Tuesday, June 12, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 6 (5)

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 6 (5)

10DES
Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 6“6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Maa-idah: 6)
Banyak di antara ulama salaf yang berpendapat mengenai firman-Nya, idzaa qumtum ilash shalaati (“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat.”) maksudnya adalah “sedangkan kalian dalam keadaan berhadats.” Adapun ulama lain berpendapat: “[yaitu] apabila kalian bangun tidur dan hendak mengerjakan shalat.” Kedua pendapat ini berdekatan. Pendapat lain mengatakan: “Maknanya adalah lebih umum dari itu semua. ayat ini memerintahkan untuk berwudlu ketika hendak shalat, tetapi hal itu adalah wajib bagi orang yang berhadats, dan disukai [sunnah] bagi orang yang suci [dari hadats].” Ada juga yang mengatakan: “Perintah wudlu untuk setiap kali shalat adalah wajib pada masa permulaan Islam, kemudian hal itu dihapus [dinasakh].”
Imam Ahmad mengatakan, dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: “Rasulullah saw. berwudlu pada setiap shalat. Setelah peristiwa penaklukan Makkah, beliau saw. berwudlu dengan mengusap sepatunya, serta mengerjakan beberapa shalat dengan satu wudlu. Kemudian ‘Umar berkata: ‘Ya Rasulallah, sesungguhnya engkau mengerjakan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan.’ Maka beliau pun bersabda: ‘Wahai ‘Umar, sesungguhnya aku sengaja melakukan hal itu.’”
Demikian pula hadits yang senada diriwayatkan oleh Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan.
Mengenai firman-Nya: faghsiluu wujuuHakum (“Maka basuhlah mukamu.”) sekelompok ulama telah menjadikan firman Allah sebagai berikut: idzaa qumtum ilash shalaati faghsiluu wujuuHakum (“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat. Maka basuhlah mukamu.”) sebagai diwajibkannya niat dalam berwudlu. Karena maksud ayat tersebut adalah: idzaa qumtum ilash shalaati faghsiluu wujuuHakum (“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat. Maka basuhlah mukamu.”) untuk kepentingan shalat. Sebagaimana bangsa Arab mengatakan: “Jika kamu bertemu seorang Amir [raja], maka berdirilah.” Maksudnya adalah berdirilah untuknya. Dan terdapat [sebuah hadits] di dalam ash-Shahihain, Rasulullah saw. bersabda: “Semua perbuatan itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang diniatkannya.”
Disunnahkan sebelum membasuh wajah untuk menyebut nama Allah membaca basmalah terlebih dahulu [yaitu: bismillaaH]. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalan sekelompok shahabat, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Tidak ada wudlu bagi yang tidak membaca basmalah.”
Selanjutnya disunnahkan pula membersihkan kedua telapak tangan sebelum memasukkannnya ke dalam bejana. Hal itu lebih ditekankan lagi saat bangun tidur. Sebagaimana ditegaskan dalam ash-shahihain, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia menyucikan sebanyak tiga kali. Karena salah seorang di antara kalian tidak mengetahui di mana tangannya berada [ketika tidur].”
Menurut para fuqaha, batas [panjang] wajah itu dibatasi dari tempat tumbuhnya rambut, -dalam hal ini tidak dianggap apabila terdapat kebotakan dan juga penutup kepala, – sampai ujung janggut dan dagu. Adapun lebarnya berawal dari telinga satu ke telinga lainnya. Mengenai bagian terbelahnya rambut pada sisi kening dan pada bagian tempat tumbuhnya rambut-rambut halus, apakah termasuk hitungan kepala atau wajah; dan mengenai sampai dimanakah orang yang berjanggut panjang itu harus membasuh janggutnya, terdapat dua pendapat. Salah satunya menyatakan bahwa ia wajib membasuhnya dengan air karena ia termasuk bagian dari wajah.
