Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 106-108

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 106-108

3NOV
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 106-108
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian, jika kalian dalam perjalanan di muka bumi, lalu kalian ditimpa bahaya kematian. Kalian tahan kedua saksi itu sesudah salat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah —jika kalian ragu—, ‘(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.’ Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (mengajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, ‘Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri.’ Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumnah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (al-Maaidah: 106-108)
Ayat-ayat yang mulia ini mengandung ketentuan hukum yang jarang kejadiannya. Menurut suatu pendapat, hukum tersebut telah di-mansukh, yaitu menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Hammad ibnu Abu Sulaiman mengatakan dari Ibrahim bahwa ayat ini di-mansukh.
Sedangkan ulama lainnya yang merupakan mayoritas, menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir menyebutkan bahkan ayat ini adalah muhkam; dan barang siapa yang mengatakan di-mansukh, maka dia harus mengetengahkan buktinya.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ}
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang. (Al-Maidah: 106)
Lafaz isnani berkedudukan sebagai khabar, karena sebelumnya terdapat firman Allah Swt., “Syahadatu bainikum” (persaksian di antara kalian dilakukan oleh…) yang berkedudukan sebagai mubtada-nya.
Menurut pendapat lain, bentuk lengkap lafaz isnani ialah syahadatus naini, kemudian mudaf-nya dibuang, lalu mudaf ilaih-nyaditetapkan menggantikan kedudukannya.
Menurut pendapat lainnya lagi, konteks pembicaraan menunjukkan adanya kalimat yang tidak disebutkan; bentuk lengkapnya ialah an yasyhadas nani.
Firman Allah Swt.:
{ذَوَا عَدْلٍ}
Yang adil kedua-duanya. (Al-Maidah: 106)
berkedudukan sebagai sifat dari lafaz isnani, yaitu hendaknya kedua saksi itu adil kedua-duanya.
Firman Allah Swt.:
{مِنْكُمْ}
dari kalangan kalian. (Al-Maidah: 106)
Yakni dari kalangan kaum muslim. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh jumhur ulama.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Oleh dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 106) Bahwa yang dimaksud ialah dari kalangan kaum muslim.
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ubaidah, Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Yahya ibnu Ya’mur, As-Saddi, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengartikan makna firman-Nya: oleh dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 106) Makna yang dimaksud ialah dari kalangan keluarga orang yang berwasiat. Hal inilah yang dikatakan oleh suatu pendapat yang diriwayatkan dari Ikrimah dan Ubaidah serta beberapa orang ulama lainnya.
**
Firman Allah Swt.:
{أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ}
atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian. (Al-Maidah: 106)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa’id ibnu Jubair, bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian. (Al-Maidah: 106) Bahwa yang dimaksud ialah dari kalangan selain kaum muslim, yakni kaum Ahli Kitab.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ubaidah, Syuraih, Sa’id ibnul Musayyab, Muhammad ibnu Sirin, Yahya ibnu Ya’mur, Ikrimah, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Abu Mijlaz, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lain-lainnya.
Menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dari Ikrimah dan Ubaidah, sehubungan dengan firman-Nya, “Minkum” (yakni dari kalangan kalian), makna yang dimaksud ialah dari pihak pemberi wasiat. Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud oleh firman-Nya, “Au akharani min gairikum” yakni dari kalangan selain pihak pemberi wasiat. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan Al-Basri dan Az-Zuhri.
