Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 72-75

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 72-75

10JAN
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 72-75“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam,’ padahal Al-Masih (sendiri) berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kalian.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan [sesuatu dengan] Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dhalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwa Allah salah seorang dari yang tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka(Ahlil Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (al-Maa-idah: 72-75)
Allah Swt. berfirman menjatuhkan keputusan kafir terhadap beberapa golongan dari kaum Nasrani —yaitu golongan Malakiyah, Ya’qubiyah, dan Nusturiyah— karena sebagian dari mereka mengatakan bahwa Al-Masih adalah tuhan. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakana dan Mahasuci dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Dalam keterangan sebelumnya telah disebutkan, mereka telah diberi tahu bahwa Al-Masih itu adalah hamba dan utusan Allah. Kalimat yang mula-mula diucapkannya selagi ia masih berada dalam buaian ialah, “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah!” Dan ia tidak mengatakan bahwa dirinya adalah Allah, tidak pula sebagai anak Allah, melainkan dia mengatakan:
“Sesungguhnya aku ini hamba Allah; Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.” (Maryam: 30)
Sampai dengan beberapa ayat berikutnya, yaitu firmanNya: “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kalian, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.” (Maryam: 36)
Demikian pula di saat masa dewasanya dan telah diangkat menjadi nabi, dia mengatakan kepada mereka seraya memerintahkan agar mereka menyembah Allah, Tuhannya dan Tuhan mereka semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Karena itulah dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya:
Wa qaala masiihu yaa banii israa-iila’ budullaaHa rabbii wa rabbakum. innaHuu may yusyrik billaaHi (“padahal Al-Masih [sendiri] berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kalian.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan [sesuatu dengan] Allah.”) (Al-Maidah: 72) yaitu menyembah selain Allah bersama Dia.
Faqad harramallaaHu ‘alaiHil jannata wa ma’waaHun naaru (“Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah di neraka.”)
Yakni Allah memastikannya menjadi penghuni neraka dan mengharamkan surga atasnya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah dalam firman lainnya, yaitu yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)
Dan Allah Swt. telah berfirman yang artinya:
“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga, ‘Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepada kalian.’ Mereka (penghuni surga) menjawab, ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.’” (Al-A’raf: 50)
Di dalam Kitab Sahih disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah memerintahkan seorang juru penyeru untuk menyerukan di kalangan khalayak ramai, bahwa sesungguhnya surga itu tiada yang dapat masuk ke dalamnya kecuali jiwa yang muslim. Menurut lafaz yang lain disebutkan jiwa yang mukmin. Dalam pembahasan sebelumnya, yaitu pada permulaan tafsir surat An-Nisa, tepatnya pada pembahasan firmanNya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (An-Nisa: 48)
Disebutkan sebuah hadis melalui Yazid ibnu Babnus, dari Siti Aisyah, bahwa diwan (catatan amal) itu ada tiga macam. Lalu disebutkan salah satunya, yaitu suatu diwan yang Allah tidak mau memberikan ampunan padanya, yaitu dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan selain-Nya).
Allah Swt. berfirman:
May yusyrik billaaHi faqad harramallaaHu ‘alaiHil jannata (“Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga.”) (Al-Maidah: 72)
Hadis ini terdapat di dalam kitab Musnad Imam Ahmad. Karena itu, dalam surat ini disebutkan oleh Allah Swt., menceritakan keadaan Al-Masih, bahwa dia telah mengatakan kepada kaum Bani Israil:
innaHuu May yusyrik billaaHi faqad harramallaaHu ‘alaiHil jannata wa ma’waaHun naaru, wa maa lidh dhaalimiina min anshaar (“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan [sesuatu dengan] Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.”) (Al-Maidah: 72)
Yakni di hadapan Allah dia tidak memperoleh seorang penolong pun, tiada yang membantunya dan tiada pula yang dapat menyelamatkan dia dari apa yang dialaminya.
Firman Allah Swt.: laqad kafaral ladziina qaaluu innallaaHa tsaalitsu tsalaatsatin (“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga.”) (Al-Maidah: 73)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnul Hakam ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl, telah menceritakan kepada kami Abu Sakhr sehubungan dengan firmanNya:
laqad kafaral ladziina qaaluu innallaaHa tsaalitsu tsalaatsatin (“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga.”) (Al-Maidah: 73)
Hal itu seperti perkataan orang-orang Yahudi, bahwa Uzair adalah anak Allah; dan orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih adalah putra Allah. Mereka menjadikan Allah sebagai salah satu dari yang tiga (yakni ada tuhan ayah, tuhan ibu, dan tuhan anak). Tetapi pendapat ini bila dikaitkan dengan tafsir ayat ini berpredikat gharib, mengingat pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dua golongan, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nasrani saja secara khusus. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenainya. Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah orang-orang yang kafir dari kalangan mereka (kaum Ahli Kitab), yaitu mereka yang mengatakan ajaran trinitas, yaitu tuhan ayah, tuhan anak, dan tuhan ibu yang melahirkan tuhan anak. Mahatinggi Allah dari perkataan mereka dengan ketinggian yang Setinggi-tingginya.