Mujahid mengatakan: “Janggut itu termasuk bagian dari wajah. Tidakkah engkau mendengar ungkapan bangsa Arab tentang seorang pemuda, ‘Jika sudah tumbuh janggutnya, mulailah terlihat wajah.’”
Disunnahkan pula bagi orang yang berwudlu untuk menyela-nyela janggutnya jika ia berjanggut lebar. Imam Ahmad mengatakan dari Syaqiq, ia berkata, “Aku pernah melihat Utsman berwudlu –kemudian ia menyebutkan [kelengkapan] hadits. –ia mengatakan, ‘Lalu Utsman menyela-nyela janggutnya sebanyak tiga kali ketika ia membasuh wajahnya. Setelah itu ia berkata: ‘Aku juga pernah melihat Rasulullah saw. melakukan apa yang aku lakukan itu, dan kalian telah melihatku melakukannya.’”
[Demikian hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits ‘Abdur Razzaq. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits tersebut hasan shahih.” Dan hadits tersebut juga dihasankan oleh al-Bukhari).
Terdapat riwayat dari Nabi saw. beberapa jalan dalam kitab-kitab shahih dan juga kitab-kitab hadits lainnya bahwa jika beliau berwudlu, beliau senantiasa berkumur-kumur dan ber-istinsyaq [memasukkan air ke dalam hidung]. Lalu para imam berbeda pendapat tentang hal itu, apakah kedua hal tersebut [berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung] merupakan dua hal yang wajib dalam wudlu dan mandi, sebagaimana yang menjadi pendapat menjadi madzhab Ahmad bin Hanbal; ataukah keduanya itu bersifat sunnah, sebagaimana menjadi pendapat Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan para penyusun kitab as-sunan, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqiy bahwa Rasulullah saw. berkata kepada orang yang shalatnya buruk: “Berwudlulah seperti yang diperintahkan oleh Allah kepadamu !”
Atau kedua hal tersebut wajib dalam mandi saja dan tidak wajib dalam wudlu, sebagaimana yang menjadi pendapat [madzhab] Abu Hanifah. Atau wajib hanya istinsyaq saja dan bukan berkumur-kumur, sebagaimana yang menjadi sebuah riwayat dari Imam Ahmad. Hal itu didasarkan pada hadits yang ditegaskan dalam ash-Shahihain [shahih al-Bukhari dan Muslim] bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang berwudlu, hendaklah ia ber-istinsyaq.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Jika salah seorang di antara kalian berwudlu, hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya, lalu menghirupnya dengan kuat.”
Al-intitsar artinya “Menghirup air ke hidung dengan kuat [kemudian menghembuskannya kembali].”
Maksud firman Allah: wa aidiyakum ilal maraafiqi (“Dan tanganmu sampai dengan siku.”) yakni termasuk siku. Sebagaimana difirmankan Allah [yang sama pengertiannya]: wa laa ta’kuluu anwaalaHum ilaa amwaalikum (“Dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.”) (an-Nisaa’: 2)
Disunnahkan juga bagi orang yang berwudlu untuk membasuh pangkal lengan atas, berikut dengan dua lengannya. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Nu’aim al-Mujmir, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya umatku pada hari kiamat kelak akan diseru dalam keadaan terdapat tanda putih [pada dahi-dahi mereka, kedua lengan dan kaki mereka] dari bekas wudlu. Barangsiapa di antara kalian mampu melebarkan tanda putih tersebut, hendaklah ia melakukannya.’”
Abu Hurairah ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Perhiasan seorang Mukmin [di surga kelak] akan mencapai bagian yang terkena air wudlunya.”
Mengenai firman-Nya: wam sahuu biru-uusikum (“Dan sapulah kepalamu”) para ulama berbeda pendapat mengenai huruf ba’, apakah ia sebagai tambahan saja, dan itulah yang paling jelas; ataukah untuk menyatakan sebagian [kepala], dan dalam hal yang terakhir ini masih memerlukan pertimbangan. Ada dua perkataan, di antara ulama Ushulul Fiqih ada yang berkata: “Hal ini adalah bersifat mujmal [global], maka hendaklah ia melihat penjelasannya di dalam sunnah.”
