Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 27-31 (13)

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 27-31 (13)

10DES
Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 27-31“27. Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. 28. “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.” 29. “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” 30. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. 31. kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (al-Maa-idah: 27-31)
Allah menjelaskan buruknya akibat kejahatan, kedengkian, dan kedhaliman dalam kisah dua orang putera Adam as. dari keturunannya langsung, yang menurut jumhur ulama keduanya itu bernama Qabil dan Habil. Yaitu bagaimana salah seorang dari keduanya memusuhi lainnya, hingga akhirnya membunuhnya, karena rasa dengki terhadapnya atas nikmat yang diberikan kepadanya [Habil], dan bahkan Allah Ta’ala juga menerima kurban yang diikhlaskan karena Allah yang dipersembahkan oleh Habil. Kemudian yang terbunuh [Habil] beruntung mendapatkan penghapusan dosa dan masuk surga. Sebaliknya si pembunuh [Qabil] benar-benar kecewa dan kembali dengan menderita kerugian di dunia maupun di akhirat.
Maka Allah berfirman: watlu ‘alaiHim naba-abnai aadama bil haqqi (“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam [Habil dan Qabil] menurut yang sebenarnya.”) maksudnya kisahkanlah kepada orang-orang yang membangkang dan dengki, -saudara babi dan kera dari kalangan orang-orang Yahudi dan yang sebangsa dengan mereka.- cerita tentang dua anak Adam, yaitu Habil dan Qabil, sebagaimana [cerita mengenai itu] telah disampaikan oleh beberapa ulama salaf dan khalaf.
Firman-Nya: bil haqqi (“menurut yang sebenarnya”) yaitu secara jelas, kejelasan yang tidak lagi mengandung kekaburan, kebohongan, hal-hal yang membingungkan, perubahan, penambahan, dan juga pengurangan. Yang demikian adalah seperti firman-Nya: inna Haadzaa laHuwal qashashul haqqu (“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar”) (Ali ‘Imraan: 62)
Di antara cerita kedua anak Adam itu sebagaimana diceritakan oleh beberapa ulama salaf dan khalaf adalah, Allah Ta’ala telah mensyariatkan kepada Adam untuk menikahkan putri-putrinya dengan putra-putranya, karena keadaan yang sangat mendesak. Namun ulama-ulama itu mengatakan bahwa setiap kali hamil, istrinya melahirkan satu pasang anak kembar, laki-laki dan perempuan. Lalu Adam menikahkan anak perempuan pasangan kembar yang satu dengan pasangan kembar lainnya [bersilangan]. Saudara kembar Habil adalah seorang perempuan yang kurang cantik, dan saudara kembar Qabil mempunyai wajah cantik. Qabil ingin menikahi saudara kembarnya sendiri, dan menolak saudara kembarnya itu dinikahi Habil, maka Adam menolak hal itu kecuali terlebih dahulu mereka berdua mempersembahkan kurban. Barangsiapa yang kurbannya diterima, wanita itu menjadi miliknya. Kemudian kurban Habil yang diterima, sedangkan kurban persembahan Qabil tidak diterima. Di antara persoalan antara keduanya itu adalah seperti dikisahkan Allah di dalam al-Qur’an.
Al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Pada saat itu tidak terdapat orang miskin yang perlu diberi sedekah, melainkan kurban itu dilakukan untuk mendekatkan diri. Ketika keduanya duduk-duduk, keduanya berkata: ‘Bagaimana kalau kita mempersembahkan kurban. ‘
Jika seseorang mempersembahkan kurban, lalu diridlai Allah, Allah akan mengirimkan api kepada kurban itu untuk memakannya. Jika tidak diridlai-Nya, api itupun padam. Lalu keduanya pun mempersembahkan kurban. Salah seorang diantara keduanya adalah seorang penggembala, yang lainnya adalah seorang petani. Si penggembala mempersembahkan kambing yang paling bagus dan gemuk, yang lainnya mempersembahkan beberapa dari hasil pertaniannya, lalu datang api di antara kedua persembahan itu. Maka api itu melahap kambing yang gemuk itu dan meninggalkan hasil tanaman tersebut. Selanjutnya salah seorang dari keduanya berkata kepada saudaranya: ‘Apakah engkau akan berjalan di antara orang-orang, dan mereka telah mengetahui bahwa engkau telah mempersembahkan kurban dan diterima, sedangkan persembahanku ditolak. Demi Allah tentunya, orang-orang tidak akan melihatku karena engkau lebih baik dariku.’ Lalu ia berkata, ‘Aku akan membunuhmu.’ Maka saudaranya itu menjawab, ‘Apa salahku, karena sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.’” (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)
