Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 94-95

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 94-95

7FEB
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 94-95“94. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, Maka baginya azab yang pedih. 95. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (al-Maa-idah: 94-95)
Mengenai firman Allah: layabluwannakumullaaHu bisyai-im minash-shaidi tanaaluHu aidiikum wa rimaahukum (“Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu.”)
Al-Walibi mengatakan dari Ibnu Abbas: “Yaitu binatang buruan yang lemah dan masih kecil, yang dengannya Allah akan menguji hamba-hamba-Nya ketika mereka mengerjakan ihram, bahkan jika menghendaki mereka bisa menangkap binatang-binatang buruan itu dengan tangannya. Namun Allah melarang mereka dari mendekatinya.”
Mengenai firman-Nya: tanaaluHu aidiikum (“Yang mudah didapat oleh tanganmu.”) Mujahid mengatakan: “Yakni binatang-binatang buruan yang masih kecil dan masih dalam asuhan induknya. Wa rimaahukum (“Dan tombakmu”) yakni binatang-binatang buruan yang sudah besar.”
Liya’lamallaaHu may yakhaafuHu bil ghaiib (“Supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya.”) yakni Allah Ta’ala menguji mereka dengan binatang-binatang dengan buruan yang berkeliaran di sepanjang perjalanan mereka, yang memungkinkan bagi mereka menangkap dengan tangan dan dengan tombaknya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, untuk melihat ketaatan orang-orang taat dari mereka baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, sebagaimana Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (al-Mulk: 12)
Mengenai firman Allah: fa mani’tadaa ba’da dzaalika (“Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu.”) as-Suddi dan ulama lainnya berkata, “Yakni setelah pemberitahuan, peringatan dan penjelasan ini.” falaHuu ‘adzaabun aliim (“Maka baginya adzab yang pedih.”) yaitu, disebabkan oleh pelanggarannya terhadap perintah dan syariat-Nya.
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taqtuluush shaida wa antum hurum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.”) yang demikian itu merupakan pengharaman oleh Allah dalam membunuh binatang buruan ketika sedang mengerjakan ihram, dan Allah melarang orang yang sedang berihram melakukannya.
Dari segi pengertiannya, pengharaman itu mencakup binatang yang dapat dimakan meskipun anak yang dilahirkan darinya dan dari selainnya. Adapun binatang-binatang darat yang tidak dapat dimakan, maka menurut imam Syafi’i, orang yang sedang berihram boleh membunuhnya. Sebaliknya jumhur ulama sepakat untuk mengharamkan pembunuhan terhadap binatang tersebut dan tidak ada pengecualian di dalamnya kecuali apa yang ditegaskan di dalam ash-shahihain, melalui jalan az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Ada lima binatang fasik [jahat] yang boleh dibunuh, baik di tanah halal [di luar Makkah] maupun di tanah Haram [di Makkah], yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.”
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ada lima binatang yang tidak berdosa bagi seseorang yang sedang berihram membunuhnya, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.” (al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan pula hadits ini)
Ayyub berkata: “Aku tanyakan kepada Nafi’: ‘Bagaimana dengan ular?’ Nafi’ menjawab: ‘Tidak ada keraguan lagi dalam masalah ular ini, dan tidak ada pendapat mengenai dibolehkannya membunuh ular.’”
Ada beberapa ulama seperti misalnya Malik dan Imam Ahmad yang mengelompokkan serigala, binatang buas, macan tutul, cheetah, singa, dan semua binatang buas dengan anjing gila, karena binatang-binatang itu lebih berbahaya daripada anjing gila. wallaaHu a’lam. Mereka mengatakan: jika membunuh binatang selain binatang tersebut maka ia harus membayar fidyah. Misalnya dubuk [sejenis macan tutul], musang, kelinci, dan sebangsanya. Imam Malik berkata: “Begitu pula dikecualikan dari hal itu yaitu binatang-binatang yang masih kecil dari kelima binatang di atas, dan yang mengqiyaskan dengannya.”
Imam Syafi’i berkata: “Seorang yang sedang berihram boleh membunuh semua binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara yang masih kecil dan yang sudah besar.” Beliau menggunakan sebab yang bersifat umum, yaitu karena binatang-binatang tersebut tidak boleh dimakan.
Adapun Abu Hanifah berkata: “Seseorang yang sedang berihram boleh membunuh anjing gila dan serigala, karena itu merupakan anjing liar, maka jika ia membunuh binatang selain kedua binatang tersebut, ia harus membayar fidyah. Kecuali jika ia diserang oleh selain kedua hewan tersebut lalu ia membunuhnya. Maka tidak ada kewajiban fidyah baginya.” Ini adalah pendapat al-Auza’i dan al-Hasan bin Shalih bin Huyay.
Zufar bin Hudzail berkata: “Ia berkewajiban membayar fidyah jika membunuh selain binatang tersebut, meskipun binatang yang dibunuhnya itu menyerangnya.”