Di dalam ash-Shahihain telah ditegaskan, melalui jalan Malik, dari ‘Amr bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya bahwa ada seseorang yang berkata kepada ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, yaitu kakek ‘Amr bin Yahya, yang merupakan salah seorang shahabat Nabi saw.: “Apakah engkau bisa memperlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah saw. berwudlu?” “Ya, bisa.” Jawab ‘Abdullah bin Zaid. Lalu ia minta diambilkan air wudlu, lalu ia menuangkannya kepada kedua tangannya, dan membasuh keduanya sebanyak dua kali – dua kali, selanjutnya ia berkumur dan ber-istinsyaq [menghirup air ke hidung] sebanyak tiga kali lalu membasuh mukanya sebanyak tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya sampai ke sikunya sebanyak dua kali. Setelah itu ia menyapu [mengusap] kepalanya dengan kedua tangannya dari depan ke belakang kemudian menariknya dari belakang ke depan, yaitu dimulai dari bagian depan kepala sampai pada tengkuknya kemudian ia mengembalikan kedua tangannya itu ke tempat dimana ia memulainya, setelah itu ia membasuh kedua kakinya.
Disebutkan dalam hadits ‘Abdu Khair, dari ‘Ali mengenai sifat wudlu Rasulullah saw. sebagaimana hadits di atas. Dan hal yang sama juga diriwayatkan Abu Dawud dari Mu’awiyah dan al-Miqdad bin Ma’dikarb mengenai sifat wudlu Rasulullah saw. Di dalam hadits-hadits tersebut terdapat dalil bagi orang yang mewajibkan penyapuan [pengusapan] seluruh bagian kepala, sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Apalagi bagi pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut berfungsi memberikan penjelasan atas al-Qur’an yang bersifat global dalam al-Qur’an.
Para penganut madzhab Hanafi berpendapat mewajibkan pembasuhan seperempat bagian kepala, kira-kira sampai ubun-ubun. Adapun pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa yang wajib dibasuh itu seukuran bagian yang disebut “pengusapan”, tanpa pemberian batas tertentu, bahkan jika seseorang mengusap sedikit bagian rambut kepalanya, maka hal itu sudah memadai baginya. Kedua madzab tersebut melandasinya dengan dalil sebuah hadits Mughirah bin Syu’bah, ia menceritakan: “Nabi saw. pernah terlambat dan aku pun terlambat bersama beliau. Setelah memenuhi hajatnya, beliau berkata: ‘Apakah engkau punya air?’ Kemudian aku membawakan untuk beliau air wudlu, lalu beliau mencuci kedua telapak tangan dan wajahnya. Selanjutnya beliau membuka kain pada lengannya hingga lengan baju jubahnya itu menyempit sehingga beliau mengelauarkan tangan beliau dari bawah jubah lalu meletakkan jubah beliau di atas pundaknya. Setelah itu beliau membasuh kedua lengan beliau, kemudian mengusap ubun-ubun beliau, bagian atas sorban dan kedua khuf [sepatu yang menutupi sampai mata kaki] beliau. Kemudian disebutkan kelengkapan hadits tersebut. Hadits ini terdapat dalam shahih Muslim dan juga kitab-kitab lainnya.
Para pengikut Imam Ahmad berkata kepada pengikut madzhab Hanafi dan Syafi’i: “Sebenarnya Rasulullah saw. hanya mengusap ubun-ubun karena beliau menyempurnakan pembasuhan bagian kepala lainnya dengan mengusap sorban. Dan kami pun berpendapat bahwa usapan sorban itu untuk usapan seluruh kepala, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits yang menyatakan bahwa beliau mengusap sorban dengan khuf [terompah], pengertian inilah yang lebih utama, dan kalian tidak dapat menunjukkan dalil dari hadits tersebut yang menunjukkan diperbolehkannya pembasuhan hanya bagian ubun-ubun atau bagian kepala saja tanpa adanya penyempurnaan pada bagian atas sorban. wallaaHu a’lam.
Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang apakah pengulangan pengusapan kepala sampai tiga kali itu disunnahkan, sebagaimana yang populer dari madzhab Syafi’i ? sesungguhnya yang disunnahkan adalah pengusapan sekali pada bagian kepala, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, dan orang-orang yang mengikutinya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
‘Abdur Razzaq mengatakan dari Humran bin Aban, ia berkata: “Aku pernah melihat ‘Utsman bin ‘Affan berwudlu, kemudian ia menuangkan air pada kedua tangannya [telapak tangannya], lalu mencucinya tiga kali, setelah itu ia berkumur dan ber-istinsyaq, kemudian membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, selanjutnya membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, lalu membasuh tangan kirinya seperti pada tangan kanannya. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanan tiga kali, kemudian kaki kirinya juga tiga kali. Lalu ‘Utsman berkata: ‘Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw. berwudlu seperti wudluku ini. Lalu beliau saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang berwudlu seperti wudluku ini, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan tidak memikirkan hal lain [khusyu’] pada kedua rakaat tersebut, maka akan diberikan ampunan baginya atas dosanya yang telah berlalu.’”
Hadit ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain, melalui jalan az-Zuhri)
Adapun dalam kitab Sunan Abi Dawud juga disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Utsman mengenai sifat wudlu Nabi saw. dan pembasuhan kepala satu kali. Hal yang sama juga diperoleh dari riwayat ‘Abdu Khair dari ‘Ali. Dan orang-orang yang menganggap pengulangan pembasuhan kepala itu sunnah berdasarkan pada pengertian umum dari hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya, Shahih Muslim, dari ‘Utsman ra, bahwa Rasulullah saw. pernah berwudlu dengan cara tiga kali- tiga kali. Kemudian orang-orang mengatakan: “Hadits-hadits ‘Utsman yang disebutkan dalam kitab-kitab ash-Shahih menunjukkan bahwa Rasulullah saw. mengusap kepala hanya satu kali saja.”
Firman Allah: wa arjulakum (“Dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki”) dibaca: wa arjulakum ilal ka’bain, dengan dinasakhkan [diberikan harakat fathah pada huruf laam] karena di-‘athafkan pada kata: faghsiluu wujuuHakum wa aidiyakum.
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia membacanya: wa arjulakum. Ia berkata: “Kata itu kembali kepada kata alqhuslu.” Hal yang sama juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Urwah, Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, az-Zuhri, dan Ibrahim at-Taimi.
Yang demikian itu merupakan qira’ah [bacaan] yang jelas menunjukkan wajibnya membasuh kaki, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama salaf. Bertolak dari hal tersebut, ada ulama yang mewajibkan tertib dalam berwudlu, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab jumhur ulama. Pendapat itu berbeda dengan Abu Hanifah yang tidak mensyaratkan tertib dalam berwudlu, bahkan menurutnya jika ada orang yang membasuh kaki terlebih dahulu, lalu membasuh kepala, lalu membasuh kedua tangannya dan setelah itu membasuh wajahnya, maka yang demikian itu sudah cukup wudlu. Karena ayat ini memerintahkan untuk membasuh anggota badan itu, sedangkan huruf “wawu” dalam ayat tersebut tidak menunjukkan kepada adanya tertib.
