Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 32-34 (14)

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 32-34 (14)

10DES
Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 32-34“32. oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. 33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, 34. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maa-idah: 32-34)
Allah berfirman karena pembunuhan yang dilakukan oleh anak Adam as. [yakni Qabil] terhadap saudaranya [yakni Habil] secara dhalim, dan permusuhan: Maka; katabnaa ‘alaa banii is-raa-iila (“Kami tetapkan [suatu hukum] bagi bani Israil”) yakni, Kami syariatkan serta Kami beritahukan kepada mereka: ‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.’”)
Maksudnya, barangsiapa membunuh seseorang tanpa sebab, seperti [karena] qishash atau [karena] berbuat kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan pembunuhan tersebut tanpa sebab dan tanpa kejahatan, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya, karena bagi Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa lainnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan, yakni mengharamkan pembunuhan atas suatu jiwa dan meyakini hal itu, berarti dengan demikian telah selamatlah seluruh umat manusia darinya.
Oleh karena itu Allah berfirman: fa ka-annamaa ahyan naasa jamii-an (“Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”) Sa’id bin Jubair berkata: “Barangsiapa menghalalkan darah seorang muslim, seakan-akan ia telah halalkan darah seluruh umat manusia, barangsiapa mengharamkan darah seorang muslim, seakan-akan ia telah mengharamkan darah seluruh umat manusia.” Ini merupakan pendapat yang paling jelas.
Firman Allah: wa laqad jaa-atHum rusulunaa bil bayyinaat (“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul Kami dengan [membawa] keterangan-keterangan yang jelas.”) yaitu dengan hujjah, bukti dan dalil yang jelas.
Tsumma inna katsiiram minHum ba’da dzaalika fil ardli la musrifuun (“Kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”) yang demikian itu merupakan celaan dan kecaman atas pelanggaran mereka terhadap berbagai perbuatan haram setelah mereka mengetahuinya, sebagaimana bani Quraidhah, bani Nadhir, dan bani Qainuqa’, yang terdiri dari orang-orang Yahudi yang berada di sekitar Madinah. Mereka berperang bersama suku Aus dan suku Khazraj ketika terjadi beberapa peperangan di antara mereka pada zaman Jahiliyyah. Dan setelah peperangan berakhir, mereka menebus orang-orang yang telah mereka tawan dan membayar ‘diyat’ orang-orang yang telah mereka bunuh.”
Firman Allah: innamaa jazaa-ul ladziina yuharribuunallaaHa wa rasuulaHuu wa yas’auna fil ardli fasaadan ay yuqattaluu au yushallabuu au tuqaththa’a aidiiHim wa arjuluHum min khilaafin au yunfau minal ardli (“. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri [tempat kediamannya].”)
Perang berarti perlawanan dan pertentangan, hal itu adalah benar [tepat] apabila ditujukan kepada orang-orang kafir, para penyamun, dan para perintang jalan. Demikian halnya dengan tindakan berbuat kerusakan di muka bumi, berarti mencakup segala macam kejahatan, bahkan banyak dari kalangan ahli tafsir salaf di antaranya, Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya perampasan uang dirham dan dinar adalah termasuk dalam perbuatan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman yang artinya: ‘Dan apabila ia berpaling [darimu], ia berjalan di muka bumi untuk melakukan kerusakan padanya, serta merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kebinasaan.’ [al-Baqarah: 205]”)
