Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 3 (2)
16OKT
“3. diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maa-idah: 3)
Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya suatu berita yang mengandung larangan memakan semua yang diharamkan, yang terdiri dari bangkai binatang, yaitu binatang yang mati bukan karena disembelih dan bukan karena diburu. Yang demikian itu karena di dalamnya mengandung bahaya, yaitu adanya darah beku, yang sangat berbahaya bagi agama maupun bagi tubuh manusia. Oleh karena itu Allah mengharamkannya.
Jenis-jenis bangkai tersebut ada yang dikecualikan, yaitu ikan. Ikan tetap halal, baik yang mati karena proses penyembelihan maupun karena sebab lainnya. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwaththa’, juga diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dan Ahmad dalam musnadnya; Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dalam sunannya, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang air laut, maka beliau menjawab: “Air laut itu suci, dan bangkainya pun halal.”
Dan demikian halnya dengan belalang, yang akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya.
Dan demikian halnya dengan belalang, yang akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya.
Firman Allah: wad damu; (“dan darah”) yang dimaksud adalah darah yang mengalir, sebagaimana firman-Nya: au dammam masfuuhan (“atau darah yang mengalir”) (al-An’am: 145). Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas.
Begitu indah yang diungkapkan al-A’sya dalam bait syair yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq:
Hindarilah olehmu semua bangkai, janganlah engkau mendekatinya.
Dan janganlah engkau mengambil tulang yang tajam, lalu engkau mengalirkan darah [menyembelih].
Hindarilah olehmu semua bangkai, janganlah engkau mendekatinya.
Dan janganlah engkau mengambil tulang yang tajam, lalu engkau mengalirkan darah [menyembelih].
Maksudnya janganlah engkau mengerjakan perbuatan orang-orang jahiliyah. Jika salah seorang dari mereka lapar, maka ia akan mengambil tulang yang tajam atau semisalnya, kemudian dipergunakan untuk mengeluarkan darah untanya atau binatang apa saja, lalu ia mengumpulkan darahnya dan meminumnya. Oleh karena itu Allah mengharamkan darah bagi umat ini.
Firman-Nya: wa lahmul khinziiri (“dan daging babi”) baik yang jinak maupun yang liar. Yang jelas, kata daging itu mencakup semua bagian, sebagaimana yang difahami menurut bahasa Arab dan menurut kebiasaan yang ada. Dan dalam shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Buraidah bin al-Khushaib al-Aslami, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang bermain dengan dadu, maka seolah-olah ia telah mencelupkan tangannya ke daging dan darah babi.”
Jika larangan itu hanya pada sentuhan terhadap daging, lalu bagaimana dengan ancaman keras atas tindakan memakannya. Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keumuman kata daging, yang mencakup untuk seluruh orang tubuh, termasuk lemak dan lainnya.
Dalam ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, daging babi, dan patung.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai, sesungguhnya ia dipergunakan untuk mengecat kapal, meminyaki kulit, dan dipakai oleh manusia sebagai lampu penerang?” Maka beliau menjawab, “Tidak, hal itu adalah haram [menjualbelikannya haram].”
Firman-Nya: wa maa uHilla lighairillaaHi biHi (“Yang disembelih atas nama selain Allah”) yakni hewan yang disembelih atas nama selain Allah, maka dagingnya itu haram dimakan karena Allah ta’ala mewajibkan agar menyembelih binatang dengan menyebut Nama-Nya. bila menyimpang dari ketentuan ini, atau dengan nama seluruh makhluk lainnya, maka menurut ijma’ semuanya itu haram. Tetapi yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah berkenaan dengan tidak disebutkannya nama Allah ketika menyembelih, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, sebagaimana hal itu akan diuraikan dalam pembahasan surah al-An’am.
Firman-Nya: wal munkhaniqatu (“yang tercekik”) yaitu binatang yang mati karena tercekik, baik secara disengaja maupun kecelakaan. Ia tercekik oleh tali pengikatnya sehingga mati, maka binatang itu haram hukumnya. Adapun almauquudzatu (“yang mati terpukul”) yaitu dipukul dengan sesuatu yang berat secara umum hingga mati. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan beberapa ulama, “Yaitu, yang dipukul sekeras-kerasnya dengan balok kayu, lalu menghimpitnya hingga mati.” Qatadah mengatakan, “Dulu orang-orang jahiliyah memukul binatang dengan tongkat sampai binatang itu mati, maka mereka pun memakannya.”
