Showing posts with label Al-An’am. Show all posts
Showing posts with label Al-An’am. Show all posts

Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 46-49

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 46-49

17JAN
tulisan arab alquran surat al an'am ayat 46-49“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hati kalian, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepada kalian?’ Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga). Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepada kalian dengan sekonyong-konyong atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Alllah) selain dari orang-orang yang zalim?’ Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-An’am: 46-49)
Allah Swt. berfirman kepada Rasul Nya, bahwa: katakanlah kepada mereka yang mendustakan dan ingkar kepada kekuasaan Allah Swt.:
Ara-aitum in akhadzallaaHu sam’akum wa abshaarakum (“Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan kalian.”) (Al An’am: 46)
Yakni Di a mencabutnya dari kalian sebagaimana Dia telah memberikannya kepada kalian, seperti yang disebutkan dalam firman lain:
“Dialah Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran dan penglihatan.” (Al-Mulk: 23), hingga akhir ayat.
Dapat diinterpretasikan pula bahwa ungkapan ini mengandung makna larangan menggunakan pendengaran dan penglihatan selain menurut apa yang diperintahkan oleh syariat, karena pada firman selanjutnya disebutkan:
Wa khatama ‘alaa quluubikum (“serta menutup hati kalian.”) (Al An’am: 46)
Perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya: “atau siapakah yang kuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan?” (Yunus : 31)
“dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghalang-halangi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24)
Mengenai firman Allah Swt.: man ilaaHun ghairullaaHi ya’tiikum biHii (“siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepada kalian?” (Al An’am: 46)
Artinya, apakah ada seseorang selain Allah yang dapat mengembalikan hal itu kepada kalian, jika Allah mencabutnya dari kalian? Jelas tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya selain Allah Swt. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:
Undhur kaifa nusharriful aayaati (“Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan
Tanda-tanda kebesaran [Kami].”) (Al An’am: 46)
Yakni Kami terangkan, Kami jelaskan, dan Kami tafsirkan tanda-tanda tersebut yang semuanya menunjukkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan semua yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan sesat.
Tsumma Hum yashdifuun (“kemudian mereka tetap berpaling [juga].”) (Al An’am: 46)
Yaitu sekalipun dengan adanya keterangan yang jelas itu, mereka tetap berpaling dari kebenaran dan menghalang-halangi manusia untuk mengikutinya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yasdifuuna ialah menyimpang. Menurut Muj ahid dan Qatadah adalah berpaling, sedangkan menurut As-Saddi menghambat (menghalang-halangi).
Firman Allah Swt.: qul ara-aitum in ataakum ‘adzaabullaaHi baghtatan (“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepada kalian dengan sekonyong-konyong.’”) (Al An’am: 47) yakni kalian tidak merasakannya sehingga kedatangannya mengejutkan kalian.
Au jaHratan (“atau terang-terangan.”) (Al An’am: 47) Maksudnya, dengan jelas dan kelihatan.
Hal yuHlaku illal qaumudh dhaalimuun (“maka adakah yang dibinasakan [Allah], selain dari orang-orang yang dhalim?”) (Al An’am: 47)
Yakni sesungguhnya pembinasaan itu hanyalah meliputi orang-orang yang berbuat aniaya terhadap dirinnya sendiri, karena kemusyrikan mereka. Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang selalu menyembah-Nya semata serta tidak mempersekutukan-Nya. Maka tiada ketakutan yang mencekam mereka, tidak pula mereka bersedih hati; perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh firmanNya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik).” (Al An’am: 82), hingga akhir ayat.
Adapun Firman Allah Swt.: wa maa nursilul mursaliina illaa mubasysyiriina wa mundhiriin (“Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan.”) (Al An’am: 48)
Artinya, menyampaikan berita gembira kebaikan kepada hamba-hamba Allah yang beriman, dan memberi peringatan kepada orang-orang yang kafir kepada Allah dengan pembalasan Allah dan siksaan-siksaan-Nya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan:
Fa man aamana wa ashlaha (“Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan.”) (Al-An’am: 48) Yakni barang siapa yang hatinya beriman kepada apa yang disampaikan oleh para rasul dan memperbaiki amal perbuatannya dengan mengikuti petunjuk mereka.
Falaa khaufun ‘alaiHim (“maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka.”) (Al An’am: 48)
Yaitu bila dikaitkan dengan masa depan mereka.
