Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 97-100
27FEB
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para Malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, (QS. 4:97) kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), (QS. 4:98) Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Mahapemaaf lagi Mahapengampun. (QS. 4:99) Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 4:100)” (an-Nisaa’: 97-100)
Al-Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yazid al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Haiwah dan lainnya, telah meceritakan kepada kami Muhammad bin `Abdirrahman Abul Aswad, ia berkata: “Telah diputuskan bagi penduduk Madinah untuk mengirimkan pasukan, dan aku pun mendaftarkan diri untuk ikut di dalamnya. Lalu aku menjumpai `Ikrimah, maula Ibnu `Abbas, lalu aku mengabarkan kepadanya dan ia melarangku dengan keras terhadap hal tersebut.” Ikrimah berkata: “’Ibnu Abbas memberitahuku bahwa ada beberapa orang dari kalangan kaum Muslimin berada bersama kaum musyrikin, memperbanyak jumlah mereka pada masa Rasulullah Saw. Lalu datanglah sebuah anak panah yang dilepaskan dan mengenai salah seorang di antara mereka, sehingga mematikannya atau memenggal leher-nya.” Maka Allah pun menurunkan firman-Nya: innalladziina tawaffaaHumul malaa-ikatu dhaalimii anfusiHim (“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri.”) Ayat yang mulia ini umum untuk setiap orang yang tinggal di kalangan kaum musyrikin, padahal sanggup berhijrah dan tidak mampu menegakkan agama, maka ia termasuk orang yang dhalim pada dirinya sendiri dan melanggar hal yang haram, ber-dasarkan ijma.
Dengan nash ayat ini di mana Allah berfirman: innalladziina tawaffaaHumul malaa-ikatu dhaalimii anfusiHim (“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri.”) Yaitu dengan meninggalkan hijrah.
Qaala fiima kuntum (“Para Malaikat bertanya: Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”) Yaitu, kenapa kalian tinggal di sini dan meninggalkan hijrah.
Qaaluu kunnaa mustadl’afiina fil ardli (“Mereka berkata: ‘Kami adalah orang-orang tertindas di negeri ini.”) Yaitu kami tidak mampu keluar dari kota ini dan tidak mampu menempuh perjalanan. Qaaluu alam takun ardlullaaHi waasi’atan (“Bukankah bumi Allah itu luas.”)
Qaala fiima kuntum (“Para Malaikat bertanya: Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”) Yaitu, kenapa kalian tinggal di sini dan meninggalkan hijrah.
Qaaluu kunnaa mustadl’afiina fil ardli (“Mereka berkata: ‘Kami adalah orang-orang tertindas di negeri ini.”) Yaitu kami tidak mampu keluar dari kota ini dan tidak mampu menempuh perjalanan. Qaaluu alam takun ardlullaaHi waasi’atan (“Bukankah bumi Allah itu luas.”)
Abu Dawud meriwayatkan dari Samurah bin Jundab. Amma ba’du Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang bergabung dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, berarti ia sama seperti mereka.”
Firman-Nya: illal mustadl-‘afiina (“Kecuali orang-orang yang tertindas”) ini adalah udzur dari Allah bagi mereka yang meninggalkan hijrah. Hal ini dikarenakan mereka tidak sanggup keluar dari tangan kaum musyrikin. Dan kalaupun mereka berhasil lolos, mereka tidak tahu jalan yang ditempuh.
Untuk itu, Allah berfirman: laa yastathii’uuna hiilataw walaa yaHtaduuna sabiilan (“Mereka tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan.”) Mujahid, `Ikrimas-Suddi berkata, (kata “sabiilan” pada ayat ini) maksudnya adalah “thariiqan” (jalan).
Firman-Nya: fa ulaa-ika ‘asallaaHu ay ya’fuwa ‘anHum (“Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkan mereka.”) Yaitu Allah memaafkan mereka karena meninggalkan hijrah. Kata-kata `asaa (semoga), jika itu dari Allah, maka berarti pasti; wa kaanallaaHu ‘afuwwan ghafuuran (“Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapengasih.”)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Di saat kami bersama Rasulullah saw. menunaikan shalat `Isya, di saat beliau berkata:- sami ‘allaahu liman hamidah. “Kemudian beliau berdo’a, yakni sebelum sujud:
”Ya Allah, selamatkan `Ayyas bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah al-Walid bin Walid. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang lemah dari kaum mukmin. Ya Allah, perkuatlah siksamu kepada Mudharr. Ya Allah, jadikanlah padanya musim paceklik seperti paceklik pada zaman Yusuf.”