Ibnu Jarir dan lain-lainnya mengatakan, ketiga sekte itu —yakni sekte Malakiyah, sekte Ya’qubiyah, dan sekte Nusturiyah— semuanya mengatakan ajaran trinitas ini, sekalipun mereka berbeda pendapat mengenainya dengan perbedaan yang sangat mencolok; pembahasan mengenainya bukan dalam kitab ini. Setiap golongan dari mereka mengalirkan golongan yang lain, tetapi pada prinsipnya ketiga golongan itu semuanya kafir.
As-Saddi dan lain-lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sikap mereka yang menjadikan Al-Masih dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Mereka menjadikan Allah sebagai salah satu dari yang tiga itu.
As-Saddi mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam akhir surat ini melalui firman-Nya yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah’?’ Isa menjawab, ‘Mahasuci Engkau…’” (Al-Maidah: 116), hingga akhir ayat. Pendapat inilah yang terkuat.
Firman Allah Swt.: wa maa min ilaaHin illaa ilaaHuw waahid (“padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.”) (Al-Maidah: 73)
Dengan kata lain, Tuhan itu tidak berbilang, melainkan Maha Esa, tiada yang menyekutui-Nya, Tuhan semua yang ada, dan Tuhan semua makhluk. Kemudian Allah Swt. berfirman seraya mengancam dan menekan mereka:
Wa il lam yantaHuu ‘ammaa yaquuluuna (“Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu.”) (Al-Maidah: 73) Yakni tidak mau berhenti dari kebohongan dan kedustaan itu.
Layamassannal ladziina kafaruu minHum ‘adzaabun aliim (“pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.”) (Al-Maidah: 73) Yaitu kelak di hari kemudian, berupa belenggu-belenggu dan berbagai macam siksaan.
Kemudian Allah Swt. berfirman: afa laa yatuubuuna ilallaaHi wa yastaghfiruuna wallaaHu ghafuurur rahiim (“Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”) Demikianlah kemurahan, kedermawanan, kelapangan, kelembutan, dan rahmat Allah Swt. kepada makhlukNya. Sekalipun mereka melakukan dosa yang paling besar melalui kebohongan dan kedustaan yang mereka buat-buat terhadap Allah, Allah tetap menyeru mereka untuk bertobat dan memohon ampun; karena setiap orang yang bertobat kepada-Nya, niscaya Dia menerima tobatnya.
Firman Allah Swt.: mal masiihubnu maryama illaa rasuulun. Qad khalat min qabliHir rusulu (“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul.”) (Al-Maidah: 75) Yakni sama halnya seperti semua rasul yang mendahuluinya. Dengan kata lain, dia adalah salah seorang dari hamba-hamba Allah dan salah seorang dari rasul-rasul-Nya yang mulia. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain yang artinya:
“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” (Az-Zukhruf: 59)
Firman Allah Swt.: wa ummuHuu shiddiiqatun (“dan ibunya seorang yang sangat benar.”) (Al-Maidah: 75) Yaitu beriman kepada Isa dan membenarkannya. Hal ini merupakan kedudukan yang paling tinggi baginya, dan hal ini menunjukkan bahwa Maryam bukanlah seorang nabi perempuan; tidak seperti apa yang diduga oleh Ibnu Hazm dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa ibu Nabi Ishaq (Saran), ibu Nabi Musa, dan ibu Nabi Isa semuanya adalah nabi wanita. Ibnu Hazm mengatakan demikian dengan berdalilkan bahwa para malaikat berbicara dengan Sarah dan Maryam, seperti yang disebutkan di dalam firmanNya: Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susukanlah dia.” (AlQasas: 7) Dan dia memberi pengertian lafaz wa auhaina ini menunjukkan derajat kenabian.
Tetapi menurut pendapat jumhur ulama, Allah belum pernah mengutus seorang nabi melainkan dari kalangan kaum laki-laki.
Allah Swt. berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki Yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
Syekh Abul Hasan Al-Asy’ari telah meriwayatkan adanya kesepakatan para ulama akan ketetapan ini.
Firman Allah Swt.: kaana ya’kulaanith tha’aam (“Kedua-duanya biasa memakan makanan,”) (Al-Maidah: 75) Yakni mereka memerlukan makanan dan mengeluarkan kotorannya, dan merupakan dua orang hamba, sama dengan manusia lainnya, sama sekali bukan tuhan, tidak seperti apa yang didakwakan oleh orang-orang Nasrani yang bodoh; semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat.
Kemudian Allah Swt. berfirman: undhur kaifa nubayyinu laHumul aayaati (“Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka [Ahli Kitab] tanda-tanda kekuasaan Kamil.”) (al-Maidah: 75) Yaitu ayat-ayat yang telah Kami jelaskan dan kami tampakkan kepada mereka.
Tsummandhur annaa yu’fakuun (“Kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling [dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu.]”). (Al-Maidah: 75) Yakni kemudian perhatikanlah sesudah penjelasan dan keterangan itu, ke manakah mereka akan pergi, pendapat apakah yang mereka pegang, serta aliran sesat manakah yang mereka tempuh?
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top