orang munafik dan petunjuk Allah dalam menghadapi mereka
An-Nisaa’, ayat: 92-93
-Ancaman bagi orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
An-Nisaa’, ayat: 94
-Perintah untuk meneliti dan hati-hati dalam membunuh seseorang dalam peperangan
An-Nisaa’, ayat: 95-96
-Keutamaan orang yang berjihad di jalan Allah
An-Nisaa’, ayat: 97-100
-Balasan bagi orang yang tinggal bersama orang-orang musyrik, padahal mereka tidak mungkin untuk menegakkan agama di sana, dan mereka sebenarnya sanggup untuk berhijrah.
-Dorongan untuk berhijrah
An-Nisaa’, ayat: 101
-Pensyari’atan mengqashar shalat dalam safar
An-Nisaa’, ayat: 102
-Pensyari’atan shalat khauf
An-Nisaa’, ayat: 103-104
-Perintah untuk berdzikir setelah shalat
-Penekanan terhadap kewajiban shalat
-Larangan dari bersikap lemah
An-Nisaa’, ayat: 105-109
-Petunjuk Allah bagi Rasul-Nya dalam menetapkan dan memutuskan hukum
An-Nisaa’, ayat: 110-113
-Allah pasti mengampuni orang yang bertaubat kepada-Nya
-Ancaman bagi orang yang melemparkan tuduhan kepada orang yang tidak bersalah
-Karunia Allah yang besar yang diberikan kepada Rasulullah
An-Nisaa’, ayat: 114-115
-Keutamaan untuk menganjurkan bersedekah dan mendamaikan orang yang sedang berselisih.
-Ancaman bagi orang yang menyelisihi Rasulullah dan ijma’
An-Nisaa’, ayat: 116-122
-Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain itu
-Ancaman bagi perbuatan syirik.
-Janji Allah bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
An-Nisaa’, ayat: 123-126
-Agama itu bukan dengan hiasan dan angan-angan, tetapi agama adalah sesuatu yang tertanam dalam hati dan dibuktikan
dengan amal perbuatan.
-Balasan terhadap perbuatan jelek dan perbuatan baik.
-Pujian terhadap mengikhlaskan amal kepada Allah dan mengerjakan kebaikan, serta mengikuti agama Ibrahim yang hanif (lurus)
An-Nisaa’, ayat: 127
-Perintah Allah 39 untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap urusan anak yatim dan anak-anak yang dipandang masih lemah
An-Nisaa’, ayat: 128-130
-Tuntunan Allah ‘ dalam penyelesaian dengan damai terhadap kekhawatiran isteri akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari pihak suami.
-Larangan untuk terlalu cenderung kepada salah seorang isteri dan membiarkan yang lainnya terkatung-katung
An-Nisaa’, ayat: 131-134
-Perintah untuk bertakwa kepada Allah
An-Nisaa’, ayat: 135
-Perintah untuk melaksanakan persaksian dengan benar (jujur), walaupun terhadap diri sendiri
An-Nisaa’, ayat: 136
-Perintah Allah kepada orang-orang beriman untuk memasuki seluruh syari’at, cabang, rukun dan seluruh tiang keimanan
An-Nisaa’, ayat: 137-140
-Tidak ada taubat bagi orang yang murtad untuk kedua kaiinya dan semakin bertambah kekufurannya setelah itu
-Ancaman bagi orang-orang munafik dan orang-orang kafir
-Larangan untuk duduk bersama orang-orang yang sedang mengingkari dan mengolok-olok ayat Allah
An-Nisaa’, ayat: 141
-Sebagian sifat orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 142-143
-Di antara sifat lainnya dari orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 144-147
-Larangan untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
-Adzab Allah bagi orang-orang munafik.
-Allah memaafkan bagi orang munafik yang bertaubat, lalu memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah ikhlaskan agamanya kepada Allah
An-Nisaa’, ayat: 148-149
-Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus-terang, kecuali oleh orang yang dianiaya.
