Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 59-63

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 59-63

2MAR
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 59-63“Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS. 3:59) (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Rabb-mu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. 3:60) Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan din kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. 3:61) Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Ilah (yang berhaq disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 3:62) Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. 3:63)
Allah swt. berfirman, inna matsala ‘iisaa ‘indallaaHi (“Sesungguhnya misal [penciptaan] ‘Isa di sisi Allah.”) Maksudnya dalam kekuasaan Allah, ketika Dia menciptakan ‘Isa tanpa adanya seorang ayah, kamatsali aadama (“Adalah seperti [penciptaan] Adam.”) Di mana Adam diciptakan dengan tidak melalui seorang ayah maupun ibu, tetapi: khalqaHuu min turaabin tsumma qaala laHuu kun fayakuun (“Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘jadilah, “maka jadilah ia.” Maka Allah yang telah menciptakan Adam tanpa adanya ayah, pasti Dia lebih layak mampu menciptakan ‘Isa, dilihat dari teori kelayakan.
Jika pengakuan terhadap `Isa anak Allah itu dibolehkan, karena ia diciptakan tanpa ayah, maka pengakuan terhadap diri Adam sebagai anak Rabb lebih layak lagi untuk dibolehkan. Sebagaimana diketahui secara sepakat, bahwa pengakuan terhadap diri Adam sebagai anak Rabb adalah bathil, maka pengakuan terhadap `Isa sebagai anak Rabb adalah lebih bathil dan lebih jelas kerusakannya.
Namun Allah ingin memperlihatkan kekuasaan-Nya bagi semua makhluk-Nya, ketika Dia menciptakan Adam tidak melalui seorang laki-laki maupun wanita, dan menciptakan Hawa melalui seorang laki-laki tanpa wanita, serta Dia menciptakan `Isa melalui seorang wanita tanpa laki-laki, sedang Dia menciptakan manusia lainnya melalui laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, Dia berfirman dalam surat Maryam, wa linaj’alaHuu aayatal linnaasi (“Sungguh Kami akan menjadikannya sebagai tanda kebesaran bagi manusia.”) (QS. Maryam: 21)
Sementara di sini, Dia berfirman: alhaqqu mir rabbika falaa takuunanna minal mumtariin (“[Apa yang telah Kami ceritakan] itulah yang benar, yang datang dari Rabb-mu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.”) Maksudnya, itulah ucapan yang benar mengenai diri `Isa; yang tidak ada penyimpangan di dalamnya dan tidak ada pula yang benar selain itu, maka tidak ada hal lain setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.
Selanjutnya Allah memerintahkan Rasulullah untuk bermubahalah dengan siapa yang menentang kebenaran mengenai diri `Isa setelah datangnya penjelasan dengan firman-Nya, faman haajjaaka fiiHi mim ba’di maa jaa-aka minal ‘ilmi faqul ta’aalaw nad’u abnaa-anaa wa abnaa-akum wa nisaa-anaa wa nisaa-akum wa anfusanaa wa anfusakum (“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu [yang meyakinkan kamu], maka katakanlah [kepadanya], Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu.”) Yaitu kami hadirkan mereka pada saat mubahalah (saling melaknat). Tsumma nabtaHil (“Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah.”) Yaitu saling melaknat. Fa naj’al la’natallaaHi ‘alal kaadzibiin (“Maka kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta,”) baik dari kalangan kami maupun kalian.
Sebab turunnya ayat mubahalah ini dan ayat sebelumnya, dari permulaan surat sampai ayat ini adalah, mengenai utusan Najran. Yaitu, ketika orang-orang Nasrani datang, lalu mereka mendebat mengenai diri `Isa dan mereka beranggapan bahwa ia (Isa) sebagai anak Allah dan salah satu sesembahan. Maka Allah menurunkan permulaan surat ini guna membantah mereka, sebagaimana yang disebutkan Imam Muhammad bin Ishaq bin Yasar dan ulama lainnya.
Ibnu Ishaq berkata, dalam kitab Sirahnya yang terkenal, dan juga ulama lainnya: “Utusan orang-orang Nasrani dari Najran yang berjumlah 60 (enam puluh) orang datang kepada Rasulullah dengan menaiki kendaraan. Di antara mereka terdapat 14 (empat belas) orang pemuka mereka dan sebagai tumpuan segala urusan mereka. Mereka itu adalah al-‘Aqib yang bernama Abdul Masih, as-Sayyid yang bernama al-Aiham, Abu Haritsah bin ‘Alqamah saudara Bakar bin Wa’il, Uwais bin al-Harist, Zaid, Qais, Yazid dan kedua puteranya, Khuwailid, ‘Amr, Khalid, ‘Abdullah, Muhsin.