Al-Bukhari mengatakan dari Ibnu `Abbas: illal mustadl’afiina (“kecuali orang-orang yang tertindas,”) ia berkata: “Dahulu aku dan ibuku termasuk orang yang diberi udzur oleh Allah.”
Finnan-Nya: wa may yuHaajir fii sabiilillaaHi yajid fil ardli muraaghaman katsiiraw wa sa’atan (“Barangsiap berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”) Ini merupakan dorongan untuk hijrah dan anjuran untuk memisahkan diri dari orang-orang musyrik dan bahwa kemana saja seorang mukmin pergi, ia akan mendapatkan keluasan dan tempat perlinungan yang mana ia dapat membentengi dirinya di sana.
Al-muraagham adalah mashdar, Ibnu `Abbas berkata: “Al-muraagham adalah berpindah dari satu tempat ke tempat lain.” Mujahid berkata: “Muraagham katsiiran; yaitu menjauhi dari sesuatu yang tidak disukai, yang jelas –wallahu a’lam- bahwa ia adalah upaya pencegahan yang dengannya ia berusaha untuk membebaskan diri dan dengan hal itu pula musuh-musuh marah.”
Firman-Nya: wa sa’atan (“luas”) yaitu rizki, seperti yang dikatakan oleh banyak ulama, dia adalah Qatadah, mengenai firman-Nya: yajid fil ardli muraaghaman katsiiraw wa sa’atan (“Mereka mendapati di muka bumi tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”) ia berkata: “Dari kesesatan menuju hidayah dan dari kekurangan menuju kekayaan.”
Firman-Nya: wa may yakhruj mim baitiHii muHaajiran ilallaaHi wa rasuuliHii tsumma yudrikHul mautu faqad waqa’a ajruHuu ‘alallaaHi (“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan kemudian kematian menimpanya [sebelum sampai ke tempat yang dituju], maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah”.) Maksudnya, barangsiapa keluar dari rumahnya dengan niat hijrah, lalu mati di tengah perjalanan, maka telah memperoleh di sisi Allah pahala orang yang berhijrah. Sebagaimana ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain dan kitab-kitab lain seperti kitab-kitab Shahih, Musnad dan Sunan.
Diriwayatkan dari `Umar bin al-Khaththab, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu amal itu tergantung dari niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang barangsiapa berhijrah untuk kepentingan dunia yang ingin diperolehnya, seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu untuk apa yang ia berhijrah kepadanya”.
Ini berlaku umum, untuk hijrah dan semua perbuatan. Di antaranya hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang seorang laki-laki yang membunuh 99 orang. Kemudian disempurnakan dengan yang keseratus dengan membunuh orang yang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada seorang alim tentang taubatnya. Maka ia (orang alim) berkata: “Siapa yang dapat menghalangi antara kamu dan taubat?” Lalu diberi petunjuk untuk pindah dari kotanya, menuju kota lain untuk beribadah kepada Allah. Maka ketika ia melangkah hijrah dari kotanya ke kota yang dituju itu, kematian datang menjemputnya di tengah perjalanan.
Maka para Malaikat rahmat berselisih dengan Malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata: “Ia datang dalam keadaan taubat”, Malaikat adzab berkata: “Dia belum sampai”. Lalu mereka diperintah mengukur di antara dua negeri tersebut, mana yang lebih dekat dari lelaki itu, maka ia termasuk bagiannya. Maka Allah memerintahkan lokasi yang ia tuju agar mendekat dari yang ia tinggalkan dan Allah memerintahkan lokasi yang ia tinggalkan untuk menjauh. Sehingga mereka mendapatkan lebih dekat dengan tempat hijrahnya sejengkal, maka Malaikat rahmat membawanya.
Di dalam satu riwayat (disebutkan), bahwa di saat kematian datang menjemputnya, dia berupaya dengan dadanya mendekat ke tempat hijrahnya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Dhamrah bin Jundub keluar menuju Rasulullah saw, lalu ia mati di jalan sebelum sampai kepada Rasul, maka turunlah ayat: wa may yakhruj mim baitiHii muHaajiran ilallaaHi wa rasuuliHii tsumma yudrikHul mautu faqad waqa’a ajruHuu ‘alallaaHi (“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan kemudian kematian menimpanya [sebelum sampai ke tempat yang dituju], maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah”.)
&
No comments:
Post a Comment