-Perbuatan baik, yang disembunyikan maupun yang dinyatakan atau perbuatan memaafkan orang lain, semua itu akan
mendekatkan diri seseorang kepada Allah dan Allah akan memberikan pahala di sisi-Nya
An-Nisaa’, ayat: 150-152
-Kafirnya orang yang memisahkan antara keimanan terhadap Allah dan keimanan terhadap Rasul-Nya
-Kabar gembira bagi orang yang beriman kepada Allah dan seluruh Rasul-Nya, serta tidak membedakan seorang pun
di antara mereka
An-Nisaa’, ayat: 153-154
-Tidak dikabulkannya permohonan orang Yahudi agar diturunkan sebuah kitab dari langit kepada mereka, karena hal itu tidak akan menjadikan mereka taat dan beriman sebagaimana permintaan mereka sebelumnya kepada Nabi Musa
An-Nisaa’, ayat: 155-159
-Berbagai dosa dan pelanggaran serta kejahatan yang diperbuat.oleh Yahudi. Di antaranya adalah tuduhan keji mereka terhadap Maryam dan pengakuan mereka bahwa mereka telah membunuh `Isa dan penjelasan Allah mengenai hal tersebut
An-Nisaa’, ayat: 160-162
-Kezhaliman dan pelanggaran Yahudi, hukuman Berta ancaman Allah bagi mereka
-Pujian dan janji Allah bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang masuk Islam di antara orang-orang Yahudi
An-Nisaa’, ayat: 163-165
-Penetapan nubuwwah dan kerasulan bagi Rasulullah, sebagaimana diberikannya nubuwwah dan kerasulan kepada Nabi dan Rasul yang lainnya
-Musa adalah kalimullah (orang yang berbicara dengan Allah)
An-Nisaa’, ayat: 166-170
-Penetapan kebenaran al-Qur’an, bahwa al-Qur’an benar-benar diturunkan dari Allah
-Di antara tujuan diutusnya para Rasul
An-Nisaa’, ayat: 171
-Peringatan Allah terhadap Ahlul Kitab (khususnya Nashara), agar jangan ghuluww (berlebihan) dalam mengangkat Nabi
`Isa sehingga sampai ke derajat menyembahnya, dan kesalahan serta dusta mereka dalam anggapan dan keyakinan mereka terhadap Allah
An-Nisaa’, ayat: 172-173
-Nabi `Isa dan para Malaikat tidaklah enggan untuk menjadi hamba Allah dan untuk beribadah kepadanya.
-Janji Allah kepada orang yang beriman kepada-Nya dan mengerjakan amal shalih.
-Ancaman Allah ” bagi orang yang enggan dan sombong untuk beribadah dan mentaati Allah
An-Nisaa’, ayat: 174-175
-Perintah Allah kepada seluruh manusia agar beriman kepada al-Qur’an.
-Janji Allah bagi orang yang beriman dan berpegang teguh kepada agama-Nya…
An-Nisaa’, ayat: 176
-Penjelasan mengenai kalalah
&

Monday, June 11, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 176

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 176

17NOV
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu); Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan sau­daranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara pe­rempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perem­puan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisaa’ ayat 176)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ قَالَ: آخِرُ سُورَةٍ نَزَلَتْ: “بَرَاءَةٌ”، وَآخِرُ آيَةٍ نَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Su­laiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra (Ibnu Azib r.a.) berkata, “Surat yang paling akhir diturunkan adalah surat Al-Bara’ah (At-Taubah), dan ayat yang paling akhir diturunkan ada­lah firman-Nya: ‘Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)’ (An-Nisa: 176). hingga akhir ayat.”
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: دَخَلَ عَلَيّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَا مَرِيضٌ لَا أَعْقِل، قَالَ: فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَبَّ عَلَيّ -أَوْ قَالَ صُبُّوا عَلَيْهِ -فَعَقَلْتُ فَقُلت: إِنَّهُ لَا يَرِثُنِي إِلَّا كَلَالَةٌ، فَكَيْفَ الْمِيرَاثُ؟ قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْفَرَائِضِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Mu­hammad ibnul Munkadir yang menceritakan bahwa ia pernah mende­ngar Jabir ibnu Abdullah mengatakan: “Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku ketika aku sedang sakit dan dalam keadaan tidak sadar.” Jabir melanjutkan kisah­nya, “Lalu Rasulullah Saw. berwudu, kemudian mengucurkan bekasnya kepadaku; atau perawi mengatakan bahwa mereka (yang hadir) menyiramkan (bekas air wudu)nya kepada Jabir. Karena itu aku sadar, lalu aku bertanya, ‘Sesungguhnya tidak ada yang mewarisiku kecuali kalalah. Bagaimanakah cara pem­bagiannya?’.” Lalu Allah menurunkan ayat faraid.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain melalui Syu’bah.
Jama’ah meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir dengan lafaz yang sama.
Sedangkan dalam lafaz yang lainnya disebutkan bahwa lalu turunlah ayatmiras, yaitu firman-Nya:
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah.” (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Zubair (yakni Jabir) mengatakan bahwa ayat ber­ikut diturunkan berkenaan dengan diriku, yaitu firman-Nya:
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang katalah.” (An-Nisa: 176)
Seakan-akan makna ayat —hanya Allah Yang lebih mengetahui— bahwa mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah.
