Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 4 (3)
10DES
“4. mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.” (al-Maa-idah: 4)
Yas-aluunaka maa dzaa uhillalaHum qul uhilla lakumuth thayyibaat (“Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apa yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik.’”) sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-A’raaf: 157, mengenai sifat Muhammad saw. bahwasannya beliau [Muhammad saw.] menghalalkan kepada mereka hal-hal yang baik [untuk dimakan], dan mengharamkan hal-hal yang buruk [yang berbahaya].
Ibnu Abi Hatim mengatakan, dari ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i dan Zaid bin Muhalhal ath-Tha’i. Keduanya bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulallah, Allah telah mengharamkan bangkai, lalu apa yang Allah halalkan kepada kami?” Maka turunlah ayat: Yas-aluunaka maa dzaa uhillalaHum qul uhilla lakumuth thayyibaat (“Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apa yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik.’”) Said berkata: “Yaitu binatang-binatang sembelihan yang halal lagi baik bagi mereka.” sementara Muqatil berkata: “Yang dinamakan ath-Thayyibaat adalah segala sesuatu yang dihalalkan bagi mereka, yang mereka peroleh berupa rizky yang halal.”
Wa maa ‘allamtum minal jawaarihi mukallibiin (“Dan [buruan yang ditangkap] oleh binatang buas [anjing pemburu] yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk memburu.”) yaitu dihalalkan bagi kalian binatang yang disembelih dengan menyebut nama Allah dan juga berbagai rizky yang baik. Dihalalkan pula bagi kalian binatang buruan yang kalian peroleh melalui binatang buas, yaitu anjing, macan, elang dan yang sebangsanya. Sebagaimana hal itu telah menjadi pendapat jumhur ulama di kalangan Shahabat, Tabi’in dan para Imam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Ibnu Katsir katakan, diceritakan dari jumhur ulama bahwa berburu dengan menggunakan buruan adalah sama seperti berburu dengan menggunakan anjing. Sebab burung menangkap buruan dengan cakarnya, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh anjing. Dengan demikian tidak ada bedanya.
Yang demikian itu adalah pendapat emam Imam [Maliki, Hanafi, Hanbali, dan asy-Syafi’i] dan ulama lainnya. Pendapat ini pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Dalam hal ini ia menggunakan dalil dari hadits yang diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang berburu dengan menggunakan elang, maka beliau menjawab: ‘Buruan yang berhasil ditangkapnya untukmu, maka makanlah.’”
Imam Ahmad mengecualikan anjing berwarna hitam dalam berburu. Karena anjing berwarna hitam merupakan salah satu yang harus dibunuh, dan hasil tangkapannya pun tidak dihalalkan. Yang demikian itu berdasarkan hadits yang ditegaskan dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Bakar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Yang memutuskan shalat adalah keledai, wanita, dan anjing hitam.” Lalu aku bertanya: “Apa beda anjing hitam dan anjing merah?” Beliau saw. menjawab: “Anjing hitam itu adalah syaitan.”
Firman-Nya: mukallibiin (“yang dilatih untuk berburu”) dimungkinkan kata itu berkedudukan menerangkan hal [keadaan] dari dlamir [kata ganti] yang ada pada ‘allamtum [yang kalian ajarkan] sehingga menjadi bentuk haal dari faa’il [subyek]. Mungkin juga berkedudukan sebagai haal dari maf’ul [obyek], yaitu binatang buas untuk berburu. Artinya binatang buas yang kalian ajari, sedang binatang-binatang tersebut sudah dalam keadaan terlatih untuk berburu. Yaitu binatang yang menangkap buruan dengan cakar atau kuku-kukunya.
Dengan pengertian seperti ini, penggalan ayat tersebut dapat dijadikan dalil bahwa apabila binatang pemburu itu membunuh buruan dengan tabrakan, cakaran, atau cengkeraman kuku-kukunya, maka binatang buruan tersebut tidak halal dimakan. Sebagaimana menjadi salah satu dari dua pendapat Imam asy-Syafi’i dan kelompok ulama.
Oleh karen itu Allah berfirman: tu’allimuunaHunna mimmaa ‘allamakumullaaHu (“Kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kamu.”) yakni jika ia melepaskannya, maka binatang itu akan segera menuju sasarannya. Dan jika ia menyuruh menangkapnya, maka binatang itupun akan menyelamatkannya dari kematian. Jika ia menangkap buruan, maka ia menangkap untuk tuannya bukan untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu Allah berfirman: fa kuluu mimmaa amsakna ‘alaikum wadzkurus mallaaHi ‘alaiHi (“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu [sewaktu melepasnya].”). manakala binatang pemburu itu sudah terlatih, yang bisa menangkap untuk tuannya, dan telah disebut pula nama Allah ketika melepasnya, maka binatang hasil buruannya halal, meskipun hasil buruan itu mati, berdasarkan ijma’.