Dalam menanggapi pendapat Abu Hanifah tersebut, jumhur ulama telah menempuh beberapa jalan. Di antara mereka ada yang mengatakan: “Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib membasuh wajah sebagai permulaan langkah mengerjakan shalat karena hal tersebut diperintahkan melalui fa’ ta’qib [huruf fa’ yang berfungsi sebagai ungkapan untuk menjelaskan berikutnya] yan menunjukkan adanya tertib wudlu, dan tidak seorangpun yang mengharuskan pembasuhan wajah terlebih dahulu, lalu tidak ada keharusan tertib setelah itu, akan tetapi yang ada hanya ada dua pendapat, salah satunya mengharuskan adanya tertib secara mutlak.
Sementara ayat di atas menunjukkan keharusan membasuh wajah sebagai permulaan wudlu, dan setelah membasuh wajah diharuskan adanya tertib wudlu secara ijma’.”
Dan diantara mereka ada yang mengatakan: “Kami tidak sependapat jika “wawu” dikatakan tidak menunjukkan adanya tertib wudlu sebagaimana menjadi pendapat sekelompok ahli ilmu nahwu dan ahli bahasa serta sebagian fuqaha. Kemudian perlu kami katakan, meskipun “wawu” tidak menunjukkan adanya tertib secara lughawi, namun secara syari’at ia memperlihatkan adanya hal-hal yang mana tertib tersebut merupakan keharusan. Yang menjadi dalil atas hal itu adalah setelah berthawaf di Baitullah, Rasulullah saw. keluar dari pintu Shafa dengan membaca firman Allah: innash shafaa wal marwata min sya’aa-irillaaHi (“Sesungguhnya, Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah.” (al-Baqarah: 158) kemudian beliau saw. bersabda: “Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya.”
Demikian menurut lafadz Imam Muslim. Adapun menurut lafadz Imam an-Nasa’i berbunyi: “Mulailah dengan apa yang Allah memulai dengannya.”
Yang terakhir ini merupakan lafadz perintah dan isnadnya shahih. Hal ini menunjukkan keharusan memulai dengan sesuatu yang Allah memulai dengannya. Yang demikian itu merupakan makna kedudukan ayat tersebut yang menunjukkan adanya tertib wudlu menurut syari’at. wallaHu a’lam.
Di antara mereka ada juga yang mengatakan: “Setelah Allah Ta’ala menyebutkan sifat tersebut dalam ayat di atas menurut tertib ini, lalu hal yang sama [sebanding] dipisahkan; anggota yang diusap dimasukkan di antara dua anggota yang dibasuh, hal ini menunjukkan keinginan adanya tertib wudlu.”
Di antara mereka ada yang mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwasannya telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya melalui jalan ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. berwudlu dengan membasuh dan mengusap setiap bagian hanya satu kali saja, lalu beliau saw. bersabda: ‘Ini adalah wudlu yang Allah tidak menerima suatu shalat, kecuali dengannya.’”
Mereka mengatakan: “Wudlu tersebut tidak keluar dari [dua hal], yaitu kemungkinan beliau berwudlu secara tertib dan berurutan, maka menjadi wajiblah tertib tersebut; atau beliau berwudlu secara tidak berurutan, maka tidak ada kewajiban berwudlu secara berurutan, -akan tetapi tidak seorang pun yang berpendapat demikian itu, -maka wajiblah melakukannya secara tertib sebagaimana yang telah kami sebutkan.”
Adapun qira’at lainnya, yaitu qira’at yang membaca: wa arjulikum; dengan memberikan harakat kasrah pada laam, maka yang demikian itu telah dijadikan dalil oleh kaum Syi’ah untuk pendapat mereka yang mengharuskan pengusapan kedua kaki. Karena menurut mereka, kata “wa arjulikum” itu merupakan ‘athaf [mengikuti] bagi kalimat “wamsahuu biru-uusikum” [usaplah kepalamu].
Telah diriwayatkan dari sekelompok ulama salaf beberapa riwayat yang sangat ganjil sekali yang memberikan gambaran adanya pendapat “mengusap kedua kaki”, namun maksud riwayat-riwayat tersebut dapat diartikan mencuci secara ringan. Hal itu didasarkan pada sebuah hadits yang akan dikemukakan nanti, dalam pembahasan tentang kewajiban membasuh kedua kaki.
