Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 28
2MAR
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkanmu terhadap diri [siksa]-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali[mu.” (QS. 3:28)
Allah swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali dan pemimpin dengan kecintaan kepada mereka dan mengabaikan orang-orang yang beriman. Selanjutnya Allah mengancam perbuatan itu seraya berfirman: wa may yaf’al dzaalika falaisa minallaaHi min syai-in (“Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dari pertolongan Allah.”) Artinya, barangsiapa melanggar larangan Allah tersebut, maka ia benar-benar terlepas dari Allah, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 51)
Sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan loyalitas (kesetiaan antara) orang-orang mukmin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab Badui, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73)
Sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan loyalitas (kesetiaan antara) orang-