Wa laa Hum yahzanuun (“dan tidak [pula] mereka bersedih hati.”) (Al An’am: 48)
Yakni bila dikaitkan dengan masa lalu mereka dan apa yang mereka tinggalkan di belakang mereka menyangkut perkara duniawi dan aneka ragamnya. Allahlah yang menjadi pelindung mereka dari apa yang telah mereka tinggalkan, dan Allahlah yang memelihara mereka dari masa lalunya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: wal ladziina kadzdzabuu bi-aayaatinaa lamassuHumul ‘adzaabu bimaa kaanuu yafsuquun (“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”) (Al An’am: 49)
Maksudnya, mereka akan mendapatkan adzab karena kekafiran mereka terhadap apa yang telah disampaikan oleh para rasul, dan karena mereka menyimpang jauh dari perintah-perintah Allah, tidak mau taat kepada-Nya, selalu mengerjakan hal-hal yang dilarang dan yang diharamkan-Nya serta selalu melanggar batasan-batasan yang diharamkanNya.
&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 40-45

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 40-45

17JAN
tulisan arab alquran surat al an'am ayat 40-45“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepada kalian, atau datang kepada kalian hari kiamat, apakah kalian menyeru (tuhan) selain Allah, jika kalian orang-orang
Yang benar.” (Tidak), tetapi hanya Dialah yang kalian seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kalian berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki, dan kalian tinggalkan sembahan-sembahan yang kalian sekutukan (dengan Allah). Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’am: 40-45)
Allah Swt. menceritakan bahwa Dialah Yang Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki terhadap makhlukNya menurut apa yang Dia sukai. Tiada akibat bagi hukumNya, dan tidak ada seorang pun yang mampu memalingkan hukum-Nya terhadap makhluk-Nya,bahkan Dialah semata yang tiada sekutu bagiNya. Apabila diminta, maka Dia memperkenankan terhadap orang yang dikehendakiNya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
Qul ara-aitakum in ataakum ‘adzaabullaaHi au atatkumus saa’atu (“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika dalang siksaan Allah kepada kalian, atau datang kepada kalian hari kiamat )” (Al An’am: 40)
Yakni datang kepada kalian ini atau yang itu.
A ghairallaaHi tad’uuna in kuntum shaadiqiin (“apakah kalian menyeru [tuhan] selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.”) (Al An’am: 40)
Artinya janganlah kalian menyeru kepada, selain Allah, karena kalian mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menghilangkan hal itu selain Dia sendiri. Karena itulah dalam akhir ayat disebutkan:
In kuntum shaadiqiin (“jika kalian orang-orang yang benar.”) (Al An’am: 40)
Yaitu dalam pengambilan kalian selain Allah sebagai tuhan-tuhan kalian.
Bal iyyaaHu tad’uuna fa yaksyifu tad’uuna ilaiHi insyaa-a wa tansauna maa tusyrikuun (“[Tidak], tetapi hanya Dialah yang kalian seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kalian berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki, dan kalian tinggalkan sembahan-sembahan yang kalian sekutukan [dengan Allah].”) (Al An’am: 41)
Maksudnya, dalam keadaan darurat kalian tidak menyeru siapa pun selain Allah, dan lenyaplah dari pikiran kalian berhala-berhala dan sembahan-sembahan kalian. Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:
“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kalian seru, kecuali Dia (Al-Isra: 67), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.: wa laqad arsalnaa ilaa umamim min qablika fa akhadznaaHum bil ba’saa-i (“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus [rasul-rasul] kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan [menimpakan] kesengsaraan.”) (Al An’am: 42) Yakni kemiskinan dan kesempitan dalam hidup.
Wadl dlarrraa-i (“dan kemelaratan.”) (Al An’am: 42) Yaitu penyakit dan hal-hal yang menyakitkan.
La’allaHum yadlarra’uun (“supaya mereka bermohon [kepada Allah] dengan tunduk merendahkan diri.”) (Al An’am: 42) Maknanya adalah meminta kepada Allah, merendahkan diri kepada-Nya dengan penuh rasa khusyuk.
Allah Swt. berfirman: fa lau laa idz jaa-aHum ba’sunaa tadlarra’uun (“Maka mengapa mereka tidak memohon [kepada Allah] dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka.”) (Al An’am: 43)
Artinya, mengapa manakala Kami uji mereka dengan hal tersebut, mereka tidak memohon kepada Kami dengan tunduk merendahkan diri dan mendekatkan diri kepada Kami ?
Wa laa kin qasat quluubuHum (“bahkan hati mereka telah menjadi keras.”) (Al An’am: 43)
Yakni hatinya keras membangkang dan tidak dapat khusyuk.
Wa zayyana laHumusy syaithaanu maa kaanuu ya’maluun (“dan setan pun menampakkan kepada mereka keindahan apa yang selalu mereka kerjakan.”) (Al An’am: 43)
Yaitu kemusyrikan, keingkaran, dan perbuatan-perbuatan maksiat.