Sedang penanggung jawab mereka ada tiga orang yaitu: Al-‘Aqib, dialah pemimpin rombongan, pencetus ide, dan penentu perundingan, yang mereka tidak bisa memutuskan kecuali atas pendapatnya. Kedua, as-Sayyid, sebagai orang alim, pengatur perjalanan dan tempat singgah mereka. Dan ketiga, Abu Haritsah bin ‘Alqamah, sebagai uskup dan pemimpin kajian mereka, yang aslinya berkebangsaan Arab, berasal dari Bani Bakar bin Wa’il, tetapi ia masuk Nasrani sehingga ia sangat diagungkan dan dimuliakan oleh orang-orang Romawi dan raja-raja mereka. Mereka membangunkan gereja-gereja untuknya serta mengabdikan diri mereka kepadanya karena mereka mengetahui keteguhannya dalam memeluk agama.”
Abu Haritsah bin ‘Alqamah ini sebenarnya telah mengetahui ihwal, sifat, keadaan Rasulullah saw. yang diketahuinya dari kitab-kitab terdahulu, namun ia tetap terus memeluk agama Nasrani, karena ia merasa mendapat penghormatan dan kedudukan dari para pengikutnya.
Lebih lanjut Ibnu Ishaq berkata, Muhammad bin Ja’far bin az-Zubair menceritakan kepadaku, ia berkata: “Mereka tiba di Madinah dan menemui Rasulullah di masjid Nabawi ketika beliau sedang shalat `Ashar. Mereka mengenakan pakaian pendeta, yaitu jubah dan mantel dengan menunggang unta-unta milik para pemuka Bani al-Harits Ibnu Ka’ab. Sahabat Rasulullah yang melihat mereka mengatakan, “Kami tidak pernah melihat sesudah mereka utusan seperti mereka.” Ketika itu, telah masuk waktu shalat mereka, maka mereka pun berdiri shalat di masjid Nabawi, lalu Rasulullah bersabda, “Biarkan mereka.” Mereka mengerjakan shalat dengan menghadap ke timur.
Setelah itu beberapa orang dari mereka, berbicara kepada Rasulullah antara lain Abu Haritsah bin ‘Alqamah, al-‘Aqib ‘Abdul Masih, dan as-Sayyid al-Aiham. Mereka semua ini adalah beragama Nasrani yang sefaham (sealiran) dengan faham Raja, meski ada perbedaan di antara mereka. Ada yang berpendapat bahwa `Isa adalah Allah, pendapat yang lain menyatakan bahwa ia adalah anak Allah, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa ia adalah salah satu dari trinitas. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan itu.”
Demikianlah keyakinan orang-orang Nasrani, mereka yang mengatakan `Isa adalah Allah, berhujjah bahwa ia dapat menghidupkan orang yang sudah mati, menyembuhkan orang yang buta dan penderita sakit kusta, serta dapat memberitahukan hal-hal yang ghaib, membuat bentuk burung dari tanah liat lalu meniupnya sehingga menjadi burung. Padahal semua itu berdasarkan perintah Allah. Dan agar Allah menjadikannya sebagai tanda kekuasaan-Nya bagi umat manusia.
Sedang yang menyatakan bahwa `Isa adalah anak Allah, mereka berhujjah bahwa ia tidak berayah, dan dapat berbicara pada saat masih bayi, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Adapun yang berkeyakinan bahwa `Isa itu salah satu dari trinitas, mereka berhujjah pada firman Allah, “Kami melakukan, Kami memerintahkan, Kami menciptakan, dan Kami telah putuskan. Menurut mereka, “Jika Allah itu satu, niscaya Dia akan berkata, Aku berbuat, Aku memerintah, Aku memutuskan, dan Aku menciptakan.’ Tetapi kata ‘Kami’ itu kembali kepada Allah, `Isa, dan Maryam.” –Mahatinggi dan Mahasuci Allah dari perkataan orang-orang yang zhalim dan ingkar dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, karena semua yang mereka katakan itu telah disebutkan dalam al-Qur’an.
