Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 89

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 89

7FEB
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 89“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalianyang tidak dimaksud (untuk bersumpah) , tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kalian langgar). Dan jagalah sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian hukum-hukum-Nya agar kalian bersyukur (kepadaNya).” (Al-Maa-idah ayat 89)
Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan masalah bermain-main dalam sumpah, yaitu dalam surat Al Baqarah, sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam pembahasan ini. Pada garis besarnya sumpah yang main-main ialah perkataan seorang lelaki yang menyangkut makna sumpah tanpa disengaja, misalnya, “Tidak, demi Allah.” dan “Benar, demi Allah.” Demikianlah menurut mazhab Imam Syafi’i.
Menurut pendapat lain, bermain-main dalam sumpah ialah sumpah seseorang yang dilakukan dalam omongan yang mengandung seloroh (gurauan); menurut pendapat yang lain dalam masalah maksiat. Menurut pendapat yang lain lagi atas dasar dugaan kuat, pendapat ini dikatakan oleh Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Menurut pendapat yang lainnya adalah sumpah yang dilakukan dalam keadaan marah. Sedangkan menurut pendapat yang lainnya atas dasar lupa. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi yaitu sumpah yang menyangkut masalah meninggalkan makan, minum dan pakaian, serta lain-lainnya yang semisal, dengan berdalilkan firman Allah Swt.:
laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallallaaHu lakum (“janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian.”) (AlMaidah: 87)
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa sumpah yang main-main ialah yang diutarakan tanpa sengaja, dengan berdalilkan firman Allah Swt. yang mengatakan:
Wa laakiy yu-aakhidzukum bimaa ‘aqadtumum aimaan (“Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.”) (Al Maidah: 89) Yakni sumpah yang kalian tekadkan dan sengaja kalian lakukan.
Fa kaffaaratuHuu ith’aamu ‘asyarati masaakiina (“Maka kifarat [melanggar] sumpah itu ialah memberi makan sepuluhorang miskin. (Al Maidah: 89)
Yakni orang-orang yang membutuhkan pertolongan dari kalangan orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi penghidupannya.
Firman Allah Swt:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89)
Ibnu Abbas, Sa’id ibnu Jubair, dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dari standar jenis makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. Menurut Ata al-Khurasani, makna yang dimaksud ialah makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Abu Ishaq As Subai’i, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah roti dan air susu, atau roti dan minyak samin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara qiraat (bacaan), telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Sulaiman (yakni Ibnu Abui Mughirah), dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sebagian orang ada yang memberi nafkah keluarganya dengan makanan pokok yang berkualitas rendah, ada pula yang memberi makan keluarganya dengan makanan pokok yang berkualitas tinggi. Maka Allah Swt. berfirman:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni berupa roti dan minyak.
Abu Sa’id Al-Asyaj mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami lsrail, dari Jabir, dari Amir, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni dari jenis pertengahan antara jenis yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang miskin dan oleh orang-orang kaya mereka.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Khalaf Al Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu’aib (yakni Ibnu Syabur), dan telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abdur Rahman At Tamimi, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Asim AI-Ahwal, dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama Abdur Rahman At-Tamimi, dari Ibnu Umar ra. sehubungan dengan firmanNya:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni berupa roti dan daging, atau roti dan samin, atau roti dan susu, atau roti dan minyak, atau roti dan cuka.
Dan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Asim, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni roti dan samin atau roti dan susu, atau roti dan minyak atau roti dan kurma. Makanan yang paling utama kalian berikan kepada keluarga kalian ialah roti dan daging.
Atsar yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Hannad dan Ibnu Waki’, keduanya dari Abu Mu’ awiyah. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ubaidah dan Al-Aswad, Syuraih Al-Qadi, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan Ad-Dahhak serta Abu Razin, semuanya mengatakan hal yang semisal.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan pula atsar yang sama dari Makhul.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan sehubungan dengan makna firmanNya:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89)
Bahwa makna yang dimaksud ialah menyangkut sedikit dan banyaknya makanan tersebut. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai standar jumlah yang biasa diberikan kepada keluarga. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar, dari Hajjaj, dari Husain Al-Harisi, dari Asy-Sya’bi , dari Al-Haris, dari Ali r.a. sehubungan dengan firmanNya:
Min ausathi maa tuth’imuuna aHliikum (“Yaitu dari makanan [jenis pertengahan] yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni makanan yang biasa ia berikan untuk makan siang dan makan malam keluarganya.