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa ‘Adi bin Hatim berkata, Aku bertanya, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku pernah melemparkan tombak ke arah binatang dan mengenainya.” Maka beliau bersabda, “Jika kamu melemparnya dengan anak panah, lalu menusuknya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenai adalah batangnya, maka sesungguhnya binatang itu mati terpukul, janganlah engkau memakannya.”
Dengan demikian beliau membedakan antara yang terkena bagian tajam dari panah atau lembing, beliau menghalalkan binatang tersebut, tetapi beliau tidak menghalalkan binatang yang terkena batang panah yang mengakibatkan binatang itu mati terpukul. Itulah yang menjadi kesepakatan ulama fiqih. Namun mereka masih berada dalam perbedaan pendapat mengenai permasalahan “apakah senjata yang tajam mengenai buruannya, lalu membunuhnya karena hantamannya yang berat, tanpa melukainya.” Maka mengenai masalah ini terdapat dua pendapat yang keduanya merupakan pendapat asy-Syafi’i.
Pertama, binatang itu tidak halal seperti halnya terbunuh oleh batang panah. Kesamaannya adalah masing-masing terbunuh tanpa adanya luka, maka termasuk mati secara terpukul.
Kedua, binatang tersebut halal dimakan karen dihukumi dengan kebolehan memakan binatang yang diburu dengan menggunakan anjing dan tidak tercabik. Ketentuan ini menunjukkan kepada kebolehan hal yang telah disebutkan. Karena ia termasuk dalam hukum yang kedua.
Kedua, binatang tersebut halal dimakan karen dihukumi dengan kebolehan memakan binatang yang diburu dengan menggunakan anjing dan tidak tercabik. Ketentuan ini menunjukkan kepada kebolehan hal yang telah disebutkan. Karena ia termasuk dalam hukum yang kedua.
Sedangkan “wal mutaraddiyatu” (yang terjatuh) ialah binatang yang terjatuh dari tempat yang tinggi sehingga menyebabkan kematiannya. Maka, binatang itu tidak halal dimakan. As-Suddi mengemukakan: “Yaitu binatang yang jatuh dari atas gunung atau terjatuh ke dalam sumur.”
Adapun: wan nathihatu (“yang ditanduk”) ialah binatang yang mati akibat ditanduk oleh binatang lainnya, maka ia haram dimakan, meskipun tandukknya itu sempat melukai dan menyebabkan keluarnya darah dari lehernya. Dan kata: an nathihatu bermakna al manthuuhatu (“Yang ditanduk”).
Firman-Nya: wa maa akalas sabu’u (“Dan yang diterkam binatang buas”) yaitu yang diserang oleh singa, harimau, macan, srigala, atau anjing, lalu binatang itu sempat memakan sebagian dari tubuh binatang tersebut hingga mati, maka binatang tersebut hukumnya haram, meskipun binatang mengalir dari tubuhnya, bahkan dari lehernya sekalipun. Maka, menurut kesepakatan ijma’ binatang itu tidak halal dimakan. Dahulu orang-orang jahiliyah suka memakan sisa-sisa kambing, unta, sapi atau binatang lainnya yang ditinggalkan binatang buas, maka Allah mengharamkan hal itu bagi orang-orang yang beriman.
Illaa maa dzakkaitum (“Kecuali yang sempat kamu sembelih.”) penggalan ayat ini bisa kembali pada binatang mana saja yang telah disebutkan di atas, yang masih dalam keadaan hidup sehingga ada kesempatan menyembelihnya, dan sesungguhnya penggalan ayat ini kembali kepada firman-Nya: wal munkhaniqatu wal mauquudzatu wal mutaraddiyatu wan nathiihatu wa maa akalas sabu’u (“Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas.”)
Mengenai firman-Nya: illaa maa dzakkaitum (“Kecuali yang sempat kamu sembelih”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan, dari Ibnu ‘Abbas: “Kecuali binatang yang sempat engkau sembelih, sedang ia masih dalam keadaan hidup. Maka, makanlah karena ia termasuk binatang yang disembelih.” Hal yang demikian itu juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Hasan al-Bashri, dan as-Suddi.