Firman Allah Swt.:
{إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ}
Jika kalian dalam perjalanan di muka bumi. (Al Maidah: 106)
Yakni sedang melakukan perjalanan
{فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ}
lalu kalian ditimpa bahaya kematian. (Al-Maidah: 106)
Hal tersebut merupakan dua syarat bagi pembolehan mengangkat saksi dari kalangan kafir zimmi, jika saksi dari kalangan orang-orang mukmin tidak didapat; yaitu hendaknya hal tersebut terjadi dalam perjalanan, dan kedua hendaknya dalam kasus wasiat. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Syuraih Al-Qadi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Syuraih, bahwa tidak boleh memakai persaksian orang Yahudi dan Nasrani kecuali dalam perjalanan. Tidak boleh pula menerimanya dalam perjalanan, kecuali dalam kasus wasiat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Abu Ishaq As-Subai’i yang mengatakan bahwa Syuraih telah mengatakan hal yang semisal. Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Imam Ahmad ibnu Hambal, dan masalah ini termasuk masalah munfarid-nya.. Ketiga imam lainnya berbeda pendapat, mereka mengatakan bahwa tidak boleh mengangkat kesaksian orang zimmi atas kaum muslim. Tetapi Imam Abu Hanifah membolehkannya selagi dalam batasan di antara sesama mereka yang zimmi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Abul Akhdar, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa sunnah telah menetapkan bahwa tidak boleh memakai kesaksian orang kafir, baik di tempat maupun dalam perjalanan; sesungguhnya kesaksian itu hanyalah bagi orang-orang muslim.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang menghadapi kematiannya, sedangkan di dekatnya tidak ada seorang pun dari kalangan pemeluk agama Islam. Hal ini terjadi di masa permulaan Islam, yaitu di saat mereka berada di tempat musuh dan semua orang dalam keadaan kafir. Orang-orang (kaum muslim) saling mewaris mempergunakan wasiat. Kemudian hukum wasiat (yakni kefarduannya) dihapuskan dan ditetapkanlah faraid(pembagian waris), dan semua kaum muslim mengamalkannya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, tetapi kesahihan hal ini masih perlu dipertimbangkan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah diperselisihkan makna firman-Nya:Apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian. (Al-Maidah: 106) Apakah makna yang dimaksud adalah ‘berwasiat kepada keduanya’ ataukah ‘mengangkat keduanya menjadi saksi’, ada dua pendapat mengenainya:
Pertama, orang yang bersangkutan memberikan wasiat kepada keduanya, yakni menitipkannya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Mas’ud r.a. pernah ditanya mengenai makna ayat ini. Maka ia menjawab, “Seorang lelaki sedang melakukan suatu perjalanan dengan membawa hartanya, kemudian takdir batas umurnya telah berada di ambang pintu. Maka jika ia menemukan dua orang lelaki dari kaum muslim, ia boleh menyerahkan harta peninggalannya kepada kedua orang lelaki itu, dan penyerahan itu disaksikan oleh dua orang yang adil dari kalangan kaum muslim.”Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, tetapi di dalam riwayat ini terdapat inqita’.
Kedua, sesungguhnya kedua orang tersebut merupakan dua orang saksi. Pengertian ini sesuai dengan makna lahiriah ayat. Jika tidak ada orang ketiga bersama keduanya, maka kedua orang itu merangkap sebagai penerima titipan wasiat, juga sebagai saksinya, seperti yang terjadi pada kisah Tamim Ad-Dari dan Addi ibnu Bada yang akan diterangkan kemudian.
Ibnu Jarir sulit menanggapi kedua penerima wasiat itu sebagai saksi, dengan alasan “dia belum pernah mengetahui ada suatu ketentuan hukum yang membolehkan saksi disumpah”.
Kenyataan tersebut sama sekali tidak bertumpukan dengan ketentuan hukum yang dikandung oleh ayat yang mulia ini, mengingat ketentuan hukumnya merupakan hukum yang berdiri sendiri. Secara mendasar hukum ini tidak diharuskan berjalan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam semua hukum. Hukum dalam ayat ini bersifat khusus, dengan kesaksian yang khusus, dan terjadi dalam tempat yang khusus pula- Untuk hal seperti ini dapat dimaafkan semua hal yang tidak dimaafkan pada ketentuan hukum lainnya. Untuk itu apabila terdapat qarinah yang menandai adanya kecurigaan, maka saksi ini boleh disumpah. Demikian­lah menurut pengertian yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini.
**
Firman Allah Swt.:
{تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ}
Kalian tahan kedua saksi itu sesudah salat (untuk bersumpah). (Al-Maidah: 106)
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, salat yang dimaksud adalah salat Asar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Ikrimah, dan Muhammad ibnu Sirin.
Sedangkan menurut Az-Zuhri, salat yang dimaksud ialah salat kaum muslim (tanpa ikatan waktu).
