Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 48-50

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 48-50

8DES
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 48-50“Dan Kami telab turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putus-kanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS. 5:48) dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti bawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telab diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari bukum yang telab diturunkan Allah), maka ketahuilah babwa sesungguhnya Allah mengbendaki akan menimpakan musibab kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesunggubnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:49) Apakah hukum jabiliyah yang mereka kebendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. 5:50)” (al-Maa-idah: 48-50)
Setelah Allah menceritakan kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa Kalimullah, dan Allah telah memuji dan menyanjung kitab tersebut, serta memerintahkan untuk mengikuti isi kitab Taurat itu, karena ia merupakan kitab yang pantas diikuti, dan juga menceritakan kitab Injil, memuji, dan memerintahkan pemeluknya menegakkan dan mengikuti semua yang di-kandungnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, maka Allah mulai menceritakan al-Qur’anul ‘Adhim yang diturunkan kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya.
Allah berfirman: wa anzalnaa ilaikal kitaaba bil haqqi (“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran.”) Yaitu, dengan kebenaran yang tidak diragukan lagi, bahwa ia benar-benar berasal dari sisi Allah.
Mushaddiqal limaa yadaiHi minal kitaab (“Yang membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab.”) Yaitu, kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya yang memuat penyebutan dan pemujian terhadap kitab al-Qur’an, bahwasanya kitab itu akan diturunkan dari sisi Allah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, Muhammad saw.
Maka turunnya al-Qur’an itu adalah sesuai dengan apa yang diberitakan di dalam kitab-kitab tersebut, yang mana hal itu akan menambah kebenarannya bagi pembacanya, dari kalangan orang-orang yang berpikir, yang tunduk kepada perintah Allah, dan mengikuti syari’at-syari’at-Nya, serta membenarkan para Rasul-Nya.
Firman-Nya: wa muHaiminan ‘alaiHi (“Dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”) Sufyan ats-Tsauri dan ulama lainnya berkata, dari Ibnu `Abbas: “Yakni yang menjaminnya.” Dan dari al-Walibi, dari Ibnu `Abbas, mengenai firman-Nya, wa muHaiminan ‘alaiHi (“Dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”) Iamengatakan: “Yakni yang menjadi saksi baginya.” Hal yang sama juga di-kemukakan Mujahid, Qatadah, dan as-Suddi. Al-‘Aufi berkata dari Ibnu `Abbas: wa muHaiminan ‘alaiHi (“Dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”) “Yaitu, yang menentukan (memutuskan) terhadap kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.”
Semua pendapat di atas mempunyai pengertian yang berdekatan, karena istilah al-muhaimin mencakup semua pengertian di atas. Maka, al-Qur’an itu yang dapat dipercaya, yang menjadi saksi, dan sebagai hakim atas kitab-kitab yang turun sebelumnya. Allah menjadikan al-Qur’an yang agung ini diturunkan paling akhir, dan sebagai penutup kitab-kitab-Nya. Sebagai kitab yang paling lengkap, paling agung, dan paling sempurna dari kitab-kitab se-belumnya, tatkala Allah mengumpulkan di dalamnya berbagai kebaikan yang ada pada kitab-kitab sebelumnya, dan menambahkannya dengan berbagai kesempurnaan yang tidak dijumpai dalam kitab-kitab lainnya. Oleh karena itu, Allah menjadikan al-Qur’an sebagai saksi, penjamin, dan yang menghakimi kitab-kitab sebelumnya secara keseluruhan.
Firman-Nya: fahkum bainakum bimaa anjalallaaH (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.”) Maksudnya hai Muhammad, berikanlah keputusan di antara umat manusia, baik bangsa Arab maupun non-Arab, yang buta huruf maupun yang pandai membaca, menurut apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepadamu di dalam kitab yang agung ini, dan menurut apa yang Allah tetapkan bagimu berupa hukum bagi para Nabi sebelummu, yang belum dinasakh di dalam syari’atmu.
Demikianlah makna yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata, “Nabi mempunyai dua pilihan: Jika beliau berkehendak, beliau akan memberikan keputusan kepada mereka, dan jika beliau tidak berkehendak, maka beliau menolak memberikan putusan kepada mereka, sehingga beliau mengembalikan mereka kepada hukum mereka sendiri, maka turunlah ayat:
Wa anihkum bainakum bimaa anzalallaaHu walaa tattabi’ aHwaa-aHum (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”) Dengan demikian, Allah memerintahkan Rasulullah untuk memberikan putusan di antara mereka menurut apa yang terdapat di dalam kitab kita (al-Qur’an).”