Berkenaan dengan ayat tersebut, Ibnu Abi Hatim menyatakan, dari ‘Ali, “Jika binatang itu masih menggerak-gerakkan ekornya atau mengais-ngaiskan kakinya, atau mengedipkan matanya, maka makanlah.”
Ibnu Jarir mengatakan, dari ‘Ali, “Jika engkau masih sempat menyembelih binatang yang hampir mati, atau binatang yang terjatuh, atau yang tertanduk binatang lain, sedang ia masih sempat menggerakkan tangan atau kaki, maka makanlah.”
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Thawus, al-Hasan, Qatadah, ‘Ubaid bin ‘Umair, adh-Dhahhak, dan beberapa ulama lainnya: “Binatang yang disembelih jika masih melakukan suatu gerakan yang menunjukkan masih adanya kehidupan padanya saat penyembelihan, maka binatang itu halal.” Demikian itulah yang menjadi pendapat jumhur fuqaha. Pendapat ini juga dikemukakan Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Wahab berkata: “Malik pernah ditanya tentang kambing yang perutnya diterkam oleh binatang buas sehingga menyebabkan isi perutnya terburai keluar. Maka Malik berkata: “Aku tidak berpendapat bahwa binatang itu boleh disembelih, [lagipula] apa yang bisa disembelih darinya?” Ditanyakan lagi kepadanya: “Bagaimana srigala yang menerkam kambing dan tidak merobek perutnya?” Malik menjawab: “Jika perutnya sobek, aku berpendapat tidak boleh memakannya.”
Hal ini merupakan madzhab Imam Malik. Dan lahiriyah ayat bersifat umum mencakup apa yang dikecualikan oleh Imam Malik, berupa gambaran-gambaran tentang keadaan binatang yang tidak akan hidup setelahnya sehingga membutuhkan dalil khusus terhadap ayat tersebut. wallaaHu a’lam.
Dalam ash-Shahihain disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata: Aku bertanya: “Ya Rasulallah, sesungguhnya besok kami akan bertemu musuh, sedang kami tidak mempunyai pisau besar, apakah kami boleh menyembelih dengan semacam bambu?” maka beliau pun menjawab: “Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan sudah disebut nama Allah, maka makanlah binatang tersebut, asalkan bukan dengan menggunakan gigi dan kuku. Aku beritahukan kepada kalian mengenai hal itu, gigi pada hakekatnya adalah tulang, sedangkan kuku merupakan pisau-pisau orang Habasyah [Ethiopia].”
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan beberapa penyusun kitab as-Sunan, dari riwayat Hamad bin Salamah, dari Abul ‘Asyra’ ad-Darimi, dari ayahnya, ia berkata, Aku bertanya: “Ya Rasulallah, bukankah penyembelihan itu harus pada bagian saluran pernafasan dan tenggorokan ?” Beliau menjawab: “Jika kamu tusuk pada bagian pahanya, maka yang demikian itu sudah cukup bagimu.”
Hadits tersebut shahih, namun harus diterapkan pada binatang yang tidak disembelih pada jalan pernafasan dan tenggorokannya.
Hadits tersebut shahih, namun harus diterapkan pada binatang yang tidak disembelih pada jalan pernafasan dan tenggorokannya.
Mengenai firman Allah: wa maa dzubiha ‘alan nushubi (“Dan [diharamkan bagi kalian] yang disembelih untuk berhala.”) Mujahid dan Ibnu Juraij berkata: “Berhala itu adalah batu yang ada di sekitar Ka’bah.” Ibnu Juraij menambahkan: “Berhala tersebut berjumlah 360 berhala. Pada masa jahiliyah dulu bangsa Arab menyembelih binatang di dekatnya dan melumuri Ka’bah dengan darah binatang sembelihan tersebut. Mereka memotong-motong daging binatang itu kemudian meletakkannya pada berhala-berhala tersebut.” Riwayat yang seperti ini tidak hanya diriwayatkan oleh satu orang saja.
Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan tersebut, bahkan mengharamkan mereka memakan binatang-binatang yang disembelih di sisi berhala-berhala tersebut, meskipun penyembelihannya itu dengan menyebut nama Allah. Penyembelihan binatang di samping berhala merupakan salah satu bentuk kemusyrikan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Penggalan ayat tersebut mengandung pengertian demikian karena telah dikemukakan sebelumnya pengharaman binatang yang disembelih tanpa disebutkan nama Allah padanya.
Firman-Nya: wa an tastaqsimuu bil azlaam (“Dan [diharamkan juga] mengundi nasib dengan anak panah.”) yakni diharamkan kepada kalian, wahai orang-orang yang beriman mengundi nasib dengan anak panah. Mufrad [bentuk tunggal] dari kata “al azlaam” adalah “zalam”. Pada masa jahiliyah dulu bangsa Arab biasa mengerjakan hal itu. Yaitu berupa tiga buah anak panah yang salah satunya ditulis “Kerjakan” dan yang kedua ditulis “jangan kerjakan”, dan yang ketiga tidak tertulis apapun. Dan di antara orang-orang yang mengatakan: “Yang satu bertuliskan “Rabbku menyuruhku”, yang kedua beruliskan “Rabbku melarangku”, dan yang ketika dibiarkan tanpa tulisan.” Jika yang muncul anak panah yang bertuliskan perintah [kerjakan] maka ia akan mengerjakan; jika yang muncul adalah bertuliskan larangan [jangan kerjakan], maka ia akan meninggalkan [tidak mengerjakan]. Dan jika yang muncul adalah anak panah ketiga yang tidak bertulis apa-apa, maka ia akan mengulanginya lagi.
Kata al-istiqsam berasal dari kata thalabul qism [meminta undian] dari anak panah tersebut. Demikianlah yang ditetapkan oleh Abu Ja’far Ibnu Jarir.
Dalam ash-Shahihain disebutkan bahwa ketika memasuki Ka’bah Nabi saw. mendapati Ibrahim dan Isma’il digambarkan di dalamnya, sedang pada kedua tangannya terdapat anak panah. Maka beliau bersabda: “Semoga Allah membinasakan mereka. sesungguhnya mereka mengetahui bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah tersebut selamanya.”
Firman-Nya: dzaalikum fisq (“Yang demikian itu adalah kefasikan”) yakni mengundi nasib dengan anak panah tersebut merupakan kefasikan, penyimpangan, kesesatan, kebodohan, dan kemusyrikan. Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman jika mereka merasa ragu-ragu dalam menghadapi persoalan, maka hendaklah mereka beristikharah [meminta pilihan] kepada-Nya, yaitu dengan cara beribadah kepada-Nya, lalu memohon kepada-Nya pilihan yang terbaik dalam persoalan yang mereka kehendaki.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan para penyusun kitab Sunan melalui jalan ‘Abdur Rahman bin Abi al-Mawali, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir bin ‘Abdullah, ia menceritakan: “Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami beristikharah dalam menghadapi berbagai persoalan, sebagaimana beliau mengajari kami sebuah surah al-Qur’an. Beliau saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian berhasrat dalam suatu urusan, maka hendaklah shalat dua rakaat selain shalat fardlu, lalu selesai shalat hendaklah ia berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang tepat dengan pengetahuan-Mu, aku memohon agar diberi kemampuan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon anugerah-Mu yang sangat luas. Karena sesungguhnya Engkau berkuasa, sedang aku tidak. Engkau Mahamengetahui, sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini [disebutkan perkaranya] baik bagiku, bagi agamaku, dan kehidupanku –atau beliau bersabda saat ini dan masa depanku-, maka mudahkanlah ia bagiku, kemudian berkahilah ia bagiku. Apabila Engkau mengetahui bahwa perkara itu buruk bagiku, bagi agamaku dan kehidupanku, saat ini dan masa depanku, maka jauhkanlah dia dariku, dan jauhkanlah aku darinya. Berikanlah kepadaku kebaikan dimana pun adanya, kemudian jadikanlah aku ridla menerimanya.”
(Demikian menurut lafadz Imam Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih gharib. Kami tidak mengetahuinya, kecuali dari hadits Ibnu Abul Mawali.”)
(Demikian menurut lafadz Imam Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih gharib. Kami tidak mengetahuinya, kecuali dari hadits Ibnu Abul Mawali.”)