Dalam sunnah telah disebutkan hal-hal yang senada dengan apa yang disebutkan oleh ayat tersebut di atas. Misalnya hadits yang tercantum dalam ash-Shahihain dari ‘Adi bin Hatim. Ia berkata: “Aku pernah bertanya: ‘Ya Rasulallah, sesungguhnya aku pernah melepas anjing-anjing yang sudah terlatih dan telah aku sebut pula nama Allah ketika melepasnya.’ Maka beliau bersabda: ‘Jika engkau melepas anjingmu dan engkau telah membacakan nama Allah, maka makanlah binatang yang berhasil ditangkap untukmu.’ ‘Meskipun anjing itu membunuhnya?’ aku bertanya lebih lanjut. Beliau saw. menjawab: ‘Meskipun anjing-anjing itu membunuhnya, selama tidak ada anjing lain selain anjing-anjingmu yang membunuhnya. Karena sesungguhnya kamu hanya menyebut nama Allah pada anjingmu saja, bukan pada anjing lainnya.’ Selanjutnya aku katakan kepada beliau, ‘Aku pernah melempar binatang buruan dengan tombak dan tepat mengenai sasaran.’ Maka beliau saw. bersabda: ‘Jika kamu melempar dengan tombak dan berhasil menembus tubuhnya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenainya adalah bagian batangnya, maka sesungguhnya hewan itu mati terpukul, maka janglah engkau memakannya.’”
Dalam lafadz al-Bukhari dan Muslim disebutkan: “Jika engkau melepas anjingmu, maka sebutlah nama Allah [basmalah]. Jika ia [anjing] berhasil menangkap buruan untukmu, lalu engkau mendapatkannya masih hidup, maka sembelihlah. Jika engkau mendapatkannya telah terbunuh, dan anjingmu tidak memakannya sedikitpun, maka makanlah. Karena terkaman anjing itu sebagai penyembelihannya.”
Dalam riwayat lain bagi al-Bukhari dan Muslim disebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila anjing itu sempat memakan [buruan itu], maka janganlah engkau memakannya, sesungguhnya aku khawatir ia menangkap buruan itu untuk dirinya sendiri.”
Hadits tersebut merupakan dalil bagi jumhur ulama. Dan itulah pendapat yang benar dari Imam asy-Syafi’i, yaitu bahwa jika anjing itu memakan sebagian dari binatang buruan, maka binatang itu haram secara mutlak, namun penganut madzhab ini tidak memberikan perincian.
Diceritakan dari sekelompok ulama salaf, mereka berpendapat bahwa binatang itu tidak haram secara mutlak.
Firman Allah: fa kuluu mimmaa amsakna ‘alaikum wadzkurus mallaaHi ‘alaiHi (“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu [sewaktu melepasnya].”) yaitu saat melepaskannya menuju sasaran. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Tsa’labah yang dikeluarkan dalam ash-Shahihain, Rasulullah saw. bersabda: “Jika kamu melepaskan anjingmu [untuk berburu], maka sebutlah nama Allah [yaitu membaca basmalah]. Jika engkau melepaskan anak panahmu, maka sebutlah pula nama Allah.”
Oleh karena itu, beberapa ulama misalnya Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur darinya mensyaratkan penyebutan nama Allah ketika melepaskan anjing dan melemparkan anak panah. Hal itu didasarkan pada ayat dan juga hadits di atas, dan pendapat itu pula yang sangat masyhur dari jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah perintah menyebut nama Allah ketika melepas binatang pemburu, sebagaimana yang dikatakan as-Suddi dan beberapa ulama lainnya.
Mengenai firman-Nya: wadzkurus mallaaHi ‘alaiHi (“Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu.”) berkata ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Jika engkau melepas binatang pemburumu, maka ucapkanlah bismillah. Jika engkau lupa menyebutnya, maka tidak ada dosa bagimu.”
Sebagian ulama mengemukakan, “Yang dimaksud dengan aya ini adalah perintah untuk menyebut nama Allah ketika makan, sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain, bahwa Rasulullah saw. pernah mengajarkan anak tirinya, ‘Amr bin Abi Salamah, beliau bersabda: ‘Sebutlah nama Allah [membaca bismillah], makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat dengamu.’”
Dalam kitab Shahih al-Bukhari juga disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, para shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, ada suatu kaum yang masa mereka dekat sekali dengan kekufuran, yang datang kepada kami dengan membawa daging yang tidak kami ketahui. Apakah ia menyebut nama Allah atau tidak [ketika menyembelihnya]?” Maka beliau saw. bersabda: “Sebutlah nama Allah [bismillah] oleh kalian dan makanlah.”
Bersambung ke bagian 4
Bersambung ke bagian 4
No comments:
Post a Comment