Pendapat yang benar adalah ayat ini bersifat umum untuk kalangan kaum musyrikin dan juga orang-orang yang bergelimang dengan sifat-sifat buruk tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Qilabah, yang nama lengkapnya ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi al-Bashri, dari Anas bin Malik: “Ada delapan orang dari Ukl datang kepada Rasulullah saw. lalu mereka berbai’at kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Mereka jatuh sakit karena tidak cocok dengan udara Madinah, kemudian tubuh mereka jatuh sakit sehingga mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka beliau pun bersabda: ‘Mengapa kalian tidak pergi bersama penggembala kami yang menggembalakan untanya, sehingga kalian bisa mendapatkan kencing air unta dan susunya.’ Mereka menjawab, ‘Baiklah.’ Selanjutnya mereka pun pergi, dan minum air kencing itu serta susu unta, sehingga mereka kembali sehat. Kemudian mereka membunuh penggembala tadi dan menggiring unta tersebut. Maka berita itupun akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. setelah itu beliau mengirim utusan untuk mengejar mereka sehingga akhirnya mereka bisa dikejar. Selanjutnya mereka dibawa menghadap menghadap Rasulullah. Beliau memberikan hukuman kepada mereka, maka tangan dan kaki mereka pun dipotong, serta mata mereka dicungkil, lalu dipanaskan di bawah terik matahari sampai mati.” (demikian hadits menurut lafadz Muslim)
Jumhur ulama telah menggunakan keumuman pengertian ayat ini, sebagai dalil bagi pendapat mereka yang menyatakan, bahwa hukum muharabah [penyerangan] di kota-kota maupun di jalanan adalah sama. Hal ini didasarkan pada firman-Nya: wa yas’auna fil ardli fasaadan (“Dan berbuat kerusakan di muka bumi.”) yang demikian itu merupakan pendapat Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mengenai orang yang membujuk seseorang lalu menipunya, dan memasukkannya ke rumah untuk selanjutnya ia membunuhnya dan mengambil barang berharga yang dibawa orang tersebut, Imam Malik berpendapat, bahwa yang demikian itu merupakan muharabah [tindakan penyerangan], dan penyelesaiannya diserahkan kepada pihak penguasa dan bukan kepada wali si terbunuh. Kata maaf yang diberikan oleh keluarga terbunuh tidak menghapuskan hukuman akibat tindakan pembunuhan tersebut. Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa tidak disebut muharabah kecuali di jalanan, sedangkan di dalam kota bukan disebut muharabah karena si teraniaya akan memperoleh pertolongan jika meminta pertolongan. Berbeda dengan di jalanan, yang jauh dari orang yang dapat memberikan bantuan dan pertolongan.
Firman Allah: ay yuqattaluu au yushallabuu au tuqaththa’a aidiiHim wa arjuluHum min khilaafin au yunfau minal ardli (“mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri [tempat kediamannya].”) Ibnu Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, mengenai ayat tersebut: “Barangsiapa yang menghunus pedang pada kelompok Islam, dan menakut-nakuti orang dalam perjalanan, lalu ia berhasil ditangkap dan dikuasai, dalam penanganan masalah tersebut pemimpin kaum Muslimin mempunyai pilihan [terhadap pelaku tersebut], jika ia mau boleh membunuhnya, atau menyalibnya, atau memotong tangan dan kakinya.”
Hal senada juga dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyad, Mujahid, ‘Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i dan adh-Dhahhak. Semuanya itu diriwayatkan oleh Abu Ja’far bin Jarir. Hal yang sama juga diriwayatkan dari Malik bin Anas ra. Yang menjadi sandaran pendapat tersebut lahiriyah kata “au” (atau) adalah untuk menyatakan pilihan, sebagaimana yang ada pada beberapa hal yang sebanding dengan hal itu dalam al-Qur’an. Misalnya, firman Allah tentang kafarat sumpah yang artinya: “Memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak.” (al-Maidah: 89) semua ketentuan dalam ayat tersebut di atas merupakan pilihan, maka demikian halnya dengan ayat al-Maidah:33.
Jumhur ulama mengatakan: “Ayat ini diturunkan dalam beberapa keadaan.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah asy-Syafi’i: Ibrahim bin Abi Yahya memberitahu kami, dari Shalih maula at-Tauamah, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai para penyamun [perampok, pembegal jalan]: jika mereka membunuh dan mengambil barang-barang berharga, mereka harus dibunuh dan disalib. Jika mereka membunuh tanpa mengambil barang-barang berharga milik si terbunuh, mereka hanya dibunuh saja tanpa disalib. Jika mereka mengambil barang-barang berharga dan tidak membunuh korbannya, tidak harus dibunuh tetapi cukup dipotong tangan dan kaki mereka saja secara bersilang. Jika mereka menakut-nakuti orang lewat di jalanan tanpa mengambil barang-barang berharga, maka mereka harus diusir dari kampung tempat tinggalnya.