Al-Hasan dan Muhammad ibnu Sirin mengatakan, orang yang bersangkutan cukup memberi makan sepuluh orang miskin sekali makan, berupa roti dan daging. Al-Hasan menambahkan bahwa jika ia tidak menemukan daging, maka cukup dengan roti, minyak samin, dan susu; jika ia tidak menemukannya , maka cukup dengan roti, minyak, dan cuka hingga mereka merasa kenyang.
Ulama yang lain mengatakan, orang yang bersangkutan memberi makan setiap orang dari sepuluh or ang itu setengah sha’ jewawut atau buah kurma atau lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh Umar, Siti Aisyah, Mujahid, Asy-Sya’bi , Sa’id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Maimun Ibnu Mahran, Abu Malik, Ad-Dahhak, Al-Hakam, Makhul, Abu Qilabah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jumlah makanan yang diberikan kepada tiap orang ialah setengah sa’ jewawut atau satu sa’ makanan jenis lainnya.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hasan As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Hasan ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Abdullah ibnu at Tufail ibnu Sakhbirah (anak lelaki saudara seibu Siti Aisyah), telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ya’la, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abba s yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah membayar kifarat dengan satu sa’ buah kurma, dan beliau Saw. memerintahkan kepada orang-orang supaya melakukan hal yang sama. Barang siapa yang tidak menemukan buah kurma, maka dengan setengah sa’ jewawut.
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Al Abbas ibnu Yazid, dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Bakka, dari Umar ibnu Abdullah ibnu Ya’la As-Saqafi, dari Al-Minhal ibnu Amr dengan sanad yang sama. Tetapi hadis ini tidak sahih, mengingat keadaan Umar ibnu Abdullah, karena dia telah disepakati akan kedaifannya. Menurut mereka, Uma r ibnu Abdullah ini sering minum khamr. Menurut Imam Daruqutni, Umar ibnu Abdullah hadisnya tidak terpakai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Daud (yakni Ibnu Abu Hindun), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah satu mud makanan berupa jewawut —yakni bagi tiap-tiap orang miskin — disertai lauk pauknya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Zaid ibnu Sabit, Sa’id ibnul Musayyab, Ata, Ikrimah, Abusy Sya’sa, Al-Qasim, Salim, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Yasar, Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, dan Az-Zuhri hal yang semisal.
Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang diwajibkan dalam kifarat sumpah ialah satu mud berdasarkan ukuran mud yang dipakai oleh Nabi Saw. untuk tiap orang miskin, tanpa memakai lauk pauk. Imam Syafii mengatakan demikian dengan berdalilkan perintah Nabi Saw. kepada seseorang yang menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadan. Nabi Saw memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin dari tempat penyimpanan makanan yang berisikan lima belas sa’, untuk tiap-tiap orang dari mereka kebagian satu mud.
Di dalam hadis lain hal itu disebutkan dengan jelas. Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali Ibnul Hasan Al Muqri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu lshaq As Siraj, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Zurarah Al-Kufi, dari Abdullah ibnu Umar Al-Umari, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. menetapkan standar takaran kifarat sumpah dengan memakai takaran mud pertama, makanan yang ditakarnya berupa gandum.
Sanad hadis ini daif karena keadaan An-Nadr ibnu Zurarah ibnu Abdul Akram Az Zuhali AlKufi yang tinggal di Balakh. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah orang yang tidak dikenal, padahal bukan hanya seorang yang telah mengambil riwayat hadis darinya. Tetapi Ibnu Hibban menyebutnya di antara orang-orang yang tsiqah. Ibnu Hibban mengatakan, telah mengambil riwayat darinya Qutaibah ibnu Sa’id banyak hal yang benar. Kemudian gurunya yang bernama Al-Umari orangnya daif pula.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan bahwa hal yang diwajibkan ialah satu mud jewawut atau dua mud jenis makanan lainnya.
