Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 5 (4)
10DES
“5. pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.” (al-Maa-idah: 5)
Al yauma uhilla lakumuth thayyibaat (“Pada hari ini dihalakan bagimu yang baik-baik”). Setelah itu Allah menyebutkan hukum sembelihan ahluk kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, Allah berfirman: wa tha’aamul ladziina uutul kitaaba hillul lakum (“Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberikan al-Kitab itu halal bagimu.”) maksudnya, binatang-binatang sembelihan mereka.
Yang demikian itu telah menjadi kesepakatan para ulama, yaitu bahwa binatang-binatang sembelihan mereka itu halal bagi kaum muslimin. Karena merekapun meyakini haramnya menyembelih untuk selain Allah, dan mereka tidak menyebut pada sembelihan mereka, kecuali dengan nama Allah, meskipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang mana Allah Mahasuci dan Mahaagung [terjauh] dari apa yang mereka yakini tersebut.
Dan telah diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mughaffal, ia berkata: “Pada perang Khaibar aku diberi sekantong lemak, lalu aku menyimpannya dan aku katakan, ‘Sekarang aku tidak akan memberikan sebagian dari lemak ini kepada siapapun.’ Kemudian aku menoleh, ternyata Nabi saw. sedang tersenyum.”
Para fuqaha telah menjadikan hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan dibolehkannya memakan makanan yang dibutuhkan dan yang semacamnya dari ghanimah sebelum dibagikan. Dan hal itu sudah demikian jelas.
Para fuqaha dari kalangan penganut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali menjadikannya sebagai dalil untuk membantah madzhab Maliki yang menolak memakan sembelihan yang diyakini keharamannya oleh orang-orang Yahudi, misalnya lemak dan yang semacamnya yang diharamkan Allah kepada mereka.
Madzhab Maliki tidak membolehkan kaum Muslimin memakannya dengan bersandar kepada firman Allah: wa tha’aamul ladziina uutul kitaaba hillul lakum (“Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberikan al-Kitab itu halal bagimu.”) lalu para penganut madzhab Maliki itu berkata: “Dan ini [lemak dan sejenisnya] bukanlah termasuk makanan mereka.”
Jumhur ulama menolak pendapat mereka ini dengan berdasarkan hadits di atas [hadits ‘Abdullah bin Mughaffal]. Namun dalam hal ini masih perlu ditinjau kembali karena hadits tersebut adalah kasus perorangan, lagi pula kemungkinan lemak tersbut adalah lemak yang diyakini kehalalannya, misalnya, lemak di bagian punggung, usus dan lainnya. wallaaHu a’lam.
Yang paling baik untuk dijadikan dalil adalah apa yang disebutkan dalam hadits shahih: “Sesungguhnya, penduduk Khaibar menghadiahkan domba pangggang kepada Rasulullah saw. Mereka telah meletakkan racun pada bagian paha kaki depannya, paha itulah yang menjadikan beliau sangat berselera. Kemudian beliau mengambil dan menggigitnya dua kali. Lalu paha itu memberitahukan beliau bahwa ia beracun, kemudian beliau memuntahkannya. Dan daging itu masih bersisa di gigi seri Rasulullah saw. dan sela-selanya. Di antara yang ikut memakan daging itu bersama beliau adalah Basyar bin al-Barra’ bin Ma’rur, maka iapun meninggal. Kemudian wanita Yahudi yang meracuni daging itu pun dibunuh. Yaitu bernama Zainab.”
Sisi penggunaan dalil dari hadits tersebut adalah Nabi saw. dan orang-orang yang bersama beliau saw. memakan daging domba tanpa menanyakan mereka, apakah mereka [penduduk Khaibar] telah membuang lemak yang mereka yakini keharamannya atau tidak.
Dibolehkannya makanan ahlul Kitab tidak mengharuskan dibolehkannya memakan apa yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah. Karena mereka [ahlul kitab] menyebut nama Allah saat menyembelih binatang dan kurban mereka, dan mereka diperintahkan untuk demikian. Oleh karena itu binatang sembelihan selain sembelihan mereka, yaitu sembelihan orang-orang musyrik dan yang serupa dengan mereka tidak diperbolehkan dimakan. Yang demikian itu karena mereka [orang-orang musyrik] tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih binatang sembelihan mereka, dan sering memakan daging dengan tidak melalui penyembelihan terlebih dahulu bahkan mereka memakan bangkai.