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hal yang sama, dari ‘Abdur Rahim bin Sulaiman, dari Hajjaj, dari ‘Athiyyah, dari Ibnu ‘Abbas. Hal senada juga diriwayatkan oleh Abu Mijliz, Sa’id bin Jubair, Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi dan ‘Atha’ al-Khurasani. Demikian itulah yang dikemukakan oleh banyak ulama salaf dan juga para imam. Mereka berbeda pendapat tentang apakah seseorang itu disalib dalam keadaan hidup lalu ditinggalkan sampai ia meninggal dunia tanpa diberi makan dan minum, ataukah dibunuh dengan menggunakan tombak atau yang semisalnya, ataukah dibunuh terlebih dahulu baru kemudian disalib sebagai peringatan dan pelajaran bagi orang lainnya yang berbuat kerusakan. Mereka juga berbeda pendapat berkenaan dengan masalah apakah mereka itu disalib selama tiga hari dan kemudian diturunkan ataukah disalib dan ditinggalkan sampai keluar nanahnya.
Au yunfau minal ardli (“Atau dibuang dari negeri [tempat kediamannya].”) sebagian ulama mengatakan: “Yaitu dikejar hingga tertangkap, lalu diberlakukan baginya had [ketetapan hukum], atau diusir dari wilayah Islam.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas.
Sedangkan ulama lain mengemukakan: “Yang dimaksud dengan an-nafyu [pembuangan] dalam ayat tersebut adalah dipenjarakan.” Demikian pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya. Dan yang menjadi pilihan Ibnu Jarir adalah yang dimaksud dengan an-nafyu di sini diusir dari negerinya ke negeri lain, serta dipenjarakan disana.
Firman Allah: dzaalika laHum jizyun fid dun-yaa wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘adhiim (“Yang demikian itu [sebagai] suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”) maksudnya apa yang Aku sebutkan berupa pembunuhan, pemyaliban, pemotongan tangan dan kaki dengan bertimbal balik, dan pengusiran mereka merupakan bentuk penghinaan bagi mereka di tengah-tengah umat manusia, dalam kehidupan dunia ini. Di samping itu disediakan pula adzab yang besar pada hari kiamat kelak.
Hal ini memperkuat pendapat ulama yang menyatakan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang musyrik. Adapun mengenai orang Islam, maka dalam Shahih Muslim telah diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Shamit, ia berkata: Rasulullah saw. pernah mewajibkan kepada kami, sebagaimana beliau mewajibkan kepada kaum wanita, yaitu kami tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak boleh mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, serta tidak boleh saling menyakiti di antara kami. Barangsiapa di antara kalian yang memenuhi kewajiban tersebut, pahalanya ada pada Allah Ta’ala; barangsiapa mengerjakan sebagian dari larangan tersebut lalu dia diberi hukuman, hal itu sebagai kafarah baginya, dan barangsiapa yang [perbuatan buruknya] ditutupi oleh Allah, persoalannya terserah pada Allah, jika Allah menghendaki Dia akan mengadzabnya; dan jika Dia menghendaki Dia akan memaafkannya.”
Mengenai firman Allah: dzaalika laHum jizyun fid dun-yaa (“Yang demikian itu [sebagai] suatu penghinaan untuk mereka di dunia.”) Ibnu Jarir mengatakan: “Yaitu berupa keburukan, aib, adzab, kenistaan dan hukuman di dunia sebelum kehidupan akhirat.” Wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘adhiim (“Dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”) yakni jika mereka tidak bertaubat dari perbuatannya, mereka binasa [mati].
Firman-Nya: illal ladziina taabuu min qabli an taqdiruu ‘alaiHim fa’lamuu annallaaHa ghafuurur rahiim (“Kecuali orang-orang yang taubat [di antara mereka], sebelum kamu dapat menguasai [menangkap] mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) menurut pandangan ulama yang berpendapat bahwa ayat ini berkenaan dengan kaum musyrikin, maksud ayat tersebut sudah sangat jelas. Mengenai kaum Muslimin yang melakukan penyerangan, jika mereka bertaubat sebelum mereka dikuasai [ditangkap], gugurlah hukuman mati, salib dan potong tangan bagi mereka. Lalu apakah gugur hukum potong tangan dari diri mereka atau tidak? Mengenai hal yang terakhir ini terdapat dua pendapat ulama, dan lahiriyah ayat menuntut hapusnya seluruh hukuman itu. Dan demikian itu yang dipraktikkan oleh para Shahabat.
Bersambung ke bagian 15

No comments:

Post a Comment

 
back to top