Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 87-88
10JAN
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian, dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya.” (Al-Maa-idah ayat 87-88)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari sahabat Nabi Saw. yang mengatakan, “Kita kebiri diri kita, tinggalkan nafsu syahwat duniawi dan mengembara di muka bumi seperti yang dilakukan oleh para rahib di mas a lalu.”
Ketika berita tersebut sampai kepada Nabi Saw., maka beliau mengirimkan utusan untuk menanyakan hal tersebut kepada mereka. Mereka menjawab, “Benar.” Maka Nabi Saw. bersabda:
“Tetapi aku puasa, berbuka, salat, tidur, dan menikahi wanita. Maka barang siapa yang mengamalkan sunnahku (tuntunanku), berarti dia termasuk golonganku; dan barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (Riwayat Ibnu Abu Hatim)
Ibnu Murdawa ih telah meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, hal yang semisal. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Siti Aisyah r.a. bahwa pernah ada segolongan orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. bertanya kepada istri-istri Nabi Saw. tentang amal perbuatan Nabi Saw. yang bersifat pribadi. Maka sebagian dari para sahabat itu ada yang menyangkal, “Kalau aku tidak makan daging.” Sebagian yang lain mengatakan, “Aku tidak akan mengawini wanita.” Dan sebagian lagi mengatakan, “Aku tidak tidur di atas kasur. “Ketika hal itu sampai kepada Nabi Saw., maka beliau bersabda:
“Apakah gerangan yang dialami oleh kaum, seseorang dari mereka mengatakan anu dan anu, tetapi aku puasa, berbuka, tidur, bangun, makan daging, dan kawin dengan wanita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnah (tuntunan)ku. maka dia bukan dari golonganku.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abu Asim Ad-Dahhak ibnu Mukhallad , dari Usman (yakni Ibnu Sa’id), telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku apabila makan daging ini, maka berahiku terhadap wanita memuncak, dan sesungguhnya aku sekarang mengharamkan daging atas diriku.” Maka turunlah firman-Nya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al Maidah: 87)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Jarir, keduanya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Abu Asim An-Nabil dengan sanad yang sama. Menurut Imam Turmuzi hadis ini hasan garib.
Telah diriwayatkan pula melalui jalur lain secara mursal, dan telah diriwayatkan secara mauquf pada Ibnu Abbas .
Sufyan As-Sauri dan Waki’ mengatakan bahwa Ismail ibnu Abu Khalid telah meriwayatkan dari Qais ibnu Abu Hazim, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan: “Kami pernah berperang bersama Nabi Saw., sedangkan kami tidak membawa wanita. Maka kami berkata, ‘Sebaiknya kita kebiri saja diri kita.’ Tetapi Rasulullah Saw. melarang kami melakukannya dan memberikan rukhsah (kemurahan) bagi kami untuk mengawini wanita dengan maskawin berupa pakaian, dalam jangka waktu yang ditentukan. “Kemudi an Abdullah ibnu Mas’ud membacakan firman-Nya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al Maidah: 87) hingga akhir ayat.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Ismail. Peristiwa ini terjadi sebelum nikah mut’ah diharamkan.
Al-A’masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, dari Hammam ibnul Haris, dari Amr ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Ma’qal ibnu Muqarrin datang kepada Abdullah ibnu Mas’ud, lalu Ma’qal berkata, “Sesungguhnya aku sekarang telah mengharamkan tempat tidurku (yakni tidak mau tidur di kasur lagi)” Maka Abdullah ibnu Mas’ud membacakan firman-Nya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al Maidah: 87) hingga akhir ayat.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Abud Duha, dari Masruq yang menceritakan, “Ketika kami sedang berada di rumah Abdullah ibnu Mas’ud, maka disuguhkan kepadanya air susu perahan. Lalu ada seorang lelaki (dari para hadirin) yang menjauh. Abdullah ibnu Mas’ud berkata kepadanya, ‘Mendekatlah.’ Lelaki itu berkata, ‘Sesungguhnya aku telah mengharamkan diriku meminumnya.’ Abdullah ibnu Mas’ud berkata, ‘Mendekatlah dan minumlah, dan bayarlah kifarat sumpahmu,’ lalu Abdullah ibnu Mas’ud membacakan firmanNya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al Maidah: 87) hingga akhir ayat.
Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Imam Hakim telah meriwayatkan atsar yang terakhir ini di dalam kitab Mustadraknya melalui jalur Ishaq ibnu Rahawaih, dari Jarir, dari Mansur dengan sanad yang sama. Kemudi an Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Sa’d, bahwa Zaid ibnu Aslam pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Rawwahah kedatangan tamu dari kalangan keluarganya di saat ia sedang berada di rumah Nabi Saw. Kemudian ia pulang ke rumah dan menjumpai keluarganya masih belum menjamu tamu mereka karena menunggu kedatangannya.
Maka ia berkata kepada istrinya, “Engkau tahan tamuku karena aku, makanan ini haram bagiku.” Istrinya mengatakan, “Makanan ini haram bagiku.” Tamunya pun mengatakan, “Makanan ini haram bagiku.” Ketika Abdullah ibnu Rawwahah melihat reaksi tersebut, maka ia meletakkan tangannya (memungut makanan) dan berkata, “Makanlah dengan menyebut nama Allah.” Lalu Abdullah ibnu Rawwahah pergi menemui Nabi Saw. dan menceritakan apa yang ia alami bersama mereka. Kemudi an Allah Swt. menurunkan firmanNya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al Maidah: 87) Asar ini berpredikat munqati’.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan kisah Abu Bakar As-Siddiq bersama tamu-tamunya yang isinya serupa dengan kisah di atas.
Berangkat dari makna kisah ini, ada sebagian ulama—seperti Imam Syafi’i dan lain-lainnya— yang mengatakan: barangsiapa mengharamkan suatu makanan atau pakaian atau yang lainnya kecuali wanita, maka hal itu tidak haram baginya dan tidak ada kifarat atas orang yang bersangkutan (bila melanggarnya), karena Allah Swt. telah berfirman:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al Maidah: 87)
Demikian pula apabila seseorang mengharamkan daging atas dirinya, seperti yang disebutkan pada hadits di atas, Nabi saw. tidak memerintahkan kepadanya untuk membayar kifarat.
Ulama lainnya —antara lain Imam Ahmad ibnu Hambal—berpendapat bahwa orang yang mengharamkan sesuatu makanan atau minuman atau pakaian atau yang lainnya diwajibkan membaya r kifarat sumpah.
Begitu pula apabila seseorang be r sumpah akan meninggalkan sesuatu, maka ia pun dikenakan sanksi begitu ia mengharamkannya atas dirinya, sebagai hukuman atas apa yang telah ditetapkannya. Seperti yang telah difatwakan oleh Ibnu Abbas, dan seperti yang terdapat di dalam firmanNya yang artinya:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (AtTahrim: 1)
Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian.” (AtTahrim: 2), hingga akhir ayat.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian.” (AtTahrim: 2), hingga akhir ayat.
Demikian pula dalam surat ini, setelah disebutkan hukum ini, lalu diiringi dengan ayat yang menerangkan tentang kifarat sumpah. Maka hal ini menunjukkan bahwa masalah yang sedang kita bahas sama kedudukannya dengan kasus sumpah dalam hal wajib membayar kifarat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang menceritakan bahwa ada segolongan kaum laki-laki –antara lain Usman ibnu Maz’un dan Abdullah ibnu Amr— bermaksud melakukan tabattul (membaktikan seluruh hidupnya untuk ibadah) dan mengebiri diri mereka serta memakai pakaian yang kasar. Maka turunlah ayat ini sampai dengan firmanNya:
wattaqullaaHal ladzii antum biHii mu’minuun (“dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya.” (Al-Maidah: 88)
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa Usman ibnu Maz’un, Ali ibnu Abu Talib, Ibnu Mas’ud, dan Al-Miqdad ibnul Aswad serta Salim maula Abu Huzaifah bersama sahabat lainnya melakukan tabattul, lalu mereka tinggal di rumahnya masing-masing, memisahkan diri dari istri-istri mereka, memakai pakaian kasar, dan mengharamkan atas diri mereka makanan dan pakaian yang dihalalkan kecuali makanan dan pakaian yang biasa dimakan dan dipakai oleh para pengembara dari kaum Bani Israil. Mereka pun bertekad mengebiri diri mereka serta sepakat untuk giyamul lail dan puasa pada siang harinya. Maka turunlah firmanNya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum, wa laa ta’taduu innallaaHa laa yuhibbul mu’tadiin (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Maidah: 87)
Dengan kata lain, janganlah kalian berjalan bukan pada jalan tuntunan kaum muslim. Yang dimaksud ialah hal-hal yang diharamkan oleh mereka atas diri mereka -yaitu wanita, makanan, dan pakaian—serta apa yang telah mereka sepakati untuk melakukannya, yaitu salat qiyamul lail sepanjang malam, puasa pada siang harinya, dan tekad mereka untuk mengebiri diri sendiri.