Atsar ini memberikan pengertian bahwa persembahan kurban itu bukan disebabkan untuk memperebutkan wanita, sebagaimana yang diceritakan dari sekelompok ulama yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan yang demikian itu merupakan pengertian lahiriyah ayat al-Qur’an: idz qarrabaa qurbaanan fatuqattilu min ahadiHimaa wa lam yutaqabbal minal aakhari qaala la aqtulannaka qaala innamaa yataqabbalullaaHu minal muttaqiin (“Ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”)
Redaksi ayat tersebut menunjukkan bahwa ia marah dan dengki atas diterimanya kurban [Habil], sedangkan kurbannya sendiri tidak. Selanjutnya yang terkenal menurut jumhur ulama adalah, yang mempersembahkan kambing adalah Habil, sedangkan yang mempersembahkan makanan adalah Qabil, dan Allah Ta’ala menerima kambing Habil. Sehingga Ibnu ‘Abbas dan juga ulama lainnya mengatakan: “Yang dijadikan hewan kurban adalah kambing kibas.” Dan itulah yang sesuai. wallaaHu a’lam.
Adapun makna firman Allah: innamaa yataqabbalullaaHu minal muttaqiin (“Sesungguhnya Allah hanya menerima [kurban] dari orang-orang yang bertakwa.”) yaitu dari orang yang bertakwa kepada Allah dalam melakukan tindakannya tersebut. Ibnu Abi Hatim mengatakan: Aku pernah mendengar Abu Darda’ berkata: “Andaikata aku memperoleh keyakinan bahwa Allah menerima satu saja dari shalatku, maka hal itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya, sesungguhnya Allah berfirman: innamaa yataqabbalullaaHu minal muttaqiin (“Sesungguhnya Allah hanya menerima [kurban] dari orang-orang yang bertakwa.”)
Dari Mu’adz bin Jabal ia mengatakan, “[Sesungguhnya] umat manusia [kelak] tertahan di suatu tempat, lalu ada penyeru yang menyerukan, ‘Di mana orang-orang yang bertakwa?’ lalu mereka berdiri dalam perlindungan Allah, dan Allah tidak terhijab dari mereka, dan tidak terhalangi [dari pandangan mereka]. kemudian kutanyakan: ‘Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?’ ia menjawab: ‘Yaitu suatu kaum yang menjauhi kesyirikan dan penyembahan berhala, serta ikhlas dalam beribadah kepada Allah, kemudian mereka pun berjalan menuju surga.’”
Firman Allah: la in basath-ta ilayya yadaka litaqtulanii maa ana bibaasithiy yadiya ilaika la aqtulaka (“Sungguh kalau kamu menggerakkan tangamu kepadaku untuk membnuhku, aku sekali-sekali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”) maksudnya, aku tidak akan membalas tindakanmu yang buruk itu dengan yang serupa, yang hanya akan menjadikan diriku dan dirimu sama-sama dalam dosa. Innii akhaafullaaHa rabbal ‘aalamiin (“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb seru sekalian alam.”) yaitu dari berbuat seperti perbuatanmu itu, tetapi aku harus bersabar dan mengharapkan pahala di sisi Allah.
‘Abdullah bin ‘Amr mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya Habil adalah yang lebih kuat di antara keduanya, tetapi kewara’annya mencegahnya.” (Ibnu Taimiyah berkata mengendai definisi wara’ –dan juga zuhud-: “Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudlarat untuk kepentingan akhirat.)
Oleh karena itu di dalam ash-Shahihain ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika dua orang muslim saling berhadapan dengan masing-masing membawa pedang, maka pembunuh dan yang dibunuh ada di neraka.” para shahabat bertanya: “Terhadap yang membunuh itu memang sudah seharusnya, tetapi mengapa dengan orang yang terbunuh tersebut?” Beliau menjawab, “Karena ia juga berkeinginan keras membunuh lawannya itu.”
