Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 55-59

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 55-59

17JAN
tulisan arab alquran surat al an'am ayat 55-59“55. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. 56. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah.’ Katakanlah: ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku Termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.’ 57. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.’ 58. Katakanlah: ‘Kalau Sekiranya ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada antara aku dan kamu. dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang zalim. 59. dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (al-An’aam: 55-59)
Allah berfirman, sebagaimana sebelumnya Kami telah menjelaskan berbagai hujjah dan dalil jalan petunjuk, bimbingan serta celaan terhadap bantah-membatah dan keingkaran.
Wa kadzaalika nufash-shilul aayaati (“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an.”) yang penjelasannya memang dibutuhkan oleh orang-orang yang diseru [oleh al-Qur’an].
Wa litastabiina sabiilul mujrimiin (“Supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa.”) maksudnya supaya tampak jelas jalan orang-orang yang berbuat dosa dan selalu menentang para Rasul. Dan ayat ini juga dibaca: Wa litastabiina sabiilal mujrimiin; maksudnya agar engkau hai Muhammad, atau orang yang diseru, melihat jelas jalan orang-orang yang berbuat dosa.
Firman-Nya: qul innii ‘alaa bayyinatim mir rabbii (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku [berada] di atas hujjah yang nyata [al-Qur’an] dari Rabbku.’”) yakni berada di atas ilmu dari syariat Allah yang diwahyukan kepadaku.
Wa kadzdzabtum biHii (“sedang kamu mendustakannya.”) yaitu mendustakan kebenaran yang datang kepadaku dari Allah.
Maa ‘indii maa tasta’jiluuna biHii (“Bukanlah wewenangku [untuk menurunkan] apa yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.”) yaitu kedatangan adzab.
Inil hukmu illallaaHi (“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”) maksudnya masalah itu urusannya kembali kepada Allah, jika Dia menghendaki Dia akan menyegerakan apa yang kalian minta itu, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan mengakhirkannya. Karena pada yang demikian itu Allah mempunyai hikmah yang besar.
Oleh karena itu Allah berfiman: yaqushshul haqqa wa Huwa khairul faashiliin (“Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”) artinya Dialah sebaik-baik Pemberi ketetapan dan keputusan di antara hamba-hamba-Nya.
Firman-Nya lebih lanjut: qul lau anna ‘indii maa tasta’jiluuna biHii laqudliyal amru bainii wa bainakum (“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya ada padaku apa [adzab] yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada di antara aku dan kamu.”)
Maksudnya seandainya kembalinya hal itu padaku, niscaya aku akan timpakan kepada kalian apa yang selayaknya kalian harus terima.
wallaaHu a’lamu bidh dhaalimiin (“Dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang dhalim.”)
Jika ditanya, bagaimanakah menyatukan pengertian antara ayat ini dan apa yang ditegaskan dalam ash-shahihain, dari ‘Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulallah, apakah engkau pernah mengalami suatu hari yang lebih parah dari hari terjadinya Perang Uhud?” beliau bersabda: “Sesungguhnya aku pernah mengalami suatu hal dari kaummu yang lebih parah dari apa yang aku alami, yaitu saat terjadinya peristiwa ‘Aqabah. Pada saat itu aku menjelaskan keadaanku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kilal, namun ia tidak memenuhi apa yang kuinginkan.
Lalu aku berangkat dengan kesedihan yang mendalam dan aku tidak sadar bahwa aku telah sampai di Qarnuts Tsa’alib, lalu aku menengadahkan kepalaku ternyata ada awan yang menaungiku. Lalu kulihat ternyata di dalamnya ada Jibril as., lalu ia berseru kepadaku seraya berucap: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan juga penolakan mereka terhadapmu, dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk kamu, yang kamu bebas menyuruhnya apa saja yang kamu kehendaki terhadap mereka.’