Fa lammaa nasuu maa dzukkiruu biHii (“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka.”) (Al An’am: 44)
Maksudnya mereka berpaling dari peringatan itu dan melupakannya serta menjadikannya terbuang di belakang punggung mereka.
Fatahnaa ‘alaiHim abwaaba kulli syai-in (“Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka.”) (Al-An’am: 44)
Yakni Kami bukakan bagi mereka semua pintu rezeki dari segala jenis yang mereka pilih. Hal itu merupakan istidraj dari Allah buat mereka dan sebagai pemenuhan terhadap apa yang mereka inginkan, kami berlindung kepada Allah dari tipu muslihat-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
Hattaa idzaa farihuu bimaa uutuu (“sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka.”) (Al An’am: 44)
Yakni berupa harta benda yang berlimpah, anak yang banyak, dan rezeki melimpah ruah.
akhadznaaHum baghtatan (“Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong.”) (Al An’am: 44)
Yaitu di saat mereka sedang lalai.
Fa idzaa Hum mublisuun (“maka ketika itu mereka terdiam putus asa.”) (Al An’am: 44)
Artinya putus harapan dari semua kebaikan.
Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-mublis artinya orang yang putus asa.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Barang siapa yang diberi keluasan oleh Allah, lalu ia tidak memandang bahwa hal itu merupakan ujian baginya, maka dia adalah orang yang tidak mempunyai pandangan. Dan barang siapa yang disempitkan oleh Allah, lalu ia tidak memandang bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Allah, maka dia adalah orang yang tidak mempunyai pandangna.” Kemudian Al-Hasan al-Basri membacakan firmanNya [yang artinya]:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Kaum itu telah teperdaya. Demi Tuhan [Pemilik] Ka’bah, mereka diberi, kemudian disiksa.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Qatadah mengatakan bahwa siksaan yang menimpa suatu kaum secara tiba-tiba merupakan urusan Allah. Dan tidak sekali-kali Allah menyiksa suatu kaum melainkan di saat mereka tidak menyadarinya dan dalam ke ada an lalai serta sedang tenggelam di dalam kesenangannya. Karena itu janganlah kalian teperdaya oleh ujian Allah, karena sesungguhnya tidaklah teperdaya oleh ujian Allah kecuali hanya kaum yang fasik (durhaka). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya:
Fatahnaa ‘alaiHim abwaaba kulli syai-in (“Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka.”) (Al-An’am: 44) Bahwa makna yang dimaksud ialah kemakmuran dan kesenangan duniawi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin (yakni Ibnu Sa’d alias Abui Hajjaj Al Muhri) , dari Harmalah ibnu Imran At-Tajibi, dari Uqbah ibnu Muslim, dari Uqbah ibnu Amir , dari Nabi Saw. yang telah
bersabda:
“Apabila kamu lihat Allah memberikan kesenangan duniawi kepada seorang hamba yang gemar berbuat maksiat terhadap-Nya sesuka hatinya, maka sesungguhnya hal itu adalah istidraj [membinasakannya secara perlahanlahan].”
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firmanNya:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka. Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Harmalah dan Ibnu Luhai’ah, dari Uqbah ibnu Muslim, dari Uqbah ibnu Amir dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Irak ibnu Khalid ibnu Yazid, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Apabila Allah menghendaki kelestarian atau kemakmuran suatu kaum, maka Dia memberi mereka rezeki berupa sifat ekonomis dan memelihara kehormatan. Dan apabila Dia menghendaki perpecahan suatu kaum, maka Dia membukakan bagi mereka atau dibukakan untuk mereka pintu khianat. ‘Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.’ (Al An’am: 44).”
Seperti apa yang disebutkan oleh firman selanjutnya: faquthi’a daabirul qaumil ladziina dhalamuu, walhamdu lillaaHi rabbil ‘aalamiin (“Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”) (Al An’am: 45)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahma d dan lain-lainnya.
&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 37-39

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 37-39

16JAN
tulisan arab alquran surat al an'am ayat 37-39“Dan mereka berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.’ Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah Kami lupakan sesuatu pun di dalam AlKitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu, dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’am ayat 37-39)
Allah Swt. berfirman menceritakan perihal orang-orang musyrik, bahwa mereka pernah bertanya, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya suatu mukjizat dari Tuhannya ? ” Mukjizat ini diungkapkan dengan istilah ‘ayat’, yang artinya peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam yang biasa mereka dapati, termasuk di antaranya ialah seperti apa yang mereka katakan dalam firman-Nya:
“Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami.” (Al-Isra: 90) , hingga beberapa ayat berikutnya.