As-Saddi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan “salat” dalam ayat ini ialah salat menurut agamanya masing-masing. Telah diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah hal yang semisal; dan hal yang sama telah dikatakan oleh Ibrahim dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Makna yang dimaksud ialah kedua saksi tersebut diberdirikan sesudah salat jamaah yang dilakukan oleh orang banyak di hadapan mereka.
{فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ}
Lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah (Al-Maidah: 106)
Yakni keduanya disumpah dengan menyebut nama Allah.
{إِنِ ارْتَبْتُمْ}
Jika kalian ragu-ragu. (Al-Maidah: 106)
Yakni jika tampak oleh kalian tanda yang mencurigakan pada keduanya, bahwa keduanya akan berbuat khianat atau melakukan penggelapan. Maka saat itu kalian boleh menyumpah keduanya dengan menyebut nama Allah.
{لَا نَشْتَرِي بِهِ}
(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini. (Al-Maidah: 106)
Menurut Muqatil ibnu Hayyan, yang dimaksud ialah tidak menjual sumpahnya.
{ثَمَنًا}
harga yang sedikit (Al-Maidah: 106)
Yakni kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit berupa kebendaan yang fana dan pasti lenyap itu.
{وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى}
walaupun dia karib kerabat. (Al-Maidah: 106)
Yakni sekalipun orang yang disaksikannya itu adalah karib kerabat sendiri, kami tidak akan memihaknya.
{وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ}
dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah(Al-Maidah: 106)
Lafaz syahddah di-mudaf-kan kepada lafaz Allah, sebagai penghormatan terhadap kesaksian itu dan sekaligus mengagungkannya. Tetapi sebagian ulama ada yang membacanya syahadatillah dengan dibaca jar karena dianggap sebagai qasam (sumpah), menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Amir Asy-Sya’bi. Dan telah diriwayatkan dari sebagian ulama bacaan rafa’, yaitu menjadi syahddatullahi. Akan tetapi, qiraah pertama adalah qiraah yang terkenal.
{إِنَّا إِذًا لَمِنَ الآثِمِينَ}
Sesungguhnya kami kalau demikian termasuk orang-orang yang berdosa.(Al-Maidah: 106)
Yakni jika kami melakukan sesuatu penyimpangan dalam persaksian ini atau mengganti atau mengubah atau sama sekali menyem­bunyikannya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا إِثْمًا}
Jika diketahui bahwa kedua (saksi ini) memperbuat dosa. (Al-Maidah: 107)
Yakni jika terbuka dan tampak serta terbukti bahwa kedua saksi wasiat tersebut berbuat khianat atau menggelapkan sebagian dari harta yang dititipkan kepada keduanya, dan barangnya ada pada keduanya.
{فَآخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الأوْلَيَانِ}
Maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya. (Al-Maidah: 107)
Lafaz al-awlayani menurut qiraah jumhur ulama. Tetapi telah diriwayat­kan dari Ali, Ubay, dan Al-Hasan Al-Basri bahwa mereka membacanyaal-awwalani.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ishaq ibnu Muhammad Al-Farawi, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari Ja’far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ubaidillah ibnu Abu Rafi’, dari Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa Nabi Saw. membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Al-awlayani.Kemudian Imam Hakim mengata­kan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Sebagian yang lain —salah satunya adalah Ibnu Abbas— membaca­nyaal-awlayayni Dan Al-Hasan membacanya al-awwalani. Demikian­lah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Berdasarkan qiraah jumhur ulama, artinya adalah “manakala hal tersebut terbukti melalui berita yang benar yang menunjukkan keduanya telah berkhianat, hendaklah ada dua orang dari kalangan ahli waris dari tirkah itu bangkit mengajukan tuntutan penggantian. Dan hendaklah ahli waris ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling berhak mewaris harta tersebut.
{فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا}
Lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, “Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu.” (Al-Maidah: 107)
Yakni sesungguhnya ucapan kami yang menuduh keduanya berbuat khianat adalah benar, dan persaksian kami lebih sahih serta lebih kuat daripada persaksian yang diajukan oleh keduanya tadi.
