Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 114-115
28FEB
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. 4:114) Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. 4:115).” (an-Nisaa’: 114-115)
Allah berfirman: laa khaira fii katsiirim min najwaaHum (“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka”.) Yaitu pembicaraan manusia; illaa man amara bi shadaqatin au ma’ruufin au ishlaahim bainan naasi (“Kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia.”) Yaitu, kecuali bisikan orang yang berkata demikian.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ya’qub menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepada kami, Shalih bin Kaisan menceritakan kepada kami, Muhammad bin Muslim bin `Ubaidillah bin Syihab menceritakan kepada kami, bahwa Humaid bin `Abdurrahman bin `Auf mengabarkan kepadanya bahwa ibunya, Ummu Kultsum binti ‘Uqbah, mengabarkan kepadanya bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bukanlah pendusta, orang yang mendamaikan antara manusia untuk menumbuhkan kebaikan atau berkata baik.”
Dia (Ummu Kultsum binti ‘Uqbah) berkata: “Aku belum pernah mendengar suatu perkataan manusia yang diberi rukhshah (keringanan), kecuali dalam tiga hal; Dalam peperangan, mendamaikan antara manusia dan perkataan seorang suami kepada isterinya, serta perkataan seorang isteri kepada suaminya.” Imam Ahmad berkata: “Ummu Kultsum binti ‘Uqbah adalah termasuk wanita-wanita berhijrah, yang berbai’at kepada Rasulullah saw. (HR Al-jama’ah kecuali Ibnu Majah).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abud Darda’, is berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Maukah kalian kuberitahu tentang sesuatu yang lebih utama daripada puasa, shalat, dan shadaqah?’ Mereka menjawab: ‘Tentu, ya Rasulullah!’ Beliau berkata: ‘Mendamaikan antara manusia.’ Beliau bersabda: ‘Sedangkan merusaknya itu adalah pencukur.”‘ (Yang mencukur agama)-” Abu Dawud dan at-Tirmidzi pun meriwayatkannya dan ia (at-Tirmidzi) berkata: “Hasan shahih.”
Wa may yaf’al dzaalikabtighaa-a mardlaatillaaHi (“Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari ridha Allah”) yaitu ikhlas dalam mengamalkannya serta mengharapkan pahala dari Allah.”) fasaufa nu’tiiHi ajran ‘adhiiman (“Kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”) Yaitu pahala yang melimpah, banyak dan luas.
Dan firman-Nya: wa may yusyaaqiqir rasuula mim ba’di maa tabayyanul Hudaa (“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.”) yaitu barangsiapa yang menempuh bukan jalan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah, maka berarti berada dalam satu sisi, sedangkan syari’at berada pada sisi lain. Hal itu dilakukannya dengan sengaja setelah jelas serta nyata dan tegasnya kebenaran.
Firman-Nya: wat tabi’ ghaira sabiilil mu’miniin (“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman.”) (Bagian ayat) ini saling berkaitan dengan yang pertama tadi. Akan tetapi, bentuk penyimpangan itu terkadang terhadap nash dari pemberi syari’at dan terkadang terhadap ijma’ [kesepakatan] umat Muhammad yang telah diketahuinya secara pasti. Karena ayat ini mengandung jaminan untuk kesepakatan mereka yang tidak mungkin salah, sebagai kehormatan bagi mereka dan pengagungan bagi Nabi mereka.
Banyak sekali hadits shahih yang menjelaskan hal tersebut. Dan ayat ini pula yangan sandaran (dasar) oleh Imam asy-Syafi’i, dalam berhujjah, bahwa ijma’ merupakan hujjah yang diharamkan bagi seseorang untuk menyelisihinya, setelah melalui penelitian dan pemikiran panjang. Hal tersebut merupakan istinbath (kesimpulan) yang paling baik dan kuat, sekalipun sebagian ulama,mempersoalkannya dan menganggapnya terlalu jauh.
Untuk itu, Allah mengancam hal tersebut dengan firman-Nya: nuwalliHii maa tawallaa wa nushliHi jaHannama wa saa-at mashiiran (“Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam danjahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.) Yaitu jika ia menempuh jalan ini, niscaya Kami akan balas ia dengan cara menganggap baik dalam dadanya dan menghiasinya sebagai istidraj. Sebagaimana firman Allah:
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka”. (QS. Ash-Shaff: 5).
Dan juga firman-Nya: “Dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam ke-sesatan yang sangat”. (QS. Al-An’aam: 110).
Dan juga firman-Nya: “Dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam ke-sesatan yang sangat”. (QS. Al-An’aam: 110).
Dia menjadikan api Neraka sebagai tempat kembalinya di akhirat. Karena barangsiapa yang keluar dari hidayah, tidak ada jalan lain baginya kecuali jalan menuju ke Neraka pada hari Kiamat kelak, sebagaimana firman-Nya: “(Kepada Malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang dhalim beserta teman sejawat mereka.” (QS. Ash-Shaaffaat:22)
&
No comments:
Post a Comment