Firman Allah Swt.: qul innallaaHa qaadirun ‘alaa ay yunazzila aayataw walaakinna aktsaraHum laa ya’lamuun (“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.’”) (Al An’am: 37)
Yakni Allah Swt. mampu untuk melakukan hal itu. Tetapi karena suatu hikmah (kebijaksanaan) dari-Nya, maka sengaja Dia menangguhkan hal itu. Karena sesungguhnya jikalau Allah menurunkan mukjizat seperti yang mereka minta, kemudian ternyata mereka tidak beriman, niscaya Allah akan menyegerakan siksaan-Nya terhadap mereka, seperti yang telah Allah lakukan terhadap umat-umat terdahulu. Allah Swt. telah berfirman yang artinya:
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (Al-Isra: 59)
“Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.” (Asy-Syu’ara: 4)
Adapun firman Allah Swt.: wa maa min daabbatin fil ardli wa laa thaa-iriy yathiiru bijanaahaiHi illaa umamun amtsaalukum (“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat [juga] seperti kalian.”) (Al-An’am: 38)
Menurut Mujahid, makna umamun ialah berbagai macam jenis yang namanamanya telah dikenal. Menurut Qatadah, burung-burung adalah umat, manusia adalah umat, begitu pula jin.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: illaa umamun amtsaalukum (“Melainkan umat-umat [juga] seperti kalian.”) (Al An’am: 38) Yakni makhluk juga, sama seperti kalian.
Firman Allah Swt.: maa farath-naa fil kitaabi min syai-in (“Tiadalah Kami lupakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab.”) (Al-An’am: 38)
Maksudnya, semuanya ada berdasarkan pengetahuan dari Allah, tiada sesuatu pun dari semuanya yang dilupakan oleh Allah mengenai rezeki dan pengaturannya, baik sebagai hewan darat ataupun hewan laut.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah dalam ayat lain yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (Hud: 6) Yakni tertulis namanamanya, bilangannya, serta tempat-tempatnya, dan semua gerakan serta diamnya terliputi semuanya dalam tulisan itu.
Allah Swt. telah berfirman pula :
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kalian, dan Dia Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ankabut: 60)
Al-Hafizh Abu Ya’la mengatakan, ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Waqid al-Qaisi Abu Abbad, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Isa ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Munkadir dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa belalang jarang didapat dalam masa satu tahun dari tahun-tahun masa pemerintahan Khalifah Uma r r.a. Kemudian Umar bertanya-tanya mengenai hal itu, tetapi sia-sia, tidak mendapat suatu berita pun. Dia sedih karena hal tersebut, lalu ia mengirimkan seorang penunggang kuda (penyelidik) dengan tujuan tempat anu, seorang lagi ke negeri Syam, dan seorang lagi menuju negeri Irak. Masing-masing ditugaskan untuk memeriksa keberadaan belalang di tempat-tempat tersebut.
Kemudian datang kepadanya penunggang kuda dari negeri Yaman dengan membawa segenggam belalang, lalu semuanya ditaruh di hadapannya. Ketika ia (Umar) melihatnya, maka ia mengucapkan takbir tiga kali. kemudian berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
“Allah Swt. telah menciptakan seribu umat (jenis makhluk), enam ratus umat di antaranya berada di laut dan yang empat ratusnya berada di daratan. Mula-mula umat yang binasa dari seluruhnya ialah belalang. Apabila belalang telah musnah, maka merembet ke yang lainnya seperti halnya untaian kalung apabila talinya terputus.”
Firman Allah Swt.: tsumma ilaa rabbiHim yuhsyaruun (“kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”) (Al An’am: 38)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: tsumma ilaa rabbiHim yuhsyaruun (“kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”) (Al An’am: 38)
Bahwa penghimpunannya ialah bila telah mati.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Israil, dari Sa’id, dari Masruq, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas; disebutkan bahwa matinya hewan-hewan merupakan saat penghimpunannya.
Hal yang s ama telah diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas .
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Mujahid dan ad-Dahhak yang semisal.
Pendapat yang kedua mengatakan, penghimpunannya ialah saat hari berbangkit, yaitu di hari kiamat nanti, berdasarkan firman Allah Swt. yang artinya:
“Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.”(AtTakwir: 5)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Sulaiman, dari Munzir As Sauri, dari guru-guru mereka, dari Abu Zar, bahwa Rasulullah Saw. melhat dua ekor domba yang sedang adu tanduk (bertarung), lalu Rasulullah Saw. bersabda:
“HaiAbu Zar, tahukah kamu mengapa keduanya saling menanduk?” Abu Zar menjawab, “Tidak.” Nabi Saw. bersabda “Tetapi Allah mengetahui, dan Dia ketak akan melakukan peradilan di antara keduanya.”
Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma’ma r , dari AI A’masy, dari orang yang disebutkannya, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ketika para sahabat sedang berada di hadapan Rasulullah Saw., tiba-tiba dua kambing jantan saling menanduk [berlaga]. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
“Tahukah kalian mengapa keduanya tanduk-menanduk?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Kami tidak tahu.” Rasulullah Saw. bersabad, “Tetapi Allah mengetahui, dan kelak Dia akan mengadakan peradilan di antara keduanya.”
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Munzir As-Sauri, dari Abu Zar, lalu ia menyebutkannya, tetapi ditambahkan bahwa Abu Zar berkata, “Dan sesungguhnya Rasulullah Saw. meninggalkan kami, sedangkan tidak sekali-kali ada seekor burung mengepakkan sayapnya di langit melainkan beliau Saw. menceritakan kepada kami pengetahuan mengenainya.”
Abdullah ibnu Imam Ahmad telah mengatakan di dalam kitab musnad ayahnya, bahwa telah menceritakan kepadaku Abbas ibnu Muhammad dan Abu Yahya Al-Bazzar; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Nasir, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al Awwam ibnu Muz ahim, dari Bani Qais ibnu Sa’labah, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Usman r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Sesungguhnya hewan yang tidak bertanduk benar-benar akan menuntut hukum qisas terhadap hewan yang bertanduk (yang telah menanduknya) kelak di hari kiamat.”
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mam, dari Ja’far ibnu Barqan, dari Yazid ibnul Asam, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya:
Illaa umamun amtsaalukum maa farrathnaa fil kitaabi min syai-in tsumma ilaa rabbiHim yuhsyaruun (“melainkan umat-umat [juga] seperti kalian. Tiadalah Kami lupakan sesuatu pun di dalam AlKitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”) (Al An’am: 38)
Bahwa semua makhluk kelak di hari kiamat dihimpunkan, termasuk semua binatang ternak, binatang-binatang lainnya, burung-burung, dan semua makhluk. Kemudian keadilan Alllah pada hari itu menaungi semuanya sehingga hewan yang tidak bertanduk mengqisas hewan bertanduk yang pernah menanduknya. Setelah itu Allah berfirman, “Jadilah kamu sekalian tanah. ” Karena itulah orang kafir (pada hari itu) mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
“Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (An-Naba: 40)
Hal ini telah diriwayatkan secara marfu’ di dalam hadits yang menceritakan sur (sangkakala).
Firman Allah Swt.: wal ladziina kadzdzabuu bi aayaatinaa shummuw wa bukmun fidh dhulumaati (“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu, dan berada dalam gelap gulita.”) (Al An’am: 39)
Yakni perumpamaan mereka dalam kejahilannya dan keminiman ilmunya serta ketiadaan pengertiannya sama dengan orang yang tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat bicara, dan selain itu berada dalam kegelapan tanpa dapat melihat. Maka orang yang seperti itu mustahil mendapat petunjuk ke jalan yang benar atau dapat keluar dari apa yang mengungkungnya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya menggambarkan keadaan mereka, yaitu:
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari ) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar.”) (Al-Baqarah: 17-18)
Sama pula dengan apa yang digambarkan oleh Allah Swt. dalam firman lainnya:
“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan: gelap gulitayang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya tiadalah dia dapat melihatnya (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40)
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: may yasya-illaaHu yudl-lilHu wa may yasya’ yaj’alHu ‘alaa shiraathim mustaqiim (“Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah [kesesatannya], niscaya disesatkan-Nya Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah [untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.”) (Al An’am: 39)
Yakni Dialah yang mengatur makhluk-Nya menurut apa yang dikehendakinya.