{وَمَا اعْتَدَيْنَا}
dan kami tidak melanggar batas. (Al-Maidah: 107)
Yakni dalam ucapan kami yang mengatakan bahwa keduanya telah berbuat khianat.
{إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ}
Sesungguhnya kami kalau demikian termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri. (Al-Maidah: 107)
Yakni sesungguhnya jika kami seperti itu, berarti kami berdusta terhadap keduanya. Hak bersumpah bagi para ahli waris dan berpegang kepada ucapannya, perihalnya sama dengan para wali si terbunuh yang bersumpah, yaitu apabila tampak adanya penyimpangan dari pihak si pembunuh. Maka mereka yang berhak menuntut darah bersumpah terhadap si pembunuh, kemudian si pembunuh diserahkan bulat-bulat kepada mereka, seperti yang disebutkan di dalam kitab fiqih, Bab “Qasamah”.
Di dalam hadis pernah terjadi masalah yang semisal dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini.
Untuk itu, Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Abun Nadr, dari Badam (yakni Abu Saleh maula Ummu Hani binti Abu Talib), dari Ibnu Abbas, dari Tamim Ad-Dari sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian apabila seorang dari kalian menghadapi kematian. (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat. Tamim Ad-Dari mengatakan, “Semua orang terbebas dari ayat ini selain aku dan Addi ibnu Bada.” Dahulu ketika masih beragama Nasrani, mereka berdua sering berangkat menuju negeri Syam, yaitu sebelum keduanya masuk Islam. Pada suatu ketika, ketika keduanya tiba di negeri Syam dalam rangka misi dagangnya, maka bergabunglah dengan keduanya seorang maula dari Bani Sahm yang dikenal dengan nama Badil ibnu Abu Maryam yang juga datang membawa barang dagangannya, antara lain sebuah piala perak yang tujuannya ialah untuk ia jual kepada seseorang yang berpredikat bangsawan; piala ini merupakan barang yang paling berharga dari semua dagangannya. Kemudian Badil jatuh sakit, maka ia berwasiat kepada keduanya (Tamim dan Addi) untuk menyampaikan semua barang yang ditinggalkannya kepada keluarganya. Tamim menceritakan, “Setelah Badil meninggal dunia, kami mengambil piala tersebut, lalu kami jual dengan harga seribu dirham. Selanjutnya hasilnya kami bagi dua antara diriku dan Addi. Dan ketika kami tiba pada keluarganya, kami serahkan semua yang ada pada kami. Tetapi mereka merasa kehilangan piala tersebut. Lalu mereka menanyakannya kepada kami, maka kami jawab bahwa Badil hanya meninggalkan semua ini dan tidak pernah menyerahkan yang lainnya kepada kami.” Tamim melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia masuk Islam sesudah Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, ia menyesali perbuatannya itu dan merasa berdosa karenanya. Kemudian ia datang kepada keluarga Badil dan menceritakan hal yang sebenarnya serta menyerahkan sejumlah uang yang terpakai olehnya sebanyak lima ratus dirham. Dan ia menceritakan kepada mereka bahwa yang separonya lagi ada di tangan temannya (yaitu Addi ibnu Bada). Dengan serta merta mereka langsung menuntut Addi, maka Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk menyumpahnya dengan menyebut sesuatu yang paling diagungkan menurut penganut agamanya. Dan Addi pun melakukan sumpahnya, lalu turunlah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian. (Al-Maidah: 106) sampai dengan firman-Nya: lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, “Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu.” (Al-Maidah: 107) Maka berdirilah Amr ibnul As dan seorang lelaki lain dari kalangan mereka, lalu keduanya bersumpah, setelah itu disitalah uang lima ratus dirham tersebut dari tangan Addi ibnu Bada.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Isa Imam Turmuzi dan Ibnu Jarir, keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu’aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq dengan sanad yang sama. Di dalam riwayat ini disebutkan, “Lalu mereka menghadapkan Addi kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. meminta bukti dari mereka, tetapi mereka tidak dapat mengemukakan­nya. Maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk menyumpah­nya dengan menyebut nama sesuatu yang paling diagungkan menurut pemeluk agamanya. Akhirnya Addi bersumpah.” Dan Allah Swt. menurunkan ayat ini sampai dengan firman-Nya: dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. (Al-Maidah: 108) Dan ternyata Addi tidak berani mengemukakan sumpahnya. Akhirnya berdirilah Amr ibnul As dan lelaki lain, lalu keduanya bersumpah, dan disitalah dari tangan Addi sebanyak lima ratus dirham.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, sanadnya tidak sahih; dan Abun Nadr yang Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan hadis ini darinya, menurutku dia adalah Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi yang dipanggil dengan nama julukan ‘Abun Nadr. Para ahlul ilmi tidak memakai hadisnya, dia adalah pemilik kitab tafsir. Saya pernah mendengar Muhammad ibnu Ismail mengatakan bahwa nama kinayah Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi ialah Abun Nadr. Saya belum pernah mengetahui bahwa Abu Nadr pernah meriwayatkan dari Abu Saleh maula Ummu Hani’.