*******
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kala­lah.” (An-Nisa: 176)
Yakni perihal mewaris secara kalalah. Lafaz yang disebutkan ini me­nunjukkan adanya lafaz yang tidak disebutkan.
Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan makna lafaz ka­lalah dan akar katanya, bahwa kalalah itu diambil dari pengertian un­taian bunga yang dikalungkan di atas kepala sekelilingnya. Karena itulah mayoritas ulama menafsirkannya dengan pengertian orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua. Menurut salinan yang lain, tidak mempunyai anak, tidak pula cucu.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Seperti yang ditunjukkan oleh pengertian ayat ini, yaitu firman-Nya:
{إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ} {لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ}
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, (An-Nisa: 176)
Sesungguhnya hukum masalah kalalah ini sulit dipecahkan oleh Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a.. seperti yang disebutkan di da­lam kitab Ash-Shahihain darinya, bahwa ia telah mengatakan:
ثَلَاثٌ وَدِدْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان عَهِدَ إِلَيْنَا فِيهِنَّ عَهْدًا نَنْتَهِي إِلَيْهِ: الْجَدُّ، وَالْكَلَالَةُ، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا.
Ada tiga perkara yang sejak semula aku sangat menginginkan bi­la Rasulullah Saw. memberikan keterangan kepada kami tentang­nya dengan keterangan yang sangat memuaskan kami, yaitu ma­salah kakek, masalah kalalah, dan salah satu bab mengenai masalah riba.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادة، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الجَعْد، عَنْ مَعْدان بْنِ أَبِي طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا سألتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ أَكْثَرَ مِمَّا سَأَلْتُهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، حَتَّى طَعَنَ بأُصْبُعِه فِي صَدْرِي وَقَالَ: ” يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ الَّتِي فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ”.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja’d, dari Ma’dan ibnu Abu Talhah yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa ia belum pernah menanyakan ke­pada Rasulullah Saw. suatu masalah pun yang lebih banyak dari per­tanyaannya tentang masalah kalalah, sehingga Rasulullah Saw. menotok dada Umar dengan jari telunjuknya seraya bersabda: Cukuplah bagimu ayat saif (ayat yang diturunkan di musim pa­nas) yang terdapat di akhir surat An-Nisa.
Demikianlah riwayat Imam Ahmad secara singkat. Imam Muslim mengetengahkannya dengan lafaz yang panjang dan lebih banyak daripada riwayat Imam Ahmad.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
قَالَ [الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، حَدَّثَنَا مالك -يعني ابن مِغْل-سَمِعْتُ الْفَضْلَ بْنَ عَمْرٍو، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عُمَرَ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: ” يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ “. فَقَالَ: لَأَنْ أَكُونَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا أحبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يكونَ لِي حُمْر النَّعم.
Disebutkan bahwa te­lah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Malik (yakni Ibnu Magul) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fadl ibnu Amr, dari Ibrahim, dari Umar yang menga­takan, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka beliau Saw. menjawab: “Cukuplah bagimu ayat saif.” Umar mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kalalah lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah.”
Sanad hadis ini jayyid, hanya di dalamnya terdapat inqita’ (mata rantai sanad yang terputus) antara Ibrahim dan Umar, karena sesungguhnya Ibrahim tidak menjumpai masa Umar r.a.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ البَراءِ بْنِ عازبٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: ” يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ “.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa se­orang lelaki datang kepada Nabi Saw. dan menanyakan kepadanya tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. menjawab: Cukuplah bagimu ayat saif.
Sanad hadis ini jayyid, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui Abu Bakar ibnu Ayyasy dengan lafaz yang sama. Seakan-akan yang dimaksud dengan ayat saif ialah ayat yang diturun­kan pada musim panas.
Mengingat Nabi Saw. memberikan petunjuk kepadanya untuk memahami ayat tersebut, hal ini berarti di dalam ayat terkandung ke­cukupan yang nisbi untuk tidak menanyakannya kepada Nabi Saw. tentang maknanya. Karena itulah maka Khalifah Umar r.a. mengata­kan, “Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah ini, lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah.”