Firman-Nya: walaa tattabi’ aHwaa-aHum (“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”) Yaitu, pandangan-pandangan mereka yang telah mereka sepakati, dan karenanya mereka meninggalkan apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasul-rasul-Nya. Oleh karena itu Allah M berfirman: walaa tattabi’ aHwaa-aHum ‘ammaa jaa-akum minal haqqi (“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”) Maksudnya, janganlah engkau berpaling dari kebenaran yang telah diperintahkan Allah kepadamu, menuju kepada hawa nafsu orang-orang bodoh lagi celaka tersebut.
Firman Allah: li kulli ja’alnaa minkum syir’ataw wa minHaajan (“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”) Al-‘Aufi meriwayat-kan dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya, syir’ataw wa minHaajan (“Syari’at dan manhaj.”) “Yaitu jalan dan sunnah (tuntunan).” Karena syir’ah itu adalah syari’at itu sendiri, yaitu sesuatu yang menjadi permulaan dalam menuju kepada sesuatu. Dan dari kata itu juga muncul kalimat: syara’a fii kadzaa; yang berarti ia memulai dari sana. Sedangkan manhaj berarti jalan yang jelas lagi mudah, dan kata sunan itu juga berarti jalan-jalan (cara-cara).
Yang demikian itu merupakan berita tentang umat-umat yang menganutagama yang berbeda, di mana Allah Ta’ala mengutus beberapa Rasul yang muliadengan syari’at yang berbeda-beda dalam hukum-hukum, dan tetapi sama dalam tauhid. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Kami para Nabi adalah saudara satu bapak berlainan ibu, sedangkan agama kami adalah satu.”
Yang dimaksudkan adalah ajaran tauhid (yang satu) yang dibawa oleh setiap Rasul yang Allah utus, dan yang dikandung oleh setiap kitab yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan yang sebenarnya melainkan Aku, maka sembahlah Aku.’” (QS. Al-Anbiyaa’: 25).
Sedangkan syari’at yang berkaitan dengan perintah dan larangan adalah beraneka-ragam. Bisa jadi sesuatu itu diharamkan menurut syari’at ini, tetapi dihalalkan oleh syari’at yang lain, atau sebaliknya, atau sesuatu itu bersifat ringan menurut syari’at yang satu, tetapi diberatkan bagi syari’at yang lain. Yang demikian itu, karena di dalamnya Allah mempunyai hikmah yang sangat besar, dan hujjah yang tepat.
Sa’id bin Abi ‘Arubah berkata dari Qatadah mengenai firman-Nya: li kulli ja’alnaa minkum syir’ataw wa minHaajan (“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”) la berkata, “Yaitu jalan dan sunnah, dan sunnah itu berbeda-beda, di dalam Taurat terdapat syari’at tertentu, didalam Injil terdapat syari’at tertentu dan di dalam al-Qur’an pun terdapat syari’at tertentu. Di dalamnya Allah menghalalkan apa yang Allah kehendaki, dan mengharamkan apa saja yang Allah kehendaki, guna mengetahui siapa yang menaati-Nya, dan siapa yang mendurhakai-Nya.”
Allah Ta’ala berfirman: walau syaa-allaaHu laja’alakum ummataw waahidataw walaakil liyabluwakum fii maa aataakum (“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat [saja], tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.”) Maksud-nya, Allah mensyari’atkan berbagai macam syari’at untuk menguji hamba-hamba-Nya, dengan apa yang Allah syari’atkan kepada mereka, guna memberikan pahala atau siksaan kepada mereka, atas ketaatan atau kedurhakaan yang telah mereka lakukan, atau yang telah mereka rencanakan untuk berbuat semua itu.
Mengenai firman-Nya: fii maa aataakum (“Terhadap pemberian Nya kepadamu.”) ‘Abdullah bin Katsir berkata: “Yaitu berupa kitab.”
Selanjutnya Allah menganjurkan mereka untuk cepat dan segera menuju kepada kebaikan, di mana Allah berfinnan: fastabiqul khairaat (“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”) Yaitu taat kepada Allah, dan mengikuti syari’at yang Allah jadikan sebagai penasakh (yang menghapus) bagi syari’at-syari’at sebelumnya, serta membenarkan kitab-Nya, yaitu al-Qur’an, yang merupakan kitab yang terakhir kali diturunkan-Nya.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman: ilallaaHi marji’ukum (“Hanya kepada Allahlah kamu semua kembali.”) Maksudnya, tempat kembali kalian pada hari Kiamat kelak kepada Allah, hai sekalian manusia.
Fa yunabbi-ukum bimaa kuntum fiiHi takhtalifuun (“Lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”) Artinya, Allah Ta’ala akan memberitahukan kebenaran yang kalian perselisihkan.
Maka orang-orang yang bersikap benar, akan diberikan pahala atas kejujuran mereka itu, dan menyiksa orang-orang kafir yang sangat ingkar lagi mendustakan kebenaran, serta cenderung kepada kebatilan tanpa dalil dan bukti (petunjuk), bahkan mereka benar-benar menentang bukti yang sudah pasti.