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sesuatu dari hal ini dengan singkat melalui jalur lain. Disebutkan telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Abul Qasim, dari Abdul Malik ibnu Sa’id ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari Bani Sahm melakukan suatu perjalanan bersama Tamim Ad-Dari dan Addi ibnu Bada. Lalu di tengah jalan yang tidak ada seorang muslim pun, orang dari Bani Sahm itu meninggal dunia. Ketika keduanya pulang dengan membawa harta peninggalan teman mereka, maka ahli warisnya merasa kehilangan sebuah piala perak yang dilapisi dengan emas. Maka Rasulullah Saw. menyumpah keduanya. Ternyata para ahli waris menemukan piala tersebut di Mekah, dan mendapat jawaban dari pemegangnya bahwa ia telah membelinya dari Tamim dan Addi. Maka dua orang lelaki dari kalangan wali lelaki dari Bani Sahm itu bangkit dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya persaksian kami lebih layak untuk diterima dan sesungguhnya piala itu adalah milik ahli warisnya. Sehubungan dengan kisah mereka itu turunlah firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian. (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yahya ibnu Adam dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Ini merupakan hadis Abu Zaidah dan Muhammad ibnu Abul Qasim Al-Kufi. Menurut suatu pendapat, hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
Kisah ini telah disebutkan secara mursal bukan hanya oleh seorang ulama dari kalangan tabi’in, melainkan banyak, antara lain Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, dan Qatadah. Dan mereka menyebutkan bahwa penyumpahan tersebut dilakukan sesudah salat Asar.
Ibnu Jarirlah yang telah meriwayatkannya. Dan hal yang sama disebutkan secara mursal oleh Mujahid, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak. Hal ini jelas menunjukkan ketenaran dan kesahihan kisah ini di kalangan ulama Salaf.
Termasuk salah satu syahid yang membuktikan kesahihan kisah ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Ja’far ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Asy-Sya’bi, bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan kaum muslim merasa usianya tidak lama lagi di perjalanannya. Ketika maut akan menjemputnya dan ia tidak menemukan seseorang pun dari kalangan kaum muslim untuk menjadi saksi bagi wasiat yang akan dikemukakannya di tempat itu, maka terpaksa ia mengangkat dua orang lelaki dari kalangan Ahli Kitab sebagai saksi untuk wasiatnya. Asy-Sya’bi melanjutkan kisahnya,”Lalu kedua lelaki Ahli Kitab itu tiba di Kufah, dan keduanya datang menghadap Al-Asy’ari —yakni Abu Musa Al-Asy’ari r.a.—, kemudian menceritakan kepadanya apa yang telah dialami keduanya dan yang menyebabkan kunjungannya ke Kufah, yaitu karena membawa harta peninggalan si lelaki muslim dan wasiat­nya.” Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Kasus ini baru sekarang terjadi lagi setelah pernah terjadi di masa Rasulullah Saw.” Kemudian Abu Musa Al-Asy’ari menyumpah keduanya sesudah salat Asar dengan nama Allah, bahwa keduanya tidak khianat, tidak dusta, tidak mengganti, tidak menyembunyikan, tidak pula mengubahnya. Dan bahwa apa yang disampaikannya itu benar-benar merupakan wasiat si lelaki muslim tersebut secara apa adanya berikut harta peninggalannya. Dan akhirnya Abu Musa Al-Asy’ari menerima sumpah keduanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu’bah, dari Mugirah Al-Azraq, dari Asy-Sya’bi, bahwa Abu Musa memutuskan demikian. Kedua asar ini berpredikat sahih sampai kepada Abu Musa Al-Asy’ari melalui Asy-Sya’bi.