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب قَالَ: سَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: ” أَلَيْسَ قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ ذَلِكَ؟ ” فَنَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الكَلالَةِ]} الْآيَةَ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’. telah menceritakan kepada kami Jarir. telah menceritakan ke­pada kami Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa’id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. men­jawab: Bukankah Allah telah menjelaskan hal tersebut? Lalu turunlah firman-Nya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengatakan di dalam khotbahnya: Ingatlah, sesungguhnya ayat yang diturunkan pada permulaan surat An-Nisa berkenaan dengan masalah faraid, Allah menurun­kannya untuk menjelaskan warisan anak dan orang tua. Ayat yang kedua diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan suami, istri, dan saudara-saudara lelaki seibu. Ayat yang meng­akhiri surat An-Nisa diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang seibu seayah (sekandung). Dan ayat yang mengakhiri surat Al-Anfal diturunkan berkenaan dengan masalah orang-orang yang mem­punyai hubungan darah satu sama lain yang lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitabullah sesuai dengan ketentuan asabah dari hubungan darah.
Atsar diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 174-175

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 174-175

17NOV
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 174-175
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti ke­benaran dari Tuhan kalian, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang ben­derang (Al-Qur’an). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepa­da jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” (An-Nisaa’ ayat 174-175)
Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada semua umat manusia dan se­bagai pemberitahuan kepada mereka, bahwa sesungguhnya telah datang kepada mereka bukti kebenaran yang besar dari Allah Swt., yaitu dalil yang pasti yang membantah semua alasan, dan hujah yang mele­nyapkan semua kerumitan. Karena itulah disebutkan pada permulaan ayat melalui firman-Nya:
{وَأَنزلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا}
dan telah Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang ben­derang. (An-Nisa: 174)
Yaitu cahaya yang terang dan jelas menunjukkan perkara yang hak. Menurut Ibnu Juraij dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah Al-Qur’an.
{فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ}
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya (An-Nisa: 175)
Yakni memadukan antara ibadah dan bertawakal kepada Allah dalam semua urusan mereka. Ibnu Juraij mengatakan bahwa makna yang di­maksud ialah “orang-orang yang beriman dan berpegang teguh ke­pada Al-Qur’an”. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
{فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ}
niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya. (An-Nisa: 175)
Allah belas kasihan kepada mereka, maka Dia memasukkan mereka ke dalam surga dan menambahkan kepada mereka pahala yang berlipat ganda; derajat mereka ditinggikan berkat karunia Allah kepada mereka dan kebaikan-Nya.
{وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا}
Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (An-Nisa: 175)
Yaitu jalan yang jelas, tujuan yang lurus, tidak ada bengkoknya dan tidak ada penyimpangan.
Demikianlah gambaran tentang orang-orang mukmin di dunia dan akhirat. Di dunia mereka berada pada tuntunan yang lurus dan ja­lan keselamatan dalam semua akidah dan amaliyahnya, sedangkan di akhirat berada pada jalan Allah yang lurus yang menghantarkan me­reka ke taman-taman surga-Nya.
Di dalam hadis Al-Haris Al-A’war, dari Ali ibnu Abu Talib r.a., dari Nabi Saw. disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
” الْقُرْآنُ صراطُ اللهِ المستقيمُ وحبلُ اللَّهِ الْمَتِينُ ”
Al-Qur’an adalah jalan Allah yang lurus dan tali Allah yang kuat.
Hadis ini secara lengkap telah disebutkan pada permulaan kitab tafsir ini, hanya milik Allah-lah segala puji dan karunia.

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 172-173

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 172-173

17NOV
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 172-173
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barang siapa yang enggan dari menyembah-Nya dan me­nyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. Adapun orang-orang yang beriman dan ber­buat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala me­reka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka pelindung dan penolong selain dari Allah.” (An-Nisaa’ ayat 172-173)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
لَنْ يَسْتَنْكِفَ
tidak sekali-kali enggan. (An-Nisa: 172)
Makna yang dimaksud ialah tidak menyombongkan diri, sedangkan menurut Qatadah artinya tidak enggan atau tidak segan-segan.
{الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ}
Al-Masih menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). (An-Nisa: 172)
Sebagian ulama mengatakan bahwa malaikat lebih utama dari manu­sia berdasarkan ayat ini, karena Allah Swt. telah berfirman:
{وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ}
Dan tidak pula enggan malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). (An-Nisa: 172)
Padahal mereka tidak mempunyai dalil dari ayat ini, karena sesungguhnya lafaz ul-mala-ikah di-‘ataf-kan kepada al-masih tiada lain ka­rena pengertian istinkaf adalah enggan atau menolak, sedangkan para malaikat lebih mampu daripada Al-Masih untuk melakukan hal ter­sebut. Untuk itu disebutkan:
{وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ}
dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah) (An-Nisa: 172)
Padahal tidak mesti bila keadaan mereka lebih kuat dan lebih mampu daripada Al-Masih untuk melakukan hal tersebut, lalu dikatakan bah­wa mereka lebih utama daripada dia.