Adapun imam Ahmad mengatakan dari Abu Dzar, ia berkata: Nabi pernah menaiki keledai dan beliau menyertakanku [membonceng] di belakangnya seraya bersabda: “Hai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika orang-orang mengalami kelaparan sedang engkau tidak dapat bangun dari tempat tidurmu dan pergi ke masjid, apa yang akan kamu perbuat?” Abu Dzar menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Jagalah kehormatan dirimu.” Lebih lanjut beliau bersabda: “Hai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika kematian menimpa orang-orang, dimana tempat tinggal menjadi kuburan seorang hamba, lalu apa yang akan kamu perbuat?” Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” “Bersabarlah.” Jawab Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: “Hai Abu Dzar, jika orang-orang saling membunuh satu dengan lainnya sehingga berlumuran darah, dan apa yang akan kamu kerjakan?” “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Jawab Abu Dzar. Rasulullah saw. bersabda: “Duduklah di rumahmu dan jangan kamu buka pintu rumahmu.” Abu Dzar bertanya: “Jika aku tidak berdiam diri di rumah?” Beliau berkata: “Datangilah orang-orang yang engkau termasuk dari mereka, lalu jadikanlah engkau golongan mereka.” “Jadi aku ambil saja pedangku?” Tanya Abu Dzar. Rasulullah saw. bersabda: “Kalau begitu berarti engkau bergabung dengan mereka dalam tindakan mereka itu, tetapi jika engkau takut kilatan pedang dapat menghentikanmu, maka tutupkanlah ujung kain rada’mu [selendangmu] pada wajahmu agar ia kembali dengan membawa dosanya sendiri dan juga dosamu.” (HR Muslim dan penyusun as-Sunan, kecuali an-Nasa’i)
Firman-Nya: innii uriidu an tabuu-a bi-itsmii wa itsmika fatakuuna min ash-habin naari wa dzaalika jazaa-udh dhaalimiiin (“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan [membawa] dosa [membunuh] ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang dhalim.”
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, dan as-Suddi mengatakan, mengenai firman-Nya: innii uriidu an tabuu-a bi-itsmii wa itsmika (“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan [membawa] dosa [membunuh] ku dan dosamu sendiri,”) yaitu dosa akibat pembunuhan terhadap diriku dan dosamu sendiri yang sudah ada sebelum itu.” Demikian yang dikatakan Ibnu Jarir.
Fatakuuna min ash-haabin naari wa dzaalika jazaa-udh dhaalimiin (“Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah balasan bagi orang-orang yang dhalim.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Habil menakut-nakutinya dengan api neraka, tetapi tidak menghentikan dan mencegah diri darinya.”
Allah berfirman: wa thawwa’at laHuu nafsuHuu qatla akhiiHi faqatalaHuu fa ashbaha minal khaasiriin (“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu ia pun membunuhnya sehingga jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”) maka nafsu itu menjadikannya segala sesuatu baik, membisikkan, dan mendorongnya untuk membunuh saudara kandungnya. Akhirnya Qabil membunuh Habil setelah adanya nasehat dan larangan tersebut.
Fa ashbaha minal khaasiriin (“Sehingga ia menjadi seorang di antara orang yang merugi.”) yaitu, di dunia dan akhirat. Maka adakah kerugian yang lebih besar dari itu?
Imam Ahmad mengatakan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Tidaklah seseorang dibunuh secara dhalim, melainkan anak Adam yang pertama itu [Qabil] mendapatkan bagian darahnya, karena ia adalah orang yang pertama kali melakukan pembunuhanl.” (HR Jama’ah, selain Abu Dawud)
Firman Allah: fa ba’atsallaaHu ghurabay yabhatsu fil ardli liyuriyaHuu kaifa yuwaarii sau-ata akhiiHi qaala ya wailataa a-‘ajaztu an akuuna mitsla Haadzal ghuraabi fa uwaariya sau ata akhii, fa ash-baha minan naadimiin (“kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”)
Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Datang seekor burung gagak kepada burung gagak yang sudah mati, lalu burung itu berusaha menggali tanah sehingga ia benar-benar menutupinya. Kemudian si pembunuh saudaranya itu berkata: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”)
Mengenai firman-Nya: fa ash-baha minan naadimiin (“Karena itu jadilah ia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”) Hasan al-Bashri berkata: “Setelah menimpakan kerugian kepadanya [Qabil], Allah menimpakan juga penyesalan kepadanya.”
Bersambung ke bagian 14

No comments:

Post a Comment

 
back to top