Ucapan Abu Musa Al-Asy’ari bahwa kasus seperti ini belum pernah terjadi sejak apa yang telah terjadi di masa Rasulullah Saw., makna yang dimaksud secara lahiriahnya —hanya Allah yang lebih mengetahui—-tiada lain ialah kisah Tamim dan Addi ibnu Bada tadi.
Mereka menyebutkan bahwa masuk Islamnya Tamim ibnu Aus Ad-Dari r.a. adalah pada tahun sembilan Hijriah. Berdasarkan data ini, berarti hukum tersebut terjadi di akhir masa. Dengan demikian, berarti orang yang menduga bahwa hukum ini di-mansukh dituntut mengemukakan dalil yang terinci untuk membuktikan kebenaran dugaannya terhadap masalah yang dimaksud.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, apabila seseorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 106) Bahwa hal ini berkenaan dengan masalah berwasiat di saat menjelang kematian. Orang yang bersangkutan mengemukakan wasiatnya dan disaksikan.oleh dua orang saksi lelaki dari kalangan kaum muslim untuk menyaksikan harta dan hal-hal yang diwasiatkannya. Dan hal ini dilakukan bilamana orang yang bersangkutan berada di tempat tinggalnya. atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian. (Al-Maidah: 106) Yakni bilamana orang yang bersangkutan berada dalam perjalanannya. Jika kalian dalam perjalanan di muka bumi, lalu kalian ditimpa bahaya kematian. (Al-Maidah: 106) Yakni bila orang yang bersangkutan menghadapi kematiannya dalam perjalanan, sedangkan di dekatnya tidak dijumpai seorang muslim pun. Maka ia boleh memanggil dua orang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi, lalu berwasiat kepada keduanya dan menyerahkan (menitipkan) harta peninggalannya, kemudian kedua saksi itu mau menerimanya. Apabila keluarga mayat rela dengan wasiat tersebut dan mengenal kedua saksinya, maka mereka boleh membiarkan saksi-saksi itu. Tetapi jika keluarga mayat merasa curiga terhadap kedua saksinya, mereka boleh naik banding kepada sultan. Hal inilah yang diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Kamu tahan kedua saksi itu sesudah salat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama A11ah —jika kalian ragu-ragu— (Al-Maidah: 106)
Abdullah ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Seakan-akan aku melihat dua orang kafir ketika keduanya datang menghadap Abu Musa Al-Asy’ari di rumahnya. Lalu Abu Musa membuka lembaran wasiat tersebut, tetapi ahli waris si mayat tidak mempercayai keduanya dan mereka mengancamnya. Maka Abu Musa bermaksud akan menyumpah kedua­nya sesudah salat Asar. Lalu aku berkata, ‘Sesungguhnya kedua orang ini tidak mempedulikan salat Asar, sebaiknya dia disumpah sesudah melakukan salat menurut agamanya.’ Maka kedua lelaki itu disuruh berdiri sesudah menjalankan sembahyang menurut agamanya, lalu keduanya disuruh bersumpah dengan nama Allah, bahwasanya mereka berdua tidak akan menggantinya (kepercayaan yang diberikan kepadanya) dengan harga yang sedikit (yakni harta duniawi), walaupun orang yang disaksikannya itu karib kerabatnya. Dan kami tidak akan menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kalau demikian tentulah kami termasuk orang-orang yang berdosa. Dan bahwasanya teman mereka (yang telah meninggal dunia itu) benar-benar mewasiatkan hal tersebut dan bahwa harta peninggalannya adalah yang diserahkan oleh mereka.”
Sebelum keduanya mengutarakan sumpahnya, hendaklah pihak imam berkata kepada keduanya, “Sesungguhnya kamu berdua jika menyembunyikan sesuatu atau kamu berdua berbuat khianat, niscaya aku akan mempermalukanmu di kalangan kaummu, kemudian kamu berdua tidak boleh menjadi saksi lagi serta aku akan menghukum kamu berdua.”