Tatkala dua pendeta berbicara kepada Rasulullah saw, beliau pun bersabda kepada keduanya, “Masuklah Islam.” Jawab mereka berdua, “Kami telah memeluk Islam.” Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya kalian berdua belum masuk Islam, maka masuklah Islam.” Mereka pun menjawab, “Sungguh kami telah memeluk Islam sebelum dirimu.” Beliau pun bersabda, “Kalian berdua berdusta. Pengakuan kalian berdua bahwa Allah mempunyai anak dan penyembahan kalian terhadap salib, serta tindakan kalian memakan daging babi menghalangi kalian masuk Islam.” Mereka berdua pun bertanya, “Lalu siapa ayahnya (Isa) itu, wahai Muhammad?” Rasulullah diam dan tidak memberikan jawaban kepada keduanya. Lalu dikarenakan ucapan mereka dan perbedaan pendapat di antara mereka, Allah menurunkan permulaan surat Ali-Imran sampai 80 ayat lebih.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata; “Al-`Agib dan as-Sayyid, keduanya pemuka Najran datang kepada Rasulullah. Mereka berdua bermaksud untuk mengajak mubahalah dengan Nabi, lalu salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lainnya, “Jangan kau lakukan hal itu. Demi Allah, jika ia itu seorang Nabi, lalu kita saling melaknat dengannya, maka kita dan keturunan kita tidak akan beruntung.” Setelah itu keduanya berkata, “Kami akan memberikan apa yang kamu minta. Utuslah bersama kami seseorang yang dapat dipercaya, dan jangan engkau utus kecuali orang yang benar-benar jujur.” Beliau pun bersabda, “Aku pasti akan mengutus seseorang yang benar-benar dapat dipercaya untuk ikut bersama kalian.” Para Sahabat pun berharap mendapat kehormatan sebagai utusan beliau. Lalu beliau bersabda: “Berdirilah, ya Abu `Ubaidah bin al Jarrah.” Ketika Abu `Ubaidah berdiri, Rasulullah bersabda: “Ini adalah orang yang dapat dipercaya dari umat ini.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Anas bin Malik bersabda: “Setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan dari umat ini adalah Abu `Ubaidah bin al-Jarrah.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Abu Jahal [semoga Allah menghinakannya] berkata: `Jika aku melihat Muhammad mengerjakan shalat di Ka’bah, maka aku akan mendatanginya dan menginjak lehernya.’ Lalu beliau pun berkata: `Seandainya ia melakukannya, niscaya Malaikat akan membinasakannya langsung. Dan seandainya orang-orang Yahudi mengharap kematian (diri mereka), niscaya mereka akan mati dan melihat tempat tinggal mereka di neraka. Dan seandainya berangkat juga orang-orang yang bermaksud bermubahalah dengan Rasulullah, niscaya mereka pulang dengan tidak mendapatkan lagi harta dan keluarga mereka.”‘ (HR. Ahmad)
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Jabir, ia berkata: “Al-`Aqib dan ath-Thayyib datang kepada Nabi, lalu beliau mengajak keduanya untuk saling melaknat. Mereka berdua pun berjanji akan saling melaknatnya pada hari esok. Setelah pagi hari tiba, keluarlah Rasulullah dengan menggandeng tangan ‘Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain. Lalu beliau mengutus utusan kepada keduanya, namun keduanya menolak memenuhi ajakan beliau, dan menyatakan setuju kepada beliau untuk membayar pajak. Beliau pun bersabda: ‘Demi Allah yang mengutusku dengan haq, andaikata mereka berdua mengatakan, ‘Tidak,’ niscaya lembah akan menimpakan hujan api kepada mereka.”‘
Jabir berkata, “Kepada mereka turun ayat: `Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu.’” Jabir melanjutkan, “Diri kami,” maksudnya adalah Rasulullah dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sedangkan, “Anak-anak kami” adalah al-Hasan dan al-Husain. Dan “Wanita-wanita kami” adalah Fatimah.
Demikianlah pula menurut riwayat al-Hakim dalam al Mustadrak, dan ia mengatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat Muslim, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkan seperti ini.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dari Syu’bah, dari al-Mughirah, dari asy-Sya’bi, sebagai hadits mursal. Dan ini yang lebih shahih.
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan al-Barra’, (hadits yang) serupa dengan hadits di atas.
Setelah itu Allah swt. berfirman: inna Haadzaa laHuwal qashashul haqqu (“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.”) Maksudnya, apa yang kami ceritakan kepadamu, ya Muhammad, mengenai `Isa adalah yang benar yang tidak ada penyimpangan di dalamnya dan tak dapat disangkal lagi.
Wa maa min ilaaHin illallaaHu wa innallaaHa laHuwal ‘aziizul hakiimu fa in tawallaw (“Dan tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] selain Allah, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kemudian jika mereka berpaling [dari kebenaran].”) Yakni berpaling dari hal ini kepada yang lainnya, fa innallaaHa ‘aliimum bil mufsidiin (“sesungguhnya Allah Mahamengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.”) Artinya, barangsiapa menyimpang dari kebenaran menuju kepada kebathilan, maka ia adalah pembuat kerusakan, dan Allah Mahamengetahui dan akan memberikan balasan atasnya dengan balasan yang seburuk-buruknya. Dia Mahakuasa yang tidak ada sesuatu pun yang luput dari kekuasaan-Nya. Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari timpaan murka-Nya.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top