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya para malaikat dise­butkan dalam ayat ini tiada lain karena mereka dijadikan sebagai tu­han-tuhan selain Allah, sebagaimana Al-Masih dijadikan tuhan. Maka Allah Swt. memberitahukan bahwa mereka semuanya adalah hamba-hamba-Nya dan makhluk-Nya, seperti yang disebutkan di dalam fir­man-Nya:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ
Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah meng­ambil(mempunyai) anak,” Mahasuci Allah. Sebenarnya (malai­kat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. (Al-Anbiya: 26)
hingga beberapa ayat selanjutnya.
Karena itu. dalam firman selanjut­nya dari ayat ini disebutkan:
{وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا}
Barang siapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyom­bongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua ke­pada-Nya. (An-Nisa: 172)
Yaitu kelak Allah Swt. akan mengumpulkan semuanya di hari kiamat, dan Dia akan memutuskan di antara mereka dengan hukum-Nya yang adil lagi tidak aniaya dan tidak ada penyimpangan (berat sebelah).
Dalam ayat berikutnya disebutkan:
{فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ}
Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, ma­ka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 173)
Artinya, Allah akan memberi mereka pahala yang sesuai dengan amal salehnya, dan memberikan tambahan kepada mereka atas hal tersebut dari karunia, kebaikan, anugerah, rahmat, dan keluasan-Nya.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُوَيه مِنْ طَرِيقِ بَقِيَّة، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْكِنْدِيِّ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ} قال: أُجُورُهُمْ: أَدْخَلَهُمُ الْجَنَّةَ”. {وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ} قَالَ: “الشَّفَاعَةُ فِيمَنْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ مِمَّنْ صَنَعَ إِلَيْهِمُ الْمَعْرُوفَ فِي دُنْيَاهُمْ”.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari jalur Baqiyyah, dari Ismail ibnu Abdullah Al-Kindi, dari Al-A’masy, dari Sufyan, dari Abdullah secara marfu’, bahwa Rasulullah Saw membaca firman-Nya: maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menam­bah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 173) Yakni pahala mereka sepenuhnya. Lalu Rasulullah Saw. bersabda menafsirkannya: Allah memasukkan mereka ke dalam surga. Adapun untuk firman Allah Swt. berikut ini: dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 173) Nabi Saw. bersabda menafsirkan pengertian tambahan itu, yaitu: (Diizinkan oleh Allah memberi) syafaat terhadap orang yang telah dipastikan baginya masuk neraka, dari kalangan orang-orang yang pernah berbuat kebaikan kepada mereka ketika di dunianya.
Akan tetapi, sanad hadis ini tidak kuat; dan apabila memang benar di­riwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud secara mauquf, maka predikat­nya jayyid (baik).
*
{وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا}
Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri. (An-Nisa: 173)
Yakni tidak mau taat kepada Allah dan tidak mau menyembah-Nya serta menyombongkan dirinya dari hal itu. Maka dalam firman selan­jutnya disebutkan balasan mereka, yaitu:
{فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا}
maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka pelindung dan penolong selain dari Allah. (An-Nisa: 173)
Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (Al-Mu-min: 60)
Yakni dalam keadaan hina dina dan tertunduk, sebagaimana mereka congkak dan sombong ketika di dunianya.

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 171

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 171

17NOV
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 171
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan, ‘(Tuhan itu) tiga,’ berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. Sesung­guhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Allah dari mem­punyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara.” (An-Nisaa’ ayat 171)
Allah Swt. melarang Ahli Kitab bersikap melampaui batas dan me­nyanjung secara berlebihan. Hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang Nasrani, karena sesungguhnya mereka melampaui batas sehu­bungan dengan Isa. Mereka mengangkatnya di atas kedudukan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, lalu memindahkannya dari tingkat kenabian sampai menjadikannya sebagai tuhan selain Allah yang mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Dia.
Bahkan pengikut dan golongannya —yaitu dari kalangan orang-orang yang mengakui bahwa dirinya berada dalam agamanya (Isa)— bersikap berlebihan pula, lalu mereka mengakui dirinya terpelihara dari kesalahan. Akhirnya para pengikut mereka mengikuti semua yang dikatakannya, baik hak atau batil, baik sesat atau benar, baik jujur ataupun dusta. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mere­ka sebagai tuhan selain Allah. (Ai-Taubah: 31), hingga akhir ayat.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم قَالَ: زَعَمَ الزُّهْرِي، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبة بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: “لَا تُطْرُوني كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ”.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa Az-Zuhri menduga dari Ubaidillah ibnu Ab­dullah ibnu Atabah ibnu Mas’ud, dari Ibnu Abbas, dari Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana orang-orang Nasrani menyanjung-nyanjung Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakan­lah, “Hamba dan utusan Allah.”