Firman Allah Swt.: au kiswatuHum (“atau memberi pakaian kepada mereka.”) (Al Maidah: 89)
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, “Seandainya orang yang bersangkutan menyerahkan kepada tiap-tiap orang dari sepuluh orang miskin itu sesuatu yang dinamakan pakaian, baik berupa ghamis, celana, kain sarung, kain sorban, ataupun kerudung, maka hal itu sudah cukup baginya.”
Tetapi murid-murid Imam Syafii berbeda pendapat mengenai masalah peci, apakah peci di anggap mencukupi atau tidak; ada dua pendapat mengenainya di kalangan mereka. Di antara mereka ada yang membolehkannya; karena berdasarkan riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa’i d Al-Asyaj dan Ammar ibnu Khalid Al Wasiti, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al Qasim ibnu Malik, dari Muhammad ibnuz Zubair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Imran ibnul Husain mengenai firman-Nya:
au kiswatuHum (“atau memberi pakaian kepada mereka.”) (Al Maidah: 89)
Imran ibnul Husain r.a. menjawab, “Seandainya ada suatu delegasi datang kepada amir kalian, lalu amir kalian memakaikan kepada tiap orang dari mereka sebuah peci, maka tentu kalian akan mengatakan bahwa mereka telah diberi pakaian.”
Akan tetapi, sanad riwayat ini daif karena keadaan Muhammad ibnuz Zubair.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syekh Abu Hamid Al Isfirayini dalam masalah khuff (kaos kaki yang terbuat dari kulit), ada dua pendapat mengenainya. Hanya saja pendapat yang benar mengatakan tidak mencukupi.
Imam Malik dan Imam Ahma d ibnu Hambal mengatakan bahwa hal yang diserahkan kepada masing-masing mereka harus berupa pakaian yang sah dipakai untuk salat seorang laki-laki atau seorang wanita, masing-masing disesuaikan dengan keperluannya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa pakaian itu ialah sebuah baju ‘abayah atau baju jas bagi tiap-tiap orang miskin.
Mujahid mengatakan bahwa minimalnya adalah sebuah baju, sedangkan maksimalnya menurut kehendak orang yang bersangkutan.
Lais telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa dianggap cukup dalam kifarat sumpah segala jenis pakaian, kecuali celana pendek.
Al-Hasan, Abu Ja’far AlBaqir, Ata, Tawus , Ibrahim An-Nakha’i, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Abu Malik mengatakan bahwa setiap orang miskin cukup diberi sebuah baju. Dari Ibrahim An-Nakha’i disebutkan pula pakaian yang menutupi, seperti baju jas dan baju luar; tetapi ia beranggapan tidak mencukupi pakaian yang berupa kaos, baju ghamis, dan kain kerudung serta lain-lainnya yang sejenis.
Al-Ansari telah meriwayatkan dari Asy’as, dari Ibnu Sirin dan Al-Hasan, bahwa yang mencukupi adalah masing-masing orang diberi satu setel pakaian.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Sa’id ibnul Musayyab, bahwa cukup dengan kain sorban yang dililitkan di kepala atau baju ‘abayah yang dipakai sebagai baju luar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Asim Al-Ahwal, dari Ibnu Sirin, dari Abu Musa, bahwa ia pernah mengucapkan sumpah atas sesuatu (lalu ia melanggarnya), maka ia memberi pakaian berupa satu setel pakaian (untuk tiap orang miskin) buatan Bahrain.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Ma’la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Muqatil ibnu Sulaiman, dari Abu Usman, dari Abu Iyad, dari Aisyah, dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman Allah Swt.:
au kiswatuHum (“atau memberi pakaian kepada mereka.”) (Al Maidah: 89)
Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Baju ‘abayah untuk tiap orang miskin.” (Hadis ini berpredikat garib.)
Firman Allah Swt.: au tahriiru raqabatin (“atau memerdekakan seorang budak.”) (Al-Maidah: 89)
Imam Abu Hanifah menyimpulkan makna mutlak dari ayat ini. Untuk itu, ia mengatakan bahwa dianggap cukup memerdekakan budak yang kafir, sebagaimana dianggap cukup memerdekakan budak yang mukmin.
Imam Syafii dan lain-lainnya mengatakan, diharuskan memerdekakan seorang budak yang mukmin. Imam Syafii menyimpulkan ikatan mukmin ini dari kifarat membunuh, karena adanya kesamaan dalam hal yang mewajibkan memerdekakan budak, sekalipun latar belakangnya berbeda.