Setelah ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka, maka Rasulullah Saw. mengirimkan utusannya untuk memanggil mereka, lalu beliau Saw. bersabda:
“Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban atas diri kalian, dan kalian mempunyai kewajiban atas mata kalian. Berpuasalah dan berbukalah, salatlah dan tidurlah, maka bukan termasuk golongan kami orang yang meninggalkan sunnah kami.”
Mereka berkata, “Ya Allah, kami tunduk dan patuh kepada apa yang telah Engkau turunkan.”
Kisah ini disebutkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan tabi’in secara mursal, dan mempunyai bukti yang menguatkannya di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Siti Aisyah Ummul Muminin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum, wa laa ta’taduu innallaaHa laa yuhibbul mu’tadiin (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Maidah: 87)
Pada awal mulanya terjadi di suatu hari ketika Rasulullah Saw. sedang duduk dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang hadir, kemudian pergi dan tidak melanjutkan perintahnya lagi kepada mereka. Maka segolongan dari sahabat-sahabatnya yang berjumlah sepuluh orang —antara lain Ali ibnu Abu Talib dan Usman ibnu Maz’un —mengatakan, “Apakah yang akan kita peroleh jika kita tidak melakukan amal perbuatan? Karena sesungguhnya dahulu orang-orang Nasrani mengharamkan atas diri mereka banyak hal, maka kita pun harus berbuat hal yang sama.”
Sebagian dari mereka ada yang mengharamkan atas dirinya makan daging, makanan wadak, dan makan pada siang hari; ada yang mengharamkan tidur, ada pula yang mengharamkan wanita (istri).
Tersebutlah bahwa Usman ibnu Maz’un termasuk orang yang mengharamkan wanita atas dirinya. Sejak saat itu dia tidak lagi mendekati istri-istrinya, dan mereka pun tidak berani mendekatinya. Lalu istri Usman ibnu Maz’un datang kepada Siti Aisyah r.a. Istri Usman ibnu Maz’un dikenal dengan nama panggilan Khaula. Siti Aisyah dan istri Nabi Saw. yang lainnya bertanya kepada Khaula, “Apakah yang engkau alami, hai Khaula, sehingga penampilanmu berubah, tidak merapikan rambutmu, dan tidak memakai wewangian?” Khaula menjawab, “Bagaimana aku merapikan rambut dan memakai wewangian, sedangkan suamiku tidak menggauliku lagi dan tidak pernah membuka pakaianku sejak beberapa lama ini.”
Maka semua istri Nabi Saw. tertawa mendengar jawaban Khaula. Saat itu masuklah Rasulullah Saw., sedangkan mereka dalam keadaan tertawa, maka beliau bertanya, “Apakah yang menyebabkan kalian tertawa?” Siti Aisyah menjawab, “Wahai Rasulullah, saya bertanya kepada Khaula tentang keadaannya yang berubah. Lalu ia menjawab bahwa suaminya sudah sekian lama tidak pernah membuka pakaiannya (menggaulinya).”