Firman Allah: Wa anihkum bainakum bimaa anzalallaaHu walaa tattabi’ aHwaa-aHum (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”) Penggalan ayat ini merupakan penekanan bagi perintah melakukannya, yang disampaikan sebelumnya dan larangan menyalahinya.
Setelah itu Allah berfirman: wahdarHum ay yaftinuuka ‘am ba’di maa anzalallaaHu ilaika (“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”) Maksudnya, berhati-hatilah terhadap musuh-musuhmu dari kalangan orang-orang Yahudi, jangan sampai mereka memalsukan kebenaran melalui apa yang mereka larang kepadamu dari berbagai perkara. Maka janganlah engkau tertipu oleh mereka, karena sesungguhnya mereka itu pendusta, kafir, dan pengkhianat.
Wa in tawallau (“Dan jika mereka berpaling.”) Yaitu, dari hukum yang engkau putuskan di kalangan mereka secara hak, dan mereka menentang syari’at Allah Ta’ala.
Fa’lam annamaa yuriidullaaHu ay yushiibaHum biba’dli dzunuubiHim (“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka, disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”) Ketahuilah, bahwa hal itu terjadi sesuai dengan takdir (ketetapan) Allah Ta’ala dan hikmah-Nya terhadap mereka, di mana Allah memalingkan mereka dari petunjuk disebabkan mereka mempunyai dosa-dosa yang telah berlalu yang menyebabkan mereka disesatkan dan disiksa.
Inna katsiiram minan naasi la faasiquun (“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”) Maksudnya mayoritas manusia ini keluar dari ketaatan kepada Rabb mereka, menyalahi dan menentang kebenaran. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS.Yusuf: 103).
Muhammad bin Ishaq berkata dari Ibnu `Abbas, ia berkata, “Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, `Abdullah bin Shuriya, dan Syas bin Qais mengatakan, ‘Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: Pergilah bersama kami menemui Muhammad, siapa tahu kita dapat memalingkannya dari agamanya.’ Maka mereka pun menemui beliau lalu berkata: ‘Hai Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah para pendeta, tokoh dan orang-orang terhormat kaum Yahudi. Sesungguhnya jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi pun akan mengikuti kami, dan mereka tidak akan membantah kami. Antara kami dan kaum kami terdapat perselisihan, maka kami meminta keputusan kepadamu mengenai mereka. Menangkanlah kami atas mereka, maka kami akan beriman dan membenarkanmu.’ Namun Rasulullah menolak tawaran tersebut, lalu Allah berfirman mengenai mereka itu:
Wa anihkum bainakum bimaa anzalallaaHu walaa tattabi’ aHwaa-aHum wahdarHum ay yaftinuuka ‘am ba’di maa anzalallaaHu ilaika …… liqaumiy yuuqinuun (“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. -sampai dengan firman-Nya- bagi orang-orang yang yakin?” (Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarirdan Ibnu Abi Hatim).
Firman Allah: afa hukmal jaaHiliyyati yabghuuna wa man ahsanu minallaaHi hukmal liqaumiy yuuqinuun (“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”) Allah mengingkari orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (yang telah ditetapkan) dan mencakup segala kebaikan, yang mencegah segala bentuk kejahatan, dan berpaling kepada selain hukum Allah dari berbagai pendapat, pemikiran, hawa nafsu, dan berbagai istilah yang dibuat oleh orang-orang dengan tidak didasarkan pada syari’at Allah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang diletakkan berdasarkan pada pandangan dan hawa nafsu mereka.
Allah berfirman: afa hukmal jaaHiliyyati yabghuuna (“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki.”) Yakni,mereka menghendaki dan menginginkan hukum jahiliyah, serta mengambil selain hukum Allah,
wa man ahsanu minallaaHi hukmal liqaumiy yuuqinuun (“Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”) Maksud-nya, siapakah yang lebih adil dari Allah Ta’ala dalam hukum-Nya bagi orangyang berakal, yang memahami syari’at-Nya, beriman kepada-Nya, dan meyakini bahwa Allah adalah yang paling bijak dari semua yang bijak, yang lebih menyayangi makhluk-Nya daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sesungguhnya Allah adalah Mahatinggi, Mahamengetahui segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, dan Mahaadil dalam segala hal.
Ibnu Abi Hatim mengatakan, “Ayahku menceritakan kepada Hilal bin Fayyadh menceritakan kepada kami, Abu `Ubaidah an-Naji menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar al-Hasan berkata: ‘Barang-siapa yang berhukum selain hukum Allah, maka ia berarti berhukum dengan hukum jahiliyah.’” Al-Hafizh Abul Qasim ath-Thabrani mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Orang yang paling Allah benci adalah, orang yang menghendaki kebiasaan jahiliyah dalam Islam, dan menuntut darah orang lain tanpa alasan yang hak untuk menumpahkan darahnya.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dari Abul Yaman dengan sanadnya disertai dengan tambahan).
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top