Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 7-11 (6)
10DES
“7. dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan Kami taati”. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu). 8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 9. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. 10. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka. 11. Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (al-Maa-idah: 7-11)
Allah berfirman: wadzkuruu ni’matallaaHi ‘alaikum wa miitsaaqaHul ladzii wa atsqalakum biHii idz qultum sami’naa wa atha’naa (“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya denganmu ketika kamu mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taati.’”) inilah bait yang pernah mereka ucapkan di hadapan Rasulullah saw. ketika mereka masuk Islam. Sebagaimana yang mereka katakan: “Kami pernah berjanji setia kepada Rasulullah saw untuk selalu mendengar dan senantiasa taat, baik dalam keadaan senang maupun terpaksa. Kami berjanji untuk mengutamakan beliau atas diri kami, dan kami tidak akan membantah perintahnya.”
Selanjutnya Allah berfirman: wattaqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah”) hal ini merupakan penekanan dan penegasan untuk senantiasa bertakwa dalam segala keadaan.
Setelah itu, Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Allah telah mengetahui segala yang tersimpan dalam hati mereka berupa rahasia dan lintasan hati. Allah berfirman: innallaaHa ‘aliimum bidzaatish shuduur (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui isi hati”).
Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu kuunuu qawwaamiina lillaaHi (“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah.”) maksudnya, jadilah kamu sebagai penegak kebenaran karena Allah swt. bukan karena manusia atau mencari popularitas. Dan jadilah kalian syuHadaa-a bilqisthi (“saksi dengan adil”). Maksudnya, secara adil dan bukan secara curang.
Dalam ash-Shahihain telah ditegaskan dari Nu’man bin Basyir: “Ayahku pernah memberiku suatu pemberian. Lalu ibuku, ‘Amrah binti Rawahah, berkata: ‘Aku tidak rela sehingga engkau mempersaksikan pemberian itu kepada Rasulullah saw.’ kemudian ia [ayahku] mendatangi beliau dan meminta beliau menjadi saksi atas sedekahku itu. Maka beliau saw. pun bersabda: ‘Apakah setiap anakmu engkau beri hadiah seperti itu juga?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Maka beliau saw. pun bersabda: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian !’ Lebih lanjut beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas suatu ketidak adilan.’ Kemudian ayahku pulang dan menarik kembali pemberian tersebut.’”
Firman-Nya: wa laa yajrimannakum syana-aanu qaumin ‘alaa allaa ta’diluu (“Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil.”) maksudnya, janganlah kebencian kepada suatu kaum menjadikan kalian berbuat tidak adil terhadap mereka, tetapi terapkanlah keadilan itu pada setiap orang, baik itu teman atau musuh kalian. Oleh karena itu Allah berfirman, i’diluu Huwa aqrabu littaqwaa (“Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”) maksudnya, keadilan kalian itu lebih dekat kepada taqwa daripada meninggalkannya. Kata kerja dalam penggalan ayat tersebut berkedudukan sebagai mashdar. Karena dlamir [kata ganti] itu kembali kepadanya, sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat yang serupa di dalam al-Qur’an dan yang lainnya. Seperti misalnya firman Allah ini: wa in qiila lakumurji’uu farji’uu Huwa azkaa lakum (“Dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembalilah,’ maka hendaklah kamu kembali, hal itu lebih bersih bagimu.”) (an-Nuur: 28)
Firman-Nya: Huwa aqrabu littaqwaa (“Karena, adil itu lebih dekat kepada taqwa”) adalah termasuk dalam kategori fi’lut tafdlil [bentuk ungkapan lebih, contoh: aqrabu, lebih dekat; dan aktsaru, lebih banyak] yaitu pada kedudukan di tempat yang tidak terdapat perbandingannya. Sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya ini: ash-haabul jannati yauma-idzin khairum mustaqarraw wa ahsanu maqiilan (“Para penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggal mereka dan paling indah tempat istirahatnya.”)(al-Furqaan: 24)
Selanjutnya Allah berfirman: wattaqullaaHa innallaaHa khabiirum bimaa ta’maluun (“Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.”) maksudnya, Allah akan memberikan balasan kepada kalian berdasarkan ilmu-Nya terhadap perbuatan yang kalian kerjakan. Jika baik akan dibalas dengan kebaikan; jika buruk akan dibalas dengan keburukan pula. Oleh karena itu setelah ayat tersebut Allah berfirman:
Wa ‘adallaaHul ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati laHum maghfiratun (“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, [bahwa] untuk mereka ampunan.”) yaitu atas dosa-dosa mereka. wa ajrun ‘adhiim (“dan pahala yang besar”) yaitu berupa surga yang merupakan rahmat Allah terhadap hamba-hamba-Nya. mereka tidak mendapatkan surga itu karena amal mereka, tetapi karena rahmat dan karunia-Nya, meskipun tercapainya rahmat kepada mereka itu disebabkan oleh amal mereka. Dialah Yang Mahatinggi, yang telah menjadikan amal manusia sebagai sebab untuk memperoleh rahmat, karunia, ampunan dan keridlaan-Nya. Dengan demikian, segala sesuatu adalah dari-Nya dan milik-Nya, maka bagi-Nyalah segala puji dan [milik-Nyalah] karunia.