Imam Malik berkata: “Orang yang berihram tidak diperbolehkan membunuh burung gagak, kecuali jika binatang tersebut menyerang dan menyakitinya.”
Firman Allah: wa man qatalaHuu minkum muta’ammidan fajazaa-um mitslu maa qatala minan na’ami (“Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya.”) yang menjadi pendapat jumhur ulama ialah orang yang sengaja dan orang yang lalai sama dalam kewajiban membayar denda. Az-Zuhri berkata: “Ayat al-Qur’an menunjukkan terhadap orang yang sengaja, dan as-Sunnah berlaku terhadap orang yang lalai.” Makna al-Qur’an menunjukkan keharusan membayar denda bagi orang yang membunuh binatang dengan sengaja dan atas perbuatan dosanya, yaitu melalui firman-Nya:
Shiyaamal liyadzuuqa wa baala amriHii ‘afallaaHu ‘ammaa salafa wa man ‘aada fayantaqimullaaHu minHu (“Supaya ia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.”)
Adapun sunnah Nabi saw. dan para shahabatnya datang dengan mewajibkan pembayaran denda terhadap pembunuhan yang dilakukan karena kesalahan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an terhadap pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Juga bahwa pembunuhan binatang buruan itu adalah sebagai bentuk pembinasaan, sedangkan pembinasaan itu mencakup kesengajaan dan kelalaian. Tetapi orang yang sengaja melakukannya berdosa, sedangkan orang yang melakukannya karena kesalahan tidak tercela.”
Firman-Nya: fa ja-zaa-um mitslu maa qatala minan na’ami (“Maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya.”) sebagian ulama membacanya dengan menggunakan idhafah (fajazaa-u mitsli) dan yang lainnya membacanya dengan ‘athaf: fajazaa-um mistlu.
Sesuai dengan kedua bacaan tersebut, terdapat dalil pada pendapat yang dipegang oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan jumhur, yaitu kewajiban membayar denda yang sebanding dengan binatang yang dibunuh oleh orang yang ihram. Hal itu jika ia mempunyai binatang jinak yang seimbang untuk itu.
Hal ini berbeda pendapat dengan Abu Hanifah, ia mewajibkan nilainya [harganya], baik denda yang dibayarkannya itu sama dengan binatang yang dibunuhnya maupun tidak. Beliau berkata: “Si pelaku diberi pilihan; jika menghendaki ia boleh menyedekahkan dengan nilai harga binatang yang dibunuhnya itu. Dan jika menghendaki, ia membeli binatang yang setara dengannya sebagai gantinya.”
Adapun kesepadanan yang ditetapkan oleh para shahabat adalah lebih pantas untuk diikuti. Mereka menetapkan denda seekor unta bagi pembunuh seekor burung unta, denda seekor sapi untuk pembunuhan terhadap seekor sapi liar, dan denda seekor kambing untuk pembunuhan kijang. Semua ketetapan para shahabat dan sanad-sanadnya telah tertulis di dalam kitab al-Ahkam. Sedangkan jika binatang buruan itu tidak ada padanannya, Ibnu ‘Abbas menetapkan dengan harga pembeliannya yang berlaku di Makkah. Demikian menurut riwayat Imam al-Baihaqi.
Firman Allah: yahkumu biHii dzawaa ‘adlim minkum (“Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.”) yakni, yang memutuskan denda berupa binatang yang sepadan atau denda dengan perhitungan nilai harga bagi binatang yang tidak sepadan adalah dua orang yang adil dari kaum muslimin.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pembunuh binatang itu, apakah ia boleh jadi salah satu dari dua hakim tersebut? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, menyatakan tidak boleh, karena dimungkinkan akan membela dirinya sendiri, ini adalah pendapat Imam Malik. Kedua, menyatakan boleh, yaitu didasarkan pada keumuman pengertian ayat, ini adalah madzhab Syafi’i dan Ahmad.
Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah pemerintah harus ikut campur dalam memutuskan segala sesuatu yang menimpa orang yang berihram sehingga harus ada dua orang hakim adil yang memutuskan masalah tersebut meskipun hal yang sama telah diputuskan oleh para shahabat, ataukah cukup hanya dengan hukum-hukum Shahabat terdahulu?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata: “Dalam hal itu mengikuti apa yang telah diputuskan oleh para shahabat.” kedua ulama ini menjadikannya sebagai syari’at baku yang tidak dapat diubah. Sebaliknya hal-hal yang belum diputuskan oleh para shahabat, maka hal itu dikembalikan kepada dua orang hakim yang adil.”
Imam Malik dan Abu Hanifah berkata: “Bahwa keputusan itu berlaku pada setiap individu, apakah hukum itu ditemukan kesamaan pada zaman shahabat atau tidak. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala: yahkumu biHii dzawaa ‘adlim minkum (“Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.”)
Firman Allah: Hadyam baalighal ka’bati (“Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah”) maksudnya binatang kurban itu dibawa sampai ke Ka’bah. Yakni kurban itu sampai ke Tanah Haram untuk disembelih di sana, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang terdapat di Tanah Haram tersebut. Yang demikian itu merupakan sesuatu hal yang telah disepakati.