Diberikannya harakat kasrah pada qira’at “wa arjulikum” ini sebenarnya didasarkan pada aspek kedekatan dan kesesuaian ungkapan seperti yang ada dalam ungkapan masyarakat Arab, “juhru dlabbi kharib”. Juga seperti firman Allah Ta’ala: ‘aaliyaHum tsiyaabu sundusin khudl-ruw wa istabraq (“Mereka memakai pakaian sutera halus yang berwarna hijau dan sutera tebal.”)(al-Insaan: 21) dan ungkapan seperti itu sudah meluas dan sering dipakai dalam bahasa Arab.
Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa kata itu mengandung arti mengusap kedua kaki jika mengenakan khuff. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Abu ‘Abdullah asy-Syafi’i.
Di antara mereka ada juga yang mengatakan: “Kata itu menunjukkan pengusapan kedua kaki, tetapi yang dimaksudkan hanyalah pembasuhan ringan, sebagaimana disebutkan oleh as-Sunnah [hadits].” Bagaimanapun yang jelas, pembasuhan kedua kaki merupakan suatu hal yang wajib, hal itu didasarkan pada ayat tersebut, dan juga beberapa hadits yang akan dikemukakan nanti.
Diantara yang paling baik digunakan sebagai dalil atas pendapat yang mengartikan al-mashu [pengusapan] dengan pembasuhan ringan adalah apa yang diriwayatkan al-Hafidz Baihaqi, dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia pernah mengerjakan shalat dhuhur. Setelah shalat ia duduk untuk melayani keperluan orang-orang dari penduduk Kufah sampai waktu shalat ‘Ashar tiba, kemudian ia diberi satu gayung air, lalu ia mengambil sepenuh kedua telapak tangannya, selanjutnya dengan air itu ia mengusap wajah, tangan, kepala dan kedua kakinya. Setelah itu ia berdiri dan meminum sisa air itu dalam keadaaan berdiri, kemudian berkata: “Sesungguhnya orang-orang enggan meminum sambil berdiri, padahal Rasulullah saw. pernah melakukan apa yang aku lakukan ini.” Lebih lanjut ‘Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Demikian itulah wudlu orang yang tidak berhadats.” (Sebagian makna hadits tersebut juga diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Adam).
Dan siapa saja dari kaum Syi’ah yang telah mewajibkan pengusapan kedua kaki seperti mengusap sepatu khuff, maka benar-benar telah sesat dan menyesatkan. Demikian juga orang yang telah membolehkan hanya dengan mengusap kedua kaki dan membolehkan pula membasuh keduanya, maka orang ini juga salah. Adapun orang yang menukil dari Abu Ja’far bin Jarir bahwa ia mewajibkan pembasuhan kedua kaki dengan berdasarkan kepada beberapa hadits, dan mwajibkan pembasuhan keduanya dengan berdasarkan pada ayat tersebut di atas, maka ia belum men-tahqiq [meneliti] madzhab beliau [Ibnu Jarir] dalam masalah tersebut. Sebenarnya, ungkapan dalam tafsirnya menunjukkan bahwa ia hendak mewajibkan menggosok-gosok kedua kaki saja, tanpa anggota wudlu lainnya. Karena, keduanya dekat dengan tanah, debu, dan lain-lainnya. Ia mewajibkan penggosokan itu, agar segala kotoran hilang. Namun ia mengungkapkan penggosokan itu tidak memperdalam ungkapannya itu meyakini bahwa ia menghendaki keharusan penyatuan antara pembasuhan dan pengusapan kedua kaki, maka orang [yang dangkal pemahamannya] itu pun menceritakan hal tersebut seperti itu.