Kemudian ia meriwayatkannya pula —juga Ali ibnul Madini-— dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri. yang lafaznya seperti berikut:
«إنما أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ»
Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah oleh kalian, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa predikat hadis ini sahih lagi musnad. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Al-Humaidi. dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut:
“فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ”
Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا حمَّاد بْنِ سَلَمَة، عَنْ ثَابِتٍ البُناني، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: مُحَمَّدٌ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَهْويَنَّكُمُ الشيطانُ، أَنَا محمدُ بنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit Al-Bannani, dari Anas ibnu Malik, bahwa seorang lelaki pernah mengatakan, “Ya Muhammad, ya tuan kami, anak tuan kami yang paling baik dari kami, dan anak orang yang paling baik dari kami.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai manusia, peliharalah ucapan kalian, dan jangan sekali-kali setan menjerumuskan kalian. Aku adalah Muhammad ibnu Ab­dullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak suka bila kalian mengangkatku di atas kedudukanku yang telah diberi­kan oleh Allah Swt. kepadaku.
Hadis ini bila ditinjau dari segi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (sendirian).
*
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ}
dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.(An-Nisa: 171)
Maksudnya, janganlah kalian membuat kedustaan terhadap-Nya dan menjadikan bagi-Nya istri dan anak. Mahasuci Allah lagi Mahatinggi dari hal itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, Mahasuci lagi Maha Esa Zat Allah dalam sifat Keagungan dan Kebesaran-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada Rabb selain Dia.
Dalam ayat Selanjutnya disebutkan:
{إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ}
Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan(yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan­Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171)
Sesungguhnya Isa itu hanyalah seorang hamba Allah dan makhluk yang diciptakan-Nya. Allah berfirman kepadanya, “Jadilah kamu,” maka jadilah dia. Dia (Isa) hanyalah utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Allah sampaikan kepada Maryam. Dengan kata lain, Allah menciptakan Isa melalui kalimat perintah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril a.s. dari Allah Swt. kepada Maryam. Lalu Malaikat Jibril me­niupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Maryam dengan seizin Allah. Maka jadilah Isa dengan seizin Allah.
Embusan itu ditiupkan oleh Malaikat Jibril ke dalam baju kurung Maryam, lalu tiupan itu turun hingga masuk ke dalam farjinya, sama kedudukannya dengan pembuahan yang dilakukan oleh seorang lelaki kepada istrinya: semuanya adalah makhluk Allah Swt. Karena itu, di­katakan bahwa Isa adalah kalimat Allah dan roh dari ciptaan-Nya, mengingat kejadiannya tanpa melalui proses seorang ayah. Sesung­guhnya ia timbul dari kalimah yang diucapkan oleh Allah melalui Jib­ril kepada Maryam, yaitu kalimat kun (Jadilah), maka jadilah Isa, dan roh yang dikirimkan oleh Allah kepada Maryam melalui Jibril. Allah Swt berfirman:
{مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعَامَ}
Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesung­guhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya se­orang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan. (Al-Maidah: 75)
Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Sesungguhnya misal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudi­an Allah berfirman kepadanya, “Jadilah!” (seorang manusia). Maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)
{وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِلْعَالَمِينَ}
Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormat­annya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 91)
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا
dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormat­annya. (At-Tahrim: 12), hingga akhir ayat.
Firman Allah Swt. menceritakan perihal Isa Al-Masih, yaitu:
إِنْ هُوَ إِلا عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepa­danya nikmat (kenabian). (Az-Zukhruf: 59), hingga akhir ayat.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:
{وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ}
dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa:171)
Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
{كُنْ}
Jadilah/ Maka terjadilah ia. (Yasin: 82)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ah­mad ibnu Sinan Al-Wasiri yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Syaz ibnu Yahya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
{وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ}
dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171)
Bahwa bukanlah kalimat yang menjadikan Isa, tetapi dengan kalimat itu akhirnya jadilah Isa.