Lalu Rasulullah Saw. mengirimkan utusan untuk memanggil suaminya, dan beliau bersabda, “Hai Usman, ada apa denganmu?” Usman ibnu Maz’un menjawab, “Sesungguhnya aku tidak menggaulinya lagi agar dapat menggunakan seluruh waktuku untuk ibadah.” Lalu ia menceritakan duduk perkaranya kepada Nabi Saw. Usman menyebutkan pula bahwa dirinya telah bertekad untuk mengebiri dirinya.
Mendengar pengakuannya itu Rasulullah Saw. bersabda, “Aku bersumpah kepadamu, kamu harus kembali kepada istrimu dan menggaulinya.” Usman ibnu Maz’un menjawab, “Wahai Rasulullah, sekarang aku sedang puasa.” Rasulullah Saw. bersabda, “Kamu harus berbuka.” Ma ka Usman berbuka dan menyetubuhi istrinya.
Khaula kembali kepada Siti Aisyah dalam keadaan telah merapikan rambutnya, memakai celak mata dan wewangian. Maka Siti Aisyah tersenyum dan berkata, “Mengapa engkau, hai Khaula ?” Khaula menjawab bahwa suaminya telah menggaulinya kembali kemarin. Dan Rasulullah Saw. bersabda:
“Apakah gerangan yang telah dilakukan oleh banyak orang; mereka mengharamkan wanita, makanan, dan tidur. Ingatlah, sesungguhnya aku tidur, berbuka, puasa, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
Lalu turunlah firmanNya:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum, wa laa ta’taduu (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. dan janganlah kalian melampaui batas.” (Al Maidah: 87)
Seakan-akan ayat ini mengatakan kepada Usman, “Janganlah kamu mengebiri dirimu, karena sesungguhnya perbuatan itu merupakan perbuatan melampaui batas.” Dan Allah memerintahkan kepada mereka agar membayar kifarat sumpahnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (Al-Maidah: 89)
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah Swt.: wa laa ta’taduu (“dan janganlah kalian melampaui batas.”) (Al Maidah: 87)
Makna yang dimaksud dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Janganlah kalian belebih-lebihan dalam mempersempit kalian dengan mengharamkan hal-hal yang diperbolehkan bagi kalian. Demikianlah menurut pendapat sebagian ulama Salaf.
Makna yang dimaksud dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Janganlah kalian belebih-lebihan dalam mempersempit kalian dengan mengharamkan hal-hal yang diperbolehkan bagi kalian. Demikianlah menurut pendapat sebagian ulama Salaf.
Dapat pula diinterpretasikan: Sebagaimana kalian tidak boleh mengharamkan yang halal, maka jangan pula kalian melampaui batas dalam memakai dan mengkonsumsi yang halal, melainkan ambillah darinya sesuai dengan keperluan dan kecukupan kalian, janganlah kalian melampaui batas. Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, yang artinya:
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31), hingga akhir ayat.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)
Allah Swt. mensyariatkan sikap pertengahan antara yang berlebihan dan yang kikir dalam bernafkah, yakni tidak boleh melampaui batas, tidak boleh pula menguranginya. Dalam surat ini disebutkan oleh firmanNya:
laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum, wa laa ta’taduu innallaaHa laa yuhibbul mu’tadiin (“janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Maidah: 87)
Kemudian dalam ayat selanjurnya Allah Swt. berfirman: wa kuluu mimmaa razaqakumullaaHu halaalan thayyiban (“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telak rezekikan kepada kalian.”) (Al Maidah: 88) Yakni keadaan rezeki itu halal lagi baik.
Wat taqullaaHa (“dan bertakwalah kepada Allah”) (Al Maidah: 88)
Yakni dalam semua urusan kalian, ikutilah jalan taat kepada Nya dan yang diridai-Nya serta tinggalkanlah jalan yang menentang-Nya dan yang durhaka terhadap-Nya.
Yakni dalam semua urusan kalian, ikutilah jalan taat kepada Nya dan yang diridai-Nya serta tinggalkanlah jalan yang menentang-Nya dan yang durhaka terhadap-Nya.
Alladzii antum biHii mu’minuun (“Yang kalian beriman kepada-Nya”) (AlMaidah: 88)
&
No comments:
Post a Comment