Oleh karena itu, banyak di antara para fuqaha’ pun mendapat kesulitan, sementara beliau sendiri [Ibnu Jarir] termaafkan karena beliau tidak bermaksud untuk menggabungkan antara mengusap dan mencuci. Sebenarnya, pemaduan antara al-mashu [mengusap] dengan al-ghuslu [membasuh] sama sekali tidak mempunyai makna, baik pengusapan itu didahulukan atau diakhirkan. Dengan demikian, apa yang dimaksud oleh beliau adalah sebagaimana yang Ibnu katsir sebutkan di atas. wallaaHu a’lam.
Selanjutnya, Ibnu Katsir memperhatikan ungkapannya, ternyata ia berusaha menyatukan antara dua qira’at dalam firman Allah: wa arjulikum; guna mengartikan al-mashu dengan penggosokan, dan dibaca “wa arjulakum” dengan pengertian pembasuhan. Setelah itu, ia mewajibkan berpegang pada penyatuan dua hal tersebut.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya tentang hadits ‘Amirul Mukminin ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib, juga Ibnu ‘Abbas, Mu’awiyah, ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim dan Miqdad bin Ma’dikarib bahwa Rasulullah saw. pernah membasuh kedua kakinya dalam wudlu beliau, baik sekali, dua kali, atau tiga kali. Perbedaan jumlah pembasuhan itu sesuai dengan perbedaan riwayat mereka.
Adapun dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya disebutkan bahwa Rasulullah saw. berwudlu, lalu membasuh kedua kakinya kemudian bersabda: “Ini adalah wudlu yang Allah tidak menerima suatu shalat, kecuali dengannya.”
Disebutkan dalam ash-Shahihain riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia mengatakan: “Dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan, Rasulullah saw. tertinggal oleh kami. Kemudian beliau berhasil menyusul kami dan tibalah waktu shalat ‘Ashar, sementara kami sedang berwudlu dengan cara mengusap kaki kami, maka beliau berseru dengan suara keras: ‘Sempurnakanlah wudlu. Celakalah tumit-tumit [yang tidak terkena air] dari api neraka !”
Firman Allah yang artinya: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (al-Maa-idah: 6)
Mengenai semua itu telah dikemukakan dalam penafsiran surah an-Nisaa’ ayat 43. Tetapi mengenai hal ini Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang khusus tentang ayat ini. Yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia bercerita: “Kalungku terjatuh di padang pasir ketika hampir memasuki kota Madinah. Lalu, Nabi saw. menghentikan kendaraannya dan turun, kemudian beliau meletakkan kepalanya di pangkuanku dalam keadaan tertidur. Tiba-tiba Abu Bakar datang dan memukulku dengan keras seraya berkata: ‘Kamu telah menahan orang-orang di sini karena kalung itu.’ Maka pada saat itu aku berharap mati karena kedudukan Rasulullah saw. dariku, dan hal itu menyakitkanku. Kemudian Rasulullah saw. dan waktu shalat shubuh pun telah tiba. Kemudian beliau mencari air, tetapi tidak menemukannya. Maka turunlah ayat yang artinya: ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu.’ (al-Maa-idah: 6) hingga akhir ayat ini. Maka, Usaid bin al-Hudhair pun mengatakan: ‘Sungguh, Allah telah memberkati manusia karena diri kalian, wahai keluarga Abu Bakar. Kalian tidak lain merupakan berkah bagi mereka.’”
Firman-Nya: maa yuriidullaaHu liyaj’ala ‘alaikum min haraj (“Allah tidak hendak menyulitkan kamu”) maksudnya, oleh karena itu Allah memberikan kemudahan dan tidak memberikan kesulitan kepada kalian, justru Allah membolehkan kalian bertayamum ketika kalian sedang sakit dan ketika tidak ada air, sebagai kelonggaran sekaligus rahmat bagi kalian. Allah menjadikan tanah berfungsi seperti air, kecuali dalam beberapa sisi, seperti yang dijelaskan dan sebagaimana telah menjadi ketetapan dalam kitab al-Ahkamul Kabir.