&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 33-36

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 33-36

16JAN
tulisan arab alquran surat al an'am ayat 33-36“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit, lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk. Sebab itu. janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil. Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang memenuhi (seruan Allah), dan orang-orang yang mati (hatinya) akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nyalah mereka dikembalikan.”) (al-An’aam: 33-36)
Allah Swt. berfirman menghibur nabi-Nya dalam menghadapi pendustaan kaumnya terhadap dirinya dan pertentangan mereka terhadapnya:
Qad na’lamu innaHuu layahzunukal ladzii yaquuluun (“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakana itu menyedihkan hatimu.”) (Al-An’am: 33)
Maksudnya, pengetahuan Kami benar-benar telah meliputi pendustaan mereka terhadapmu dan kesedihan serta kekecewaanmu terhadap sikap mereka. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain yang artinya:
“Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.”) (Fathir: 8)
Sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya yang lain:
“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.” (Asy-Syu’araa: 3)
Sama pula dengan firmanNya:
“Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini.” (Al-Qur’an). (Al-Kahfi: 6)
Adapun firman Allah Swt.:
Fa innaHum laa yukadzdzibuunaka wa laa kinnadh dhaalimiina bi aayaatillaaHi yajhaduun (“karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”) (Al-An’am: 33)
Artinya mereka sama sekali tidak menuduhmu sebagai seorang pendusta dalam hal tersebut.
wa laa kinnadh dhaalimiina bi aayaatillaaHi yajhaduun (“tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”) (Al-An’am: 33)
Yakni ‘tetapi mereka mengingkari perkara yang hak dan menolaknya dengan dada mereka’, seperti yang diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Najiyah ibnu Ka’b , dari Ali yang menceritakan bahwa Abu Jahal pernah berkata kepada Nabi Saw., “Sesungguhnya kami tidak menuduh dirimu pendusta, tetapi kamu hanya mendustakan apa yang k amu sampaikan itu.” Maka Allah Swt. menurunkan firmanNya:
Fa innaHum laa yukadzdzibuunaka wa laa kinnadh dhaalimiina bi aayaatillaaHi yajhaduun (“karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”) (Al-An’am: 33)
Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Israil, dari Abu Ishaq; kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhaan ( Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Wazir Al-Wasiti di Mekah. telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mubasysyir Al-Wasiti, dari Salam ibnu Miskin, dari Abu Yazid Al Madani, bahwa Nabi Saw. bersua dengan Abu Jahal, lalu berjabat tangan dengannya. Kemudian ada seorang lelaki berkata kepada Abu Jahal, “Kalau tidak salah aku pernah melihatmu berjabat tangan dengan orang yang sabi’ ini (maksudnya Nabi Muhammad Saw.).” Abu Jahal menj awab, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia adalah seorang nabi, tetapi bilakah bagi kami kalangan Bani ‘Abdu Manaf mau mengikutinya ?” Lalu Abu Yazid membacakan firmanNya:
Fa innaHum laa yukadzdzibuunaka wa laa kinnadh dhaalimiina bi aayaatillaaHi yajhaduun (“karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”) (Al-An’am: 33)
Menurut takwil Abu Saleh dan Qatadah disebutkan, “Mereka mengetahui bahwa engkau adalah Rasulullah, tetapi mereka mengingkari(nya).”
Muhammad ibnu Ishaq menuturkan dari Az-Zuhri kisah Abu Jahal ketika datang mendengar bacaan Al-Qur’an Nabi Saw. di malam hari, dan datang pula mendengarkannya Abu Sufyan ibnu Harb dan Al Akhnas ibnu Syuraiq, tetapi ketiga orang tersebut masing-masing tidak mengetahui keberadaan yang lainnya. Lalu mereka mendengarkannya sampai subuh. Dan ketika hari telah subuh, mereka bubar, lalu dalam perjalanan pulangnya mereka bersua di tengah jalan. Maka masing-masing dari mereka berkata kepada yang lainnya, “Apakah yang kamu dapatkan?” Lalu masing-masing orang mengemukakan apa yang telah didapat (dipahaminya).
Kemudian mereka saling berjanji bahwa mereka tidak akan mendengarkannya lagi, karena khawatir perbuatan mereka diketahui oleh para pemuda Ouraisy, yang dampaknya nanti para pemuda Quraisy menjadi tertarik kepada Nabi Saw. dengan kedatangan mereka.
Pada malam keduanya masing-masing dari mereka datang lagi dengan dugaan bahwa kedua temannya pasti tidak akan datang mengingat perjanjian yang telah mereka sepakati bersama. Tetapi pada pagi harinya mereka bersua di tengah jalan dalam perjalanan pulangnya, maka mereka saling mencela. Akhirnya mereka mengadakan perjanjian lagi bahwa mereka tidak akan mendengarkannya lagi.
Pada malam ketiganya ternyata mereka datang lagi dan pagi harinya mereka bersua kembali, lalu berjanji tidak akan melakukan hal yang serupa, kemudian pulang ke rumahnya masing-masing. Pada pagi harinya Al-Akhnas ibnu Syuraiq mengambil tongkatnya, lalu pergi ke rumah Abu Sufyan. Setelah sampai di rumah Abu Sufyan, ia bertanya, “Hai Abu Hanzalah, ceritakanlah kepadaku kesan yang kamu simpulkan setelah mendengar bacaan Muhammad itu.”