Firman Allah: au kaffaaratu tha’aami masaakiina au ‘adlu dzaalika syiyaaman (“Atau [dendanya] membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.”) Maksudnya jika seseorang yang berihram itu tidak mendapatkan binatang buruan itu tidak ada padanannya.
[Maksud kata] “atau” menurut kami dalam hal ini bermakna memberi pilihan antara denda, memberi makan dan berpuasa. Seperti halnya pendapat Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan salah satu pendapat Imam Syafi’i, serta pendapat yang mahsyur adalah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Hal ini didasarkan pada lahiriyah kata “au” [atau] yang dimaksudkan sebagai pemberian pilihan.
Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa kata “au” itu sebagai urutan. Gambarannya adalah, hendaknya ia memulai dengan memperhitungkan nilai, atau harga binatang yang dibunuh. Demikian menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan para shahabatnya, Hamad, dan Ibrahim.
Asy-Syafi’i berkata: “Jika ada yang sepadan dengan binatang yang dibunuh itu, boleh diperhitungkan harganya kemudian dibelikan makanan, selanjutnya disedekahkan, yaitu diberikan kepada masing-masing orang miskin satu mud.” Demikian menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, para fuqaha Hijaz, dan menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Abu Hanifah dan para shahabatnya berpendapat, kepada masing-masing orang miskin diberi dua mud. Pendapat yang terakhir ini juga merupakan pendapat Mujahid. Imam Ahmad berkata: “Satu mud dari biji gandum atau dua mud dari yang lainnya. Jika ia tidak mendapatkannya, -atau kami katakan dengan memilih- ia harus berpuasa sebagai ganti atas pemberian makan kepada setiap satu orang miskin satu hari.”
Ibnu Jarir berkata: “Para ulama lainnya mengemukakan: ‘Ia harus berpuasa untuk menggantikan setiap satu sha’ makanan, satu hari.’ Sebab Rasulullah saw. pernah memerintahkan Ka’ab bin ‘Ujrah untuk membagikan makanan sebanyak satu faraq kepada enam orang miskin, atau berpuasa selama tiga hari, satu faraq sama dengan tiga sha’.”
Mereka berbeda pendapat mengenai tempat pemberian makanan. Asy-Syafi’i berkata: “Tempatnya adalah [di] Tanah Haram.” Dan hal ini merupakan pendapat ‘Atha’. Imam Malik berkata: “Pemberian makanan itu dilakukan di tempat pembunuhan binatang tersebut.” Abu Hanifah berkata: “Jika ia menghendaki, ia boleh memberikan makanan di Tanah Haram, dan jika ia mau, ia boleh melakukannya di tempat yang lain.”
Firman Allah: liyadzuuqa wa baala amriHi (“Supaya ia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya.”) maksudnya, Kami [Allah] wajibkan kepadanya membayar kafarat supaya ia merasakan hukuman atas perbuatannya tersebut yang melanggar ketentuan.
‘afallaaHu ‘ammaa salafa (“Allah telah memaafkan apa yang telah lalu”) yaitu pada zaman jahiliyah bagi orang yang baik keislamannya, dan mengikuti syariat Allah, serta tidak berbuat maksiat.
Firman Allah: wa man ‘aada fayantaqimullaaHu minHu (“Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya.”) maksudnya barangsiapa yang melakukan hal itu setelah diharamkan di dalam Islam dan setelah hukum syariat sampai kepadanya; fayantaqimullaaHu minHu wallaaHu ‘aziizun dzuntiqaam (“niscaya Allah akan menyiksanya. Alllah Mahakuasa lagi mempunyai [kekuasaan untuk] menyiksa.”)
Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat: jika orang yang berihram itu membunuh binatang buruan, maka ia wajib membayar denda, tidak ada perbedaan antara denda memberi ganti yang setimpal, memberi makan orang miskin, atau berpuasa, sekalipun pelanggaran itu dilakukan berulang-ulang, baik pembunuhan itu dilakukan karena faktor kesalahan maupun karena faktor kesengajaan.
Mengenai firman Allah: wallaaHu ‘aziizun dzuntiqaam (“Allah Mahakuasa lagi mempunyai [kekuasaan untuk] menyiksa.”) Ibnu Jarir berkata: “Allah berfirman bahwa Allah Mahakokoh dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang dapat memaksa-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi-Nya untuk memberi siksaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan tidak pula seorang pun mampu menghindarkan diri dari siksa-Nya, jika Dia telah menghendaki, karena semua makhluk yang ada ini adalah ciptaan-Nya, semua perintah [syariat] hanya milik-Nya, Dia lah yang mempunyai kemuliaan dan keperkasaan.”
Allah berfirman: dzuntiqaam (“Mempunyai [kekuasaan untuk] menyiksa.”) maksudnya Allah mempunyai kemampuan untuk memberi siksaan kepada orang-orang yang mendurhakai-Nya, atas pelanggarannya itu.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top