Pendapat ini lebih baik daripada apa yang di­katakan oleh Ibnu Jarir sehubungan dengan firman-Nya:
{أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ}
Yang disampaikan-Nya kepada Maryam. (An-Nisa: 171)
Makna yang dimaksud ialah Allah mengajarkan kalimat itu kepada Maryam. sama seperti apa yang dikatakannya sehubungan dengan makna firman-Nya:
{إِذْ قَالَتِ الْمَلائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ}
(Ingatlah) ketika malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya. (Ali Imran: 45)
Makna yang dimaksud ialah mengajarkan kepadamu suatu kalimat dari-Nya. Ibnu Jarir menjadikan makna ayat ini sama dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ}
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu. (Al-Qashash: 86)
Bahkan pendapat yang sahih (benar) ialah yang mengatakan bahwa kalimat tersebut didatangkan oleh Malaikat Jibril kepada Maryam, lalu Malaikat Jibril meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Mar­yam dengan seizin Allah. Maka jadilah Isa a.s.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَيْر بْنُ هَانِئٍ، حَدَّثَنِي جُنَادةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وروحٌ مِنْهُ، والجنةَ حُقٌّ، والنارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ”. قَالَ الْوَلِيدُ: فَحَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ عُمير بْنِ هَانِئٍ، عَنْ جُنَادة زَادَ: “مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid Al-Auza’i, telah menceritakan kepadaku Umair ibnu Hani’, telah mence­ritakan kepada kami Junadah ibnu Abu Umayyah, dari Ubadah ibnus Samit, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta roh dari-Nya, dan bahwa surga itu benar, neraka itu benar, nis­caya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berdasarkan amal yang telah dikerjakannya. Al-Walid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, dari Umair ibnu Hani’, dari Junadah yang di dalamnya disebutkan tambahan, yaitu: (Allah memasukkannya) ke dalam salah satu dari pintu-pintu surga yang delapan buah, dia boleh memasukinya dari pintu ma­na pun yang disukainya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Daud ibnu Rasyid, dari Al-Walid, dari Ibnu Jabir dengan lafaz yang sama. Dari jalur yang lain dari Al-Auza’i dengan lafaz yang sama.
Firman Allah yang ada dalam ayat, dan hadis yang semakna, ya­itu:
{وَرُوحٌ مِنْهُ}
dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171) semakna dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ}
Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. (Al-Jatsiyah: 13)
Yakni dari kalangan makhluk-Nya dan dari sisi-Nya. Lafaz min di sini bukan untuk makna tab’id (sebagian) seperti yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani —semoga laknat Allah yang berturut-turut menimpa mereka— melainkan makna yang dimaksud ialah ibtida-ul goyah, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
{وَرُوحٌ مِنْهُ}
dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa; 171)
Yang dimaksud dengan ruhun dalam ayat ini ialah rasulun minhu, yakni urusan dari-Nya. Sedangkan selain Mujahid mengatakan ma-habbatan minhu, yakni kasih sayang dari-Nya. Tetapi pendapat yang kuat ialah yang pertama, yaitu yang mengatakan bahwa Nabi Isa di-ciptakan dari roh ciptaan-Nya. Kemudian lafaz roh di-mudaf-kan (di­gandengkan) dengan-Nya dengan maksud mengandung pengertian tasyrif (kehormatan), sebagaimana lafaz naqah (unta) di-mudaf-kan kepada Allah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
{هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ}
Unta betina Allah ini. (Al-A’raf: 73) Dan lafaz baitun (rumah) yang terdapat di dalam firman-Nya:
{وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ}
Bersihkanlah rumah-Ku, untuk orang-orang yang tawaf. (Al-Hajj: 26)
Juga seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengata­kan:
“فَأَدْخُلُ عَلَى رَبِّي فِي دَارِهِ”
Maka aku masuk menemui Tuhanku di dalam rumah-Nya.
Nabi Saw. me-mudaf-kan lafaz darun (rumah) kepada Allah dengan maksud sebagai kehormatan terhadap rumah tersebut. Masing-masing dari apa yang telah disebutkan termasuk ke dalam bab yang sama.
*
Firman Allah Swt,:
{فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ}
Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. (An-Nisa: 171)
Maksudnya, percayalah bahwa Allah adalah Satu, lagi Maha Esa, ti­ada beranak, dan tiada beristri; dan ketahuilah serta yakinilah bahwa Isa itu adalah hamba dan Rasul-Nya.
Dalam firman Selanjutnya disebutkan:
{وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ}
dan janganlah kalian mengatakan, “(Tuhan itu) tiga.” (An-Nisa: 171)
Yakni janganlah kalian menjadikan Isa dan ibunya digandengkan de­ngan Allah sebagai dua orang yang mcnyekutui-Nya. Mahatinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:
{لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ}
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwa­sanya Allah salah seorang dari yang tiga,” padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. (Al-Maidah: 73}
Dalam ayat lainnya —masih dalam surat yang sama— Allah Swt. berfirman pula:
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman.”Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku.’ (Al-Maidah: 116) hingga akhir ayat.”
Dalam Surat Al-Maidah pada ayat lainnya Allah Swt. berfirman:
{لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ}
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Se­sungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam.” (Al-Maidah: 17 dan 72), hingga akhir ayat.