Firman Allah: wa lakin yuriidu liyudhaHHirakum wa liyutimma ni’mataHuu ‘alaikum la ‘allakum tasykuruun (“Tetapi Allah hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.”) maksudnya agar kalian mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan kepada kalian dalam apa-apa yang telah disyariatkan-Nya kepada kalian, berupa kelonggaran, kelembutan, rahmat, kemudahan, dan kelapangan. As-Sunnah sendiri telah menganjurkan untuk berdoa setelah berwudlu agar pelakunya termasuk golongan orang-orang yang membersihkan diri dan termasuk orang-orang yang menjalankan ayat tersebut. Sebagaimana telah diriwayatkan Imam Ahmad, Imam Muslim, dan para penyusun kitab as-Sunan, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Kami pernah bertugas menggembala unta. Kemudian tiba giliranku dan aku kembalikan ke kandang pada waktu senja. Kudapati Rasulullah saw. tengah berdiri berbicara dengan orang-orang, aku sempat mendengar beliau bersabda: ‘Tidaklah seorang Muslim berwudlu, lalu ia melakukan wudlu itu dengan sebaik-baiknya, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat, dengan mengharapkan sepenuh hati dan wajahnya [dirinya], melainkan diwajibkan baginya surga.’ Lalu aku katakan, ‘Betapa bagusnya hal itu.’ Tiba-tiba ada orang di hadapanku yang mengatakan, ‘Sabdanya yang sebelumnya lebih baik dari ini.’ Kemudian aku melihat dan ternyata ia adalah ‘Umar ra. lalu ia berkata: ‘Sesungguhnya, aku melihatmu baru datang tadi. Rasulullah bersabda: ‘Tiada seorang pun di antara kalian yang berwudlu, lalu ia melakukannya dengan baik –atau: seraya menyempurnakan- wudlu tersebut [dan setelah itu] berdoa: asyHadu allaa ilaaHa illallaaHu wa anna muhammadan ‘abduHu wa rasuuluHu; melainkan dibukakan baginya delapan pintu surga, dan ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia sukai.’” (Demikian hadits menurut lafadz Imam Muslim)
Imam Malik menceritakan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seorang hamba Muslim –atau Mukmin- berwudlu, lalu ia membasuh wajahnya, akan keluar setiap kesalahan dari wajahnya yang dilihat dengan kedua matanya, bersamaan dengan air atau bersamaan dengan tetesan air terakhir. Apabila ia membasuh kedua tangannya, akan keluar dari kedua tangannya setiap kesalahan yang dilakukan oleh kedua tangannya bersamaan dengan air atau tetesan air yang terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya, akan keluar dari keduanya setiap kesalahan yang dijalani oleh kakinya bersamaan dengan air atau tetesan air yang terakhir sehingga ia akan keluar dalam keadaan benar-benar bersih dari dosa.” (HR Muslim)
Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Abu Malik al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bersuci itu merupakan setengah dari iman; [ucapan] alhamdulillaH memenuhi timbangan; [ucapan] subhaanallaaH dan alhamdulillaH, keduanya memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi; shalat itu merupakan nur [cahaya]; sedekah merupakan bukti yang nyata; kesabaran merupakan pelita; dan al-Qur’an merupakan hujjah yang dapat mendukungmu atau menyalahkanmu. Setiap orang tengah berjalan untuk menjual dirinya, apakah mereka akan memerdekakan dirinya [dari api neraka] atau membinasakannya.”
Masih dalam Shahih Muslim, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda: ‘Allah tidak akan menerima sedekah dari hasil penggelapan/berkhianat, dan tidak pula menerima shalat tanpa bersuci.’”
Bersambung ke bagian 6

No comments:

Post a Comment

 
back to top