Apabila imam telah mengatakan hal tersebut kepada keduanya: Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya. (Al-Maidah: 108)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari Ibrahim dan Sa’id ibnu Jubair, bahwa keduanya telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian. (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat. Bahwa apabila seorang lelaki menghadapi saat ajalnya di dalam per­jalanan, hendaklah ia mengangkat dua orang lelaki dari kalangan kaum muslim untuk menjadi saksinya. Jika ia tidak menemukan dua orang lelaki muslim, maka dapat dipakai dua orang lelaki dari kalangan Ahli Kitab. Apabila kedua saksi itu tiba dengan membawa harta peninggalan si mayat, dan ahli warisnya menerima kesaksian keduanya, maka ucapan keduanya dapat diterima. Jika ahli waris si mayat mencurigai keduanya, maka keduanya disuruh bersumpah sesudah salat Asar dengan menyebut nama Allah, bahwasanya keduanya tidak menyembunyikan sesuatu pun, tidak berdusta, tidak berkhianat, tidak pula mengubah wasiat yang disampaikannya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubung­an tafsir ayat ini, bahwa jika persaksian keduanya dicurigai, maka keduanya disuruh menyatakan sumpahnya sesudah salat Asar dengan menyebut nama Allah, bahwasanya mereka tidak akan menukar persaksi­annya dengan harga yang sedikit.
Jika pihak para wali (ahli waris) si mayat melihat bahwa kedua saksi kafir ini dusta dalam persaksiannya, hendaklah dua orang lelaki dari kalangan ahli waris si mayat berdiri, lalu menyatakan sumpahnya dengan menyebut nama Allah, bahwa persaksian kedua orang kafir itu dusta, dan mereka tidak menganggapnya. Yang demikian itulah yang dimaksud oleh firman-Nya: Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa. (Al-Maidah: 107) Yakni jika ahli waris melihat adanya gelagat bahwa kedua orang kafir itu dusta dalam persaksiannya. maka dua orang yang lain menggantikan keduanya. (Al-Maidah: 107) Yakni dari kalangan para wali si mayat. Lalu keduanya bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa persaksian kedua orang kafir itu batil dan kami tidak menganggapnya. Maka persaksian kedua orang kafir itu ditolak, sedangkan persaksian para wali si mayat diperbolehkan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Demikianlah hukum itu ditetapkan sesuai dengan makna ayat oleh bukan hanya seorang dari kalangan para tabi’in yang terkemuka dan kalangan ulama Salaf, dan hal inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Ahmad rahimahullah.
***
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا}
Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya. (Al-Maidah: 108)
Yakni demikianlah cara mempraktekkan hukum ini dengan cara yang lebih memuaskan, yaitu menyumpah kedua saksi yang zimmi serta menaruh rasa curiga terhadap keduanya. Hal ini lebih dekat untuk menjadikan keduanya mengemukakan persaksian menurut apa yang sebenarnya lagi memuaskan.
Firman Allah Swt.:
{أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ}
dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. (Al-Maidah: 108)
Yakni hal yang mendorong mereka untuk menunaikan persaksian menurut apa adanya ialah dengan memberatkan sumpah terhadap mereka, yaitu dengan menyebut nama Allah, dan rasa takut akan dipermalukan, di hadapan orang banyak jika sumpahnya dikembalikan kepada ahli waris si mayat, yang akibatnya merekalah yang bersumpah dan mereka berhak mendapatkan apa yang diakuinya. Karena itulah Allah Swt. berfirman: dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah (Al-Maidah: 108)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah (Al-Maidah: 108)
Yakni dalam semua urusan kalian.
{وَاسْمَعُوا}
dan dengarkanlah (perintah-Nya). (Al-Maidah: 108)
Yakni taatilah perintah-Nya.
{وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ}
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Al-Maidah: 108)
Yakni orang-orang yang keluar dari jalan ketaatan kepada-Nya dan menyimpang dari syariat-Nya.

No comments:

Post a Comment

 
back to top