Orang-orang Nasrani —la’natullahi ‘alaihim— karena kebodohan mereka, maka mereka tidak ada pegangan; kekufuran mereka tidak terbatas, bahkan ucapan dan kesesatannya sudah parah. Ada yang beranggapan bahwa Isa putra maryam adalah Tuhan, ada yang menganggapnya sebagai sekutu, dan ada yang menganggapnya sebagai anak. Mereka terdiri atas berbagai macam sekte yang cukup banyak jumlahnya; masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dan penda­pat mereka tidak ada yang sesuai, semuanya bertentangan.
Salah seorang ahli ilmu kalam (Tauhid) mengatakan suatu penda­pat yang tepat, bahwa seandainya ada sepuluh orang Nasrani berkum­pul, niscaya pendapat mereka berpecah-belah menjadi sebelas penda­pat.
Salah seorang ulama Nasrani yang terkenal di kalangan mereka (yaitu Sa’id ibnu Patrik yang tinggal di Iskandaria pada sekitar tahun empat ratus Hijriah) menyebutkan bahwa mereka mengadakan suatu pertemuan besar yang di dalamnya mereka melakukan suatu misa be­sar.
Padahal sesungguhnya hal tersebut tiada lain hanyalah suatu pengkhianatan yang hina lagi rendah. Hal ini terjadi pada masa Kon­stantinopel, pembangun kota yang terkenal itu. Lalu mereka berselisih pendapat dalam pertemuan tersebut dengan perselisihan yang tidak terkendali dan tidak terhitung banyaknya pendapat yang ada. Jumlah mereka lebih dari dua ribu uskup. Mereka menjadi golongan yang banyak lagi berpecah belah. Setiap lima puluh orang dari mereka mem­punyai pendapat sendiri, dan setiap dua puluh orang dari mereka mempunyai pendapat sendiri, setiap seratus orang dari mereka ada yang mempunyai pendapatnya sendiri, dan setiap tujuh puluh orang mem­punyai pendapatnya sendiri, ada pula yang lebih dan kurang dari jumlah tersebut mempunyai pendapat yang berbeda.
Ketika Raja Konstantinopel melihat kalangan mereka demikian, ada sejumlah orang yang banyaknya kurang lebih tiga ratus delapan belas orang uskup sepakat dengan suatu pendapat Maka raja meng­ambil golongan itu, lalu mendukung dan memperkuatnya.
Raja Konstantinopel dikenal sebagai seorang filosof berwatak ke­ras dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Lalu raja menghim­pun persatuan mereka dan membangun banyak gereja buat mereka serta membuat kitab-kitab dan undang-undang untuk mereka. Lalu mereka membuat suatu amanat yang mereka ajarkan kepada anak-anak agar mereka meyakininya sejak dini, mengadakan pembaptisan besar-besaran atas dasar itu. Para perigikut mereka dikenal dengan nama sekte Mulkaniyah.
Kemudian mereka mengadakan suatu pertemuan lain yang kedua, maka terjadilah di kalangan mereka sekte Ya’qubiyah. Pada pertemu­an yang ketiga terbentuklah sekte Nusturiyan.
Ketiga golongan tersebut pada dasarnya mengukuhkan ajaran tri­nitas yang antara lain ialah Al-Masih. Tetapi mereka berbeda pen­dapat mengenai kaifiyatnya sehubungan dengan masalah lahut dan nasut-nya, masing-masing mempunyai dugaan sendiri. Apakah dia manunggal atau tidak, bersatukah atau menitis. Pada kesimpulannya pendapat mereka terpecah menjadi tiga pendapat, masing-masing go­longan mengalirkan golongan yang lain, sedangkan kita mengalirkan semuanya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:
{انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ}
berhentilah kalian (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 171)
Maksudnya, akan lebih baik bagi kalian.
{إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ}
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Allah da­ri mempunyai anak. (An-Nisa: 171)
Yakni Mahasuci lagi Mahatinggi Allah dari hal tersebut dengan ke­tinggian yang setinggi-tingginya.
{لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا}
Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cu­kuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. (An-Nisa: 171)
Artinya, semuanya adalah makhluk dan milik Allah, dan semua yang ada di antara keduanya adalah hamba-hamba-Nya, mereka berada da­lam pengaturan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang memelihara segala sesuatu, mana mungkin bila dikatakan bahwa Dia mempunyai istri dan anak dari kalangan mereka. Dalam ayat yang lain disebutkan me­lalui firman-Nya:
{بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ}
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak. (Al-An’am: 101), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا. لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا
Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. (Maryam: 88-89)
sampai dengan firman-Nya:
فَرْدًا
dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 95)
 
back to top