Disimpulkan pula dari hadis Mu’awiyah ibnul Hakam As Sulami yang ada di dalam kitab Muwatta’ Imam Malik, Musnad Imam Syafii, dan Sahih Muslim. Di dalamnya disebutkan Mu’awiyah terkena suatu sanksi yang mengharuskan dia memerdekakan seorang budak, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dengan membawa seorang budak perempuan berkulit hitam, maka Rasulullah Saw. bertanya kepadanya:
“Di manakah Allah? “la menjawab, “Di atas.” Nabi Saw. bertanya, “Siapakah aku ini?” la menjawab, “Utusan Allah. ” Rasulullah Saw. bersabda, “Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah seorang yang mukmin.”
Demikianlah tiga perkara dalam masalah kifarat sumpah; mana saja di antaranya yang dilakukan oleh si pelanggar sumpah, dinilai cukup menurut kesepakatan semuanya. Sanksi ini dimulai dengan yang paling mudah, memberi makan lebih mudah daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih mudah daripada memerdekakan budak. Dalam hal ini sanksi menaik, dari yang mudah sampai yang berat.
Dan jika orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga perkara tersebut, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan puasa selama tiga hari, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman yang selanjutnya, yaitu:
Fa mal lam yajid fashiyaamu tsalaatsati ayyaam (“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya puasa selama tiga hari.”) (AlMaidah: 89)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair dan Al-Hasan Al Basri. Mereka mengatakan bahwa barang siapa yang memiliki tiga dirham, dia harus memberi makan; dan jika ia tidak memilikinya, maka ia harus puasa (sebagai kifarat sumpahnya ).
Ibnu Jarir menceritakan pendapat sebagian ahli fiqih masanya, bahwa orang yang tidak mempunyai lebihan dari modal yang dipakainya untuk keperluan penghidupannya diperbolehkan melakukan puasa sebagai kifarat sumpahnya. Orang yang tidak mempunyai lebihan dari modal itu dalam jumlah yang cukup diperbolehkan pula melakukan puasa untuk membayar kifarat sumpahnya.
Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang diperbolehkan melakukan puasa itu adalah orang yang tidak mempunyai lebihan dari penghidupan untuk dirinya dan keluarganya pada hari itu dalam juml ah yang cukup untuk menutupi kifarat sumpahnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah apakah puasa itu wajib dilakukan berturut-turut ataukah hanya sunat, dan dianggap cukupkah melakukannya secara terpisah-pisah?
Ada dua pendapat mengenainya, salah satunya mengatakan tidak wajib berturut-turut. Hal ini disebutkan oleh imam syafi’i dalam kitab al-Iman. Dan hal ini merupakan pendapat Imam Malik, berdasarkan kepada keumuman firman Allah: fashiyaamu tsalaatsati ayyaamin (“Maka kafaratnya puasa selama tiga hari.”) yaitu mencakup puas yang dilakukan secara berturut-turut dan mencakup pula secara berselang-seling, seperti halnya pada qadla’ puasa Ramadlan, sebagaimana firman-Nya: fa ‘iddatum min ayyaamin ukhara (“Maka [wajib baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”)
Di tempat yang lain dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i menetapkan keharusan mengerjakan puasa itu berturut-turut, sebagaimana halnya dengan pendapat para penganut madzhab Hanafi dan madzhab Hambali, karena telah diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan yang lainnya, bahwa mereka membacanya: fashiyaamu tsalaatsati ayyaamim mutataabi’aatin (“Maka berpuasalah tiga hari secara berturut-turut.”)
Firman Allah: dzaalika kaffaaratun aimaanikum idzaa halaftum (“Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar].”) yakni inilah kafarat sumpah yang disyariatkan. Wah fadhuu aimaanakum (“Dan jagalah sumpahmu.”) Ibnu Jarir berkata, “Artinya, janganlah kalian meninggalkan sumpah-sumpah kalian ini tanpa adanya kafarat. Kadzaalika yubayyinullaaHu lakum aayaatiHi (“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya.”) maksudnya, menjelaskan dan menafsirkannya. La’allakum tasykuruun (“Agar kamu bersyukur [kepada-Nya]”)
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top