Berbeda dengan ahlul Kitab [Yahudi dan Nasrani] dan yang sejalan dengan mereka dari kalangan penganut Samirah, Shabi’ah serta orang-orang yang mengikuti agama Ibrahim, Syits, dan Nabi-Nabi lain, hukumnya di antara satu dan dua pendapat para ulama [bisa halal bisa haram]. Sementara para penganut agama Nasrani Arab, misalnya Bani Taglib, Tanukh, Bahra, Judzam, Lakham, ‘Amilah dan yang serupa dengan mereka, maka binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan, demikian menurut jumhur ulama.
Adapun orang-orang Majusi, walaupun diambil dari mereka jizyah dengan diperlakukan sama dengan ahlul kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dan tidak boleh pula wanita-wanita mereka dinikahi.
Firman Allah: wa tha’aamukum hillul laHum (“Dan makananmu halal pula bagi mereka”) maksudnya kalian dibolehkan memberikan mereka makan dari binatang sembelihan kalian. Dan yang demikian itu bukanlah merupakan pemberitahuan tentang hukum bagi mereka, melainkan hanya sebatas pemberitahuan tentang segala makanan yang diperintahkan untuk memakannya, baik itu dari orang-orang yang seagama dengan mereka atau bukan. Yang pertama mempunyai pengertian yang lebih jelas. Dengan kata lain, kalian boleh memberikan sembelihan kalian kepada mereka, sebagaimana kalian boleh memakan binatang sembelihan mereka. dan yang demikian itu merupakan kesepadanan, pembalasan dan perimbangan.
Firman-Nya: wal muhshanaatu minal mu’minaati (“[Dan dihalkan mengawini] wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka di antara wanita-wanita beriman”) maksudnya dihalalkan bagi kalian menikahi wanita-wanita merdeka [bukan budak] dan yang menjaga kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Penyebutan penggalan ayat ini merupakan pendahuluan bagi ayat setelahnya, yaitu firman-Nya:
Wal muhshanaatu minal ladziina uutul kitaaba min qablikum (“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”) ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksudkan dengan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di sini adalah wanit-wanita merdeka, bukan budak.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, “Yang dimaksud dengan muhshanaat adalah wanita-wanita merdeka.” Dengan demikian bisa jadi yang dimaksud adalah cerita yang ia ceritakan itu, dan mungkin juga yang dimaksudkan dengan wanita merdeka adalah wanita yang suci. Sebagaimana yang dikatakan dalam riwayat yang lain, juga dari Mujahid, yang juga merupakan pendapat jumhur ulama dalam hal ini agar tidak bersatu di dalamnya wanita dzimmi yang merupakan wanita yang tidak suci, yang karenanya akan rusak seluruh keadaannya, dan suaminya pun menjadi seperti yang diungkapkan dalam sebuah perumpamaan: khasyfan wa suu-an kailatin (“Kurmanya jelek dan timbangannya pun kurang.”)