Wal ladziina kafaruu wa kadzdzabuu bi aayaatinaa ulaa-ika ash-haabul jahiim (“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.”) yang demikian itu merupakan salah satu keadilan, hikmah, dan hukum-Nya. Allah tidak bertindak dhalim, tetapi justru itulah hukum yang adil. Dan Allah Mahabijaksana lagi Mahakuasa.
Mengenai firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanudzkuruu ni’matallaaHi ‘alaikum idz Hamma qaumun ay yabsuthuu ilaikum aidiyakum fakaffa aidiyaHum ‘ankum (“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah [yang diberikan-Nya] kepadamu pada waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu [untuk berbuat jahat], maka Allah menahan tangan mereka darimu.”) ‘Abdur Razzaq berkata, dari Jabir: Rasulullah saw. pernah singgah di suatu tempat. Lalu para shahabat berpencar menuju pohon besar yang berduri untuk bernaung di bawahnya, sedangkan Nabi saw. menggantungkan senjatanya di sebatang pohon. Kemudian ada seorang Arab Baduy yang mendatangi pedang Rasulullah saw. lalu ia mengambil dan mencabutnya dari sarungnya. Kemudian ia menuju Nabi saw. seraya berkata: “Siapakah yang akan menghalangimu dariku?” Beliau menjawab: “Allah.” Orang Arab Baduy itu mengajukan pertanyaan dua atau tiga kali: “Siapakah yang akan menghalangimu dariku?” Dan Nabi saw. pun tetap menjawab: “Allah.” Kemudian orang Baduy itu menyarungkan kembali pedang itu. Lalu Nabi saw. memanggil para shahabat beliau dan memberitahukan kepada mereka tentang orang Baduy tersebut, sementara orang Baduy itu dalam keadaan duduk di samping beliau, dan beliau tidak menghukumnya.
Ma’mar berkata: Qatadah pernah menyebutkan hal yang sama dengan itu, ia menyebutkan: “Ada suatu kaum dari bangsa Arab yang hendak membinasakan Rasulullah saw. Maka mereka mengutus orang Baduy ini.” Dan Qatadah pun menafsirkan firman Allah Ta’ala berikut [dengan pengertian tersebut], udzkuruu ni’matallaaHi ‘alaikum idz Hamma qaumun ay yabsuthuu ilaikum aidiyakum fakaffa aidiyaHum ‘ankum (“ingatlah kamu akan nikmat Allah [yang diberikan-Nya] kepadamu pada waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu [untuk berbuat jahat],”)
Dan kisah orang baduy itu, yaitu Ghaurats bin Harits telah ditegaskan dalam riwayat yang shahih.
Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Mujahid, ‘Ikrimah, dan juga ulama lainnya mengatakan: “Ayat tersebut turun berkenaan dengan keadaan bani Nadhir ketika mereka hendak menimpakan batu penggiling ke kepala Nabi saw. saat beliau mendatangi mereka untuk minta tolong kepada mereka perihal tebusan kabilah ‘Amiriyyin. Kemudian mereka menugaskan ‘Amr bin Jahhasy bin Ka’ab untuk menangani masalah itu. Mereka memerintahkannya untuk menimpakan batu besar kepada Nabi saw. dari atas jika beliau duduk di bawah dinding dan mereka telah berkumpul di hadapannya. Kemudian Allah memperlihatkan kepada Nabi saw. rencana jahat mereka kepadanya. Maka beliau pun kembali ke Madinah diikuti oleh para shahabat beliau, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini.”
Firman Allah: wa ‘alallaaHi falyatawakkalil mu’minuun (“Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang Mukmin itu harus bertawakal.”) yakni barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan berikan kecukupan apa yang ia inginkan, dipelihara dan dijaga dari kejahatan manusia. Setelah itu, Rasulullah saw. menyuruh para shahabatnya untuk berangkat menuju mereka pada pagi hari sehingga beliau berhasil mengepung mereka, mengeluarkan mereka, kemudian beliau mengusir mereka.
Bersambung ke bagian 7
No comments:
Post a Comment