Mengenai firman-Nya: al yauma ya-isal ladziina kafaruu min diinikum (“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk [mengalahkan] agamamu,”) berkata ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni, mereka berputus asa untuk mengembalikan kejayaan agama mereka.” hal yang senada juga diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abu Ribah, as-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan.
Berkenaan dengan pengertian tersebut, terdapat sebuah hadits Shahih Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya syaitan telah berputus asa dari usaha agar orang-orang yang shalat di Jazirah Arab menyembahnya, akan tetapi [ia tidak putus asa untuk] mengadu domba di antara mereka.” (HR Muslim dalam kitab Shifatul Qiyaamah, [2812])
Bisa juga mengandung pengertian lain bahwa mereka telah berputus asa untuk menyerupai kaum Muslimin. Karena kaum Muslimin mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat kemusyrikan dan kaum musyrikin. Oleh karena itu Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tetap sabar dan teguh dalam menyelisihi orang-orang kafir, serta tidak takut kepada seorang pun, kecuali kepada Allah Ta’ala.
Firman Allah: falaa takhsyauHum wakhsyauni (“Sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.”) maksudnya janganlah kalian takut kepada mereka dalam usaha kalian menyelisihi mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan membantu kalian dalam menghadapi mereka, memenangkan kalian atas mereka, melapangkan hati kalian atas mereka, dan menjadikan kalian di atas mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Firman-Nya: al yauma akmaltu lakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa radliitu lakumul islaama diinan (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu.”) ini merupakan nikmat Allah yang terbesar yang dikaruniakan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak memerlukan agama lain, dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yakni Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu Allah menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin sehingga tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, dan tak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali yang disyariatkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali.
Sebagaimana firman Allah: wa tammat kalimatu rabbika shidqaw wa ‘adlan (“Telah sempurna kalimat Rabbmu [al-Qur’an], sebagai kalimat yang benar dan adil.” (al-An’am: 115) maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah serta larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.
Oleh karena itu Allah berfirman: al yauma akmaltu lakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa radliitu lakumul islaama diinan (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu.”) maka ridlailah Islam untuk diri kalian karena ia merupakan agama yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala, yang karenanya Allah mengutus Rasul yang paling afdlal, dan yang karenanya pula Allah menurunkan Kitab yang paling mulia (al-Qur’an).
Mengenai firman-Nya: al yauma akmaltu lakum diinakum (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.”) ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas: “Maksudnya ialah Islam. Allah telah mengabarkan Nabi-Nya saw. dan orang-orang yang beriman bahwa Allah telah menyempurnakan keimanan kepada mereka sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah telah menyempurnakan Islam sehingga Allah tidak akan pernah menguranginya, bahkan Allah telah meridlainya. Allah tidak akan pernah memurkainya selamanya.”
Asbath mengatakan, dari as-Saudi: “Ayat ini turun pada hari Arafah, dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun menyangkut halal dan haram. Kemudian Rasulullah saw. kembali dan setelah itu meninggal dunia.”
Ibnu Jarir dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Rasulullah saw. meninggal pada hari Arafah, yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah meriwayatkan dari Ibnu Jarir. Selanjutnya ia menceritakan, “Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami, Ibnu Fudhail menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Ketika turun ayat: al yauma akmaltu lakum diinakum (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.”) yaitu pada hari haji akbar [besar], maka ‘Umar menangis, lalu Nabi saw. bertanya: ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis?’ Umar menjawab: ‘Aku menangis disebabkan karena selama ini kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi jika sudah sempurna, maka tidak ada sesuatupun yang sempurna melainkan akan berkurang.’ Kemudian beliau bersabda: ‘Engkau benar.’”