Maka malaikat penjaga gunung itu berseru kepadaku seraya mengucapkan salam kepadaku. Selanjutnya ia berkata: ‘Hai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan Rabbku telah mengutusku kepadamu supaya engkau menyuruhku apa saja yang engkau kehendaki. Jika engkau berkenan, aku akan timpakan kepada mereka dua gunung.’
Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Bahkan aku mengharapkan agar Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’” (Hadits ini berdasarkan lafadz [riwayat] Imam Muslim).
Dengan demikian, malaikat penjaga gunung telah menawarkan kepada Rasulullah saw. agar ditimpakan adzab kepada mereka atau mereka sama sekali dilenyapkan. Namun beliau minta penangguhan hukuman bagi mereka dengan harapan supaya Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Lalu bagaimana menyatukan antara hal itu dan firman Allah:
qul lau anna ‘indii maa tasta’jiluuna biHii laqudliyal amru bainii wa bainakum wallaaHu a’lamu bidh dhaalimiin (“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya ada padaku apa [adzab] yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada di antara aku dan kamu. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang dhalim.”)
Jawabannya adalah [wallaaHu a’lam]: bahwa ayat ini menunjukkan jika penimpaan adzab yang mereka minta penyegeraannya itu kembalinya kepada Rasulullah saw., ketika mereka memintanya kepada beliau, niscaya mereka akan menimpakannya kepada mereka. Adapun hadits tersebut di dalamnya tidak mengandung pengertian bahwa mereka minta untuk disegerakan adzab kepada mereka. Tetapi yang menawarkan penyegeraan adzab itu adalah malaikat penjaga gunung, jika beliau berkenan malaikat itu akan menimpakan dua gunung kepada mereka. Keduanya adalah gunung Makkah yang mengapit Makkah pada sisi sebelah selatan dan utara. Oleh karena itu, Rasulullah saw. meminta penundaan bagi mereka serta memohonkan belas kasihan bagi mereka.
Firman Allah: wa ‘indaHuu mafaatihul ghaibi laa ya’lamuHaa illaa Huwa (“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Salim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Kunci alam ghaib itu ada lima, yang tidak diketahui oleh Allah semata. ‘Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui [dengan pasti] apa yang akan diusahakannya besok, serta tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.’ [QS. Luqman: 34].”
Firman-Nya: wa ya’lamu maa fil barri wal bahri (“Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan.”) maksudnya ilmu Allah Yang Mahamulia itu meliputi segala yang ada, baik yang ada di darat maupun di laut, dan tidak ada sedikitpun dari hal itu yang tersembunyi dari-Nya, tidak juga sekecil apa pun di bumi maupun di langit.
Firman Allah: wa maa yasquthu miw waraqatin illaa ya’lamuHaa (“Dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya [pula].”) maksudnya Allah mengetahui semua gerakan bahkan gerakan benda-benda mati sekalipun. Jika demikian adanya, lalu bagaimana dugaanmu tentang pengetahuan Allah terhadap gerakan binatang, apalagi gerakan makhluk yang diberi taklif, baik jin maupun manusia.
Firman Allah: wa laa habbatin fii dhulumaatil ardli walaa rathbiw walaa yaabisin illaa fii kitaabim mubiin (“Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bummi dan tidak [pula] sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata.”)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Allah menciptakan an-Nun, yaitu tinta, dan Allah juga menciptakan alwah. Kemudian Allah menuliskan semua urusan dunia di dalamnya hingga tuntas penulisan penciptaan makhluk, atau rizki yang halal maupun yang haram, amal kebaikan maupun amal keburukan,” lalu Ibnu Abbas membaca ayat ini:
wa maa yasquthu miw waraqatin illaa ya’lamuHaa wa laa habbatin fii dhulumaatil ardli walaa rathbiw walaa yaabisin illaa fii kitaabim mubiin (“Dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya [pula]. Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bummi dan tidak [pula] sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata.[Lauhul mahfudz]”)
alwah: jamak dari lauh yang berarti “papan, batu, atau yang sejenisnya”, yang ditulisi di atasnya, atau dapat juga berarti “lembaran-lembaran tulisan.”
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top