Abu Sufyan menjawab, “Hai Abu Sa’labah, demi Allah, sesungguhnya aku telah mendengar banyak hal yang kuketahui dan kuketahui pula makna yang dimaksud darinya, tetapi aku telah mendengar pula banyak hal yang tidak kumengerti maknanya dan apa yang dimaksud olehnya.”
Al-Akhnas berkata mengiakan, “Aku pun berani sumpah seperti kamu, bahwa aku mempunyai pemahaman yang sama denganmu.”
Lalu Al-Akhnas keluar dari rumah Abu Sufyan dan langsung menuju ke rumah Abu Jahal. Ia langsung masuk ke dalam rumah Abu Jahal dan berkata, “Hai Abui Hakam, bagaimanakah pendapatmu tentang apa yang telah kamu dengar dari (bacaan) Muhammad?'” Abu Jahal menjawab, “Sama seperti yang kamu dengar.” Abu Jahal melanjutkan perkataannya, “Kami bersaing dengan Bani Abdu Manaf dalam hal kedudukan yang terhormat; mereka memberi makan, maka kami pun memberi makan; mereka membantu mengadakan angkutan, maka kami
pun berbuat hal yang sama, dan mereka memberi, maka kami pun memberi pula. hingga manakala kami berlutut di atas kendaraan dalam keadaan lemah dan tersandera, mereka mengatakan bahwa dari kalangan kami ada seorang nabi yang selalu didatangi oleh wahyu dari langit. Maka bilamana kami menjumpai ini, demi Allah, kami tidak akan beriman kepadanya selama-lamanya dan tidak akan percaya kepadanya.”
Maka Al-Akhnas bangkit meninggalkannya.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui Asbat, dari Assaddi sehubungan dengan makna firman-Nya:
Qad na’lamu innaHuu layahzunukal ladzii yaquuluuna Fa innaHum laa yukadzdzibuunaka wa laa kinnadh dhaalimiina bi aayaatillaaHi yajhaduun (“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, [janganlah kamu bersedih hati], karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”) (Al-An’am: 33)
Ketika Perang Badar, Al-Akhnas ibnu Syuraiq berkata kepada Bani Zahrah, “Hai Bani Zahrah, sesungguhnya Muhammad adalah anak lelaki saudara perempuan kalian. Maka kalian adalah orang yang lebih berhak untuk melindungi anak saudara perempuan kalian. Karena sesungguhnya jika dia memang seorang nabi, janganlah kalian memeranginya hari ini; dan jika dia dusta, maka kalian adalah orang yang paling berhak untuk menghentikan anak saudara perempuan kalian. Berhentilah kalian, sebelum aku bersua lebih dahulu dengan Abul Hakam (Abu Jahal). Jika Muhammad menang, kalian tetap kembali dengan selamat; dan jika Muhammad dikalahkan, maka sesungguhnya kaum kalian belum pernah berbuat sesuatu pun kepada kalian.”
Sejak saat itu ia diberi nama Al Akhnas , sebelum itu namanya adalah Ubay. Lalu Al Akhnas menjumpai Abu Jahal, kemudian membawanya menyendiri hanya berduaan dengannya. Al Akhnas bertanya, “Hai Abui Hakam, ceritakanlah kepadaku tentang Muhammad, apakah dia benar ataukah dusta? Karena sesungguhnya di tempat ini sekarang tidak ada seorang Quraisy pun selain aku dan kamu yang dapat mendengar pembicaraan kita.”
Abu Jahal menjawab, “Celakalah kamu. demi Allah, sesungguhnya Muhammad memang orang yang benar, Muhammad sama sekali tidak pernah dusta. Tetapi apabila Abi Qusai memborong semua jabatan, yaitu liwa, siqayah, hijabah, dan kenabian, maka apa lagi yang tersisa buat kaum Quraisy lainnya ?”
Yang demikian itulah maksud dari firman-Nya:
Fa innaHum laa yukadzdzibuunaka wa laa kinnadh dhaalimiina bi aayaatillaaHi yajhaduun (“karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”) (Al-An’am: 33)
Ayat-ayat Allah adalah Nabi Muhammad Saw.