Pengertian tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang menegaskan sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya, Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali mejadi asing, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” (HR Muslim dalam Kitab al-Iman [145])
Imam Ahmad mengatakan, dari Thariq bin Syihab, ia berkata: “Ada seorang Yahudi yang datang kepada ‘Umar bin Khaththab, lalu berkata: ‘Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari ini [hari turunnya ayat itu] sebagai hari raya.’ ‘Ayat yang mana itu?’ tanya ‘Umar. Orang Yahudi itu berkata: ‘Yaitu firman-nya: al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku.”).’ maka ‘Umar pun berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui hari ketika itu turun kepada Rasulullah saw. Dan waktu diturunkannya ayat itu kepada Rasulullah saw., yaitu pada malam Arafah hari Jum’at.’ (Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i)
Firman Allah selanjutnya: fa manidl-thurra fii makhmashatin ghaira mutaajaanifil litsmin fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) maksudnya, barangsiapa yang benar-benar perlu memakan sedikit saja dari apa-apa yang haram yang disebutkan Allah karena suatu kepentingan yang mengharuskan memakannya, maka ia boleh memakannya, dan sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang kepadanya. Karena Allah mengetahui kebutuhan hamba-Nya yang terpaksa dan keperluannya memakan hal itu sehingga Allah memaafkan dan mengampuninya.
Dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Ibnu Hibban diriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar, sebagai hadits marfu’, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai kemudahan-Nya dilaksanakan sebagaimana Allah membenci larangan-Nya dilanggar.” (Hadits ini berdasarkan lafadz Ibnu Hibban)
Sedangkan menurut lafadz Imam Ahmad adalah sebagai berikut: “Barangsiapa yang tidak mau menerima kemudahan dari Allah, maka baginya dosa sebesar gunung-gunung di Arafah.”
Oleh karena itu, para fuqaha berkata: “Terkadang pada kondisi tertentu bangkai merupakan suatu hal yang wajib, yaitu ketika seseorang khawatir pada jiwanya, sedang ia tidak menemukan makanan lain selain bangkai itu. Terkadang makan bangkai itu bersifat dianjurkan, dan terkadang juga mubah, tergantung pada kondisi.”
Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang kadar bangkai yang boleh dimakan; apakah sekedar memperpanjang hidup atau boleh sampai kenyang, ataukah sampai kenyang dan sekaligus menjadikannya sebagai bekal?
Mengenai hal tersebut terdapat beberapa pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Ahkam (sebuah kitab yang ditulis oleh Ibnu Katsir, akan tetapi kitab tersebut termasuk di antara kitab-kitab beliau yang hilang.)
Selain itu, para fuqaha juga berbeda pendapat mengenai kenyataan jika seseorang menemukan bangkai dan makanan milik orang lain atau binatang buruan sedang ia dalam keadaan berihram, apakah ia boleh memakan bangkai atau memakan binatang buruan tersebut kemudian harus membayar denda atasnya, atau memakan makanan orang lain dan harus menggantinya. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat, yang keduanya adalah pendapat asy-Syafi’i. Keadaan tidak menemukan makanan selama tiga hari bukanlah merupakan syarat dibolehkannya memakan bangkai. Sebagaimana hal itu telah menjadi dugaan orang-orang awam yang lainnya. Tetapi jika benar-benar terpaksa, maka seseorang dibolehkan memakannya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Walid bin Muslim, dari al-Auza-i, dari Hassan bin ‘Athiyyah Abu Waqid al-Laitsi bahwasannya mereka berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami pernah berada di suatu tempat dimana kami mengalami kelaparan, lalu kapan kami diperbolehkan memakan bangkai?” Beliau saw. menjawab: “Jika kalian tidak makan siang, tidak makan malam dan tidak bisa mengambil sayur-sayuran [buah-buahan], maka kalian boleh memakannya.” (dalam redaksi seperti ini hanya Imam Ahmad saja yang meriwayatkan dan isnad hadits ini shahih dengan syarat al-Bukhari-Muslim)
Firman-Nya: ghaira mutajaanifil li itsmin (“tanpa sengaja berbuat dosa”) maksudnya tidak sengaja berbuat maksiat kepada Allah, maka sesungguhnya Allah telah membolehkannya [memakan bangkai itu], serta mendiamkan pula terhadap hal lainnya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah yang artinya: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Baqarah: 173)
Ayat ini dipergunakan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat bahwa orang yang bertujuan maksiat dalam suatu perjalanan, maka ia tidak mendapatkan keringanan [dispensasi] sedikitpun dari keringanan-keringanan dalam safar [perjalanan]. Karena keringanan [dispensasi] itu tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. wallaaHu a’lam.
Bersambung ke bagian 3
No comments:
Post a Comment