Saturday, June 9, 2018

[QS2:283] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 283 – Barang jaminan dalam utang-piutang – Perintah menunaikan amanat (utang) – Larangan menyembunyikan persaksian

0 Comments

– Barang jaminan dalam utang-piutang
– Perintah menunaikan amanat (utang)
– Larangan menyembunyikan persaksian

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 283


APR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Firman Allah: wa in kuntum ‘alaa safarin (“Jika kamu dalam perjalanan.”) Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang-piutang sampai batas waktu tertentu; wa lam tajiduu kaatiban (“Sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis.”) Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.”
Firman Allah Ta’ala: fariHaanum maqbuudlatun (“Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [oleh yang berpiutang].”) Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama. Dan ulama yang lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai. Ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad. Sekelompok ulama lain juga berpendapat demikian.
Sebagian ulama salaf juga menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa barang jaminan itu hanya disyariatkan dalam transaksi di perjalanan saja. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Dan dalam Shahihain telah diriwayatkan, dari Anas bin Malik ra: “Bahwa Rasulullah telah meninggal dunia, namun baju besinya masih menjadi jaminan di tangan seorang Yahudi, untuk pinjaman 30 wasaq gandum. Beliau meminjamnya untuk makan keluarganya.”
Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Dari seorang Yahudi Madinah.”
Dan dalam riwayat Imam Syafi’i, (beliau gadaikan) pada Abu Syahmal-Yahudi. Penjelasan mengenai permasalahan ini terdapat dalam kitab al-Ahkamul-Kabir.
Firman Allah: fa in amina ba’dlukum ba’dlan fal yu-addil ladzi’tumina amaanataHuu (“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya [hutangnya].”) Diwayatkan Ibnu AbiHatim dengan isnad jayid, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya.
Imam asy-Sya’bi mengatakan, “Jika sebagian kamu saling mempercayai sebagian lainnya, maka tidak ada dosa bagimu untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian. Dan firman-Nya lebih lanjut: wal yattaqillaaHa rabbaHu (“Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya,”) maksudnya (adalah), orang yang dipercaya (untuk memegang jaminan, hendaklah bertakwa kepada Allah.)
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dari Qatadah, dari al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kewajiban tangan adalah mempertanggung-jawabkan amanat yang diterima-Nya, sehingga ia melaksanakan (pengembalian)nya.” (Dha’if, didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iful jaami’ (3737).
Firman Allah selanjutnya: walaa taktumusy syaHaadata (“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian.”) Maksudnya, janganlah kamu menyembunyikan, melebih-lebihkan, dan jangan pula mengabaikannya. Ibnu Abbas dan ulama lainnya mengatakan, “Kesaksian palsu merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga menyembunyikannya.”
Oleh karena itu Allah berfirman: wamay yaktumHaa fa innaHuu aatsimun qalbuHu (“Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.”) As-Suddi mengatakan, “Yaitu orang yang jahat hati-Nya.” Ini sama dengan firman-Nya yang artinya: “Dan (tidak pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Maa-idah: 106).
Dan firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha-mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa’: 135).
Demikian juga dalam surat al-Baqarah ini, Allah Ta’ala berfirman: walaa taktumusy syaHaadata wamay yaktumHaa fa innaHuu aatsimun qalbuHu wallaaHu bimaa ta’maluuna ‘aliim (“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top