Firman Allah Swt.: wa laqad kudzdzibat rusulum min qablika fashabaruu ‘alaa maa kudzdzibuu wa uudzuu hattaa ataaHum nashrunaa (“Dan sesungguhnya telah didustakan [pula] rasul-rasul sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan [yang dilakukan] terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka.”) (Al An’am: 34)
Hal ini merupakan hiburan bagi hati Nabi Muhammad Saw., sekaligus sebagai ungkapan dukungan terhadapnya dalam menghadapi orang-orang yang mendustakannya dari kalangan kaumnya , juga merupakan perintah kepadanya agar bersikap sabar sebagaimana sikap sabar orang-orang yang berhati teguh dari kalangan para rasul terdahulu.
Dalam ayat ini pun terkandung janji Allah kepada nabi-Nya, bahwa Dia akan menolongnya sebagaimana Dia telah menolong para rasul terdahulu, kemudian beroleh kemenangan. Pada akhirnya akibat yang terpuji diperoleh para rasul sesudah mengalami pendustaan dan gangguan dari kaumnya masing-masing. Setelah itu datanglah kepada mereka pertolongan, dan kemenangan di dunia dan di akhirat. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya selanjutnya:
Wa laa mubaddila likalimaatillaaHi (“Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat [janji-janji] Allah.” (al-An’am: 34)
Yakni janji-janji kemenangan yang telah ditetapkan-Nya di dunia dan akhirat bagi hamba hamba-Nya yang mukmin. Perihalnya sama dengan firman-Nya yang lain:
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (As-Saffat: 171-173)
“Allah telah menetapkan, ‘Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.’ Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa (Al-Mujadilah: 21)
Mengenai firman Allah Swt.: wa laqad jaa-aka min naba-il mursaliin (“Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita Rasul-rasul itu.”) (Al An’am: 34)
Artinya berita tentang mereka, bagaimana mereka mendapat pertolongan dan dukungan dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan mereka dari kalangan kaumnya. Maka demikian pula halnya dengan kamu (Muhammad) akan mengalami hal yang sama dengan para rasul yang mendahuluimu.
Kemudian Allah Swt. berfirman: wa in kaana kabura ‘alaika i’raadluHum (“Dan jika perpalingan mereka [darimu] terasa amat berat bagimu.”) (Al-An’am: 35)
Yaitu apabila terasa berat ol ehmu sikap berpaling mereka darimu.
Fa inistatha’ta an tabtaghiya nafaqan fil ardli au sullaman (“maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit.”) (Al An’am: 35)
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa nafaq artinya terowongan. Yakni kamu (Muhammad) ma suk ke dalam terowongan itu. lalu datang membawa ayat kepada mereka; atau kamu buat tangga sampai ke langit, lalu kamu naik ke langit dan mendatangkan kepada mereka suatu ayat (bukti) yang lebih baih daripada yang engkau sampaikan kepada mereka sekarang, maka lakukanlah. Hal yang semisal dikatakan pula oleh Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya.
Firman Allah Swt.: wa lau syaa-allaaHu laja’alaHum ‘alal Hudaa falaa takuunanna minal jaaHiliin (“Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk. Sebab itu, janganlah kalian sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.”) (Al An’am: 35)
Ayat ini sama maknanya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.” (Yunus : 99) , hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
wa lau syaa-allaaHu laja’alaHum ‘alal Hudaa falaa takuunanna minal jaaHiliin (“Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk. Sebab itu, janganlah kalian sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.”) (Al An’am: 35)
Sesungguhnya Rasulullah Saw. sangat menginginkan semua orang beriman dan mengikuti jalan petunjuknya. Maka Allah memberitahukan kepadanya bahwa tidak ada seorang pun yang beriman kecuali orang yang telah ditakdirkan oleh Allah mendapat kebahagiaan sejak zaman azalinya.
Firman Allah Swt.: inna maa yastajiibul ladziina aamanuu (“Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah). (Al An’am: 36)
Yakni sesungguhnya orang yang menyambut seruanmu, hai Muhammad, hanyalah orang yang mau mendengar, mencerna, dan memahaminya .
Perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh ayat lain:
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasiin: 70)
Firman Allah Swt.: wal mautaa yab’atsuHumullaaHu tsumma ilaiHi yurja’uun (“dan orang-orang
yang mati (hatinya) akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nyalah mereka dikembalikan.”) (Al An’am: 36)
Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang mati’ ialah orang-orang kafir. Dikatakan demikian karena hati mereka mati, maka Allah menyerupakan mereka dengan orang-orang yang mati sungguhan (yakni bangkai). Karena itulah disebutkan:
wal mautaa yab’atsuHumullaaHu tsumma ilaiHi yurja’uun (“dan orang-orang
yang mati (hatinya) akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nyalah mereka dikembalikan.”) (Al An’am: 36)
Di dalam ungkapan ini terkandung makna cemoohan dan penghinaan terhadap mereka.
&
 
back to top