Lahiriyah ayat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita yang menjaga diri [suci] dari perzinaan. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam ayat lain: muhshanaatin ghaira musaafihaati wa laa muttakhidzaani akhdaan (“Mereka wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan [pula] wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.”) (an-Nisaa’: 25)
Kemudian, para ahli tafsir dan juga ulama, berbeda pendapat tentang firman Allah Ta’ala: Wal muhshanaatu minal ladziina uutul kitaaba min qablikum (“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”) apakah yang demikian itu berlaku umum bagi wanita-wanita ahlul kitab yang menjaga kehormatan, baik yang merdeka maupun yang masih budak. Demikian yang diceritakan oleh Ibnu Jarir dari sekelompok ulama salaf yang menafsirkan muhshanaat dengan wanita yang menjaga kehormatan. Ada juga yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan ahlul kitab di sini adalah wanita Israil.” Dan yang demikian itu adalah pendapat asy-Syafi’i. Dan ada juga yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan muhshanaat adalah wanita-wanita dzimmi, bukan wanita musuh.” Yang demikian itu berdasarkan pada firman Allah: qaatilul ladziina laa yu’minuu billaaHi wa laa bil yaumil aakhiri (“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir.”)(at-Taubah: 29)
Dahulu ‘Abdullah bin ‘Umar tidak pernah memperbolehkan pernikahan dengan wanita Nasrani. Dan ia berkata: “Aku tidak mengetahui syirik yang lebih besar dari ucapan wanita itu, yang menyatakan bahwa Rabbnya adalah ‘Isa. Padahal Allah telah berfirman: wa laa tankuhul musyrikaati hattaa yu’minn (“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”) (al-Baqarah: 221)
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Pada saat ayat ini turun: wa laa tankuhul musyrikaati hattaa yu’minn (“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”) maka orang-orang pun menahan diri dari mereka sehingga turun ayat setelahnya: Wal muhshanaatu minal ladziina uutul kitaaba min qablikum (“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”) maka orang-orang pun menikahi wanita ahlul kitab.” Bahkan ada sekelompok shahabat menikahi wanita-wanita Nasrani, dan mereka beranggapan hal itu menjadi masalah dengan berdasarkan pada ayat ini: Wal muhshanaatu minal ladziina uutul kitaaba min qablikum (“Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”) kemudian mereka menjadikan ayat ini sebagai pen-takhsih [yang mengkhususkan] terhadap surah al-Baqarah: wa laa tankuhul musyrikaati hattaa yu’minn (“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”) (al-Baqarah: 221)
Hal ini adalah jika yang dikatakan mencakup wanita-wanita ahlul kitab secara umum. Jika tidak, maka ayat tersebut tidak bertentangan dengan ayat yang sebelumnya. Karena dalam penyebutan beberapa ayat, ahlul kitab disebut secara terpisah dari orang-orang musyrik, misalnya firman Allah yang artinya: “Orang-orang kafir, yakni ahlul kitab dan orang-orang musyrik [mengatakan bahwa mereka] tidak akan meninggalkan [agama mereka] sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (al-Bayyinah: 1)
Firman-Nya: idzaa aataitumuuHunna ujuuraHunn (“Jika kamu telah membayar maskawin mereka.”) yaitu mahar mereka karena mereka memelihara diri dan tetap mempertahankan kesucian. Maka berikanlah mahar mereka secara sukarela. Jabir bin Abdullah, ‘Amir asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri pernah mengeluarkan fatwa: “Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berzina sebelum bercampur dengan laki-laki itu, maka keduanya harus dipisahkan, dan mahar yang diberikan pun harus dikembalikan.” Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.
Firman-Nya: muhsiniina ghaira musaafihiina wa laa muttakhidzii akhdaan (“Dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak [pula] menjadikan gundik-gundik.”)(an-Nisaa’: 25) sebagaimana disyaratkan ihshan [menjaga kesucian] pada diri wanita dari perbuatan zina, maka hal itu juga disyaratkan pada kaum laki-laki, yaitu bahwa kaum laki-laki itu juga harus menjaga kehormatan dan kesucian. Oleh karena itu Allah berfirman: ghaira musaafihiin (“tidak dengan maksud berzina”) yaitu para pezina yang tidak segan-segan berbuat maksiat dan tidak pula menolak orang-orang yang mendatangi mereka untuk berzina. Wa laa muttakhidziina akhdaan (“Dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik”) yaitu orang-orang yang mempunyai wanita-wanita simpanan yang mereka cintai dan tidak bergaul kecuali bersama mereka. sebagaimana telah dikemukakan dalam surah an-Nisaa’ dan akan diuraikan lebih lanjut masalah ini dalam pembahasan firman-Nya yang artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (an-Nuur: 3)
Oleh karena itu, disini Allah berfirman: wa may yakfur bil iimaani faqad habitha ‘amaluHuu wa Huwa fil aakhirati minal khaasiriin (“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman [tidak menerima hukum-hukum Islam], maka hapuslah amalan-amalannya, dan pada hari kiamat ia termasuk orang-orang yang merugi.”)
Bersambung ke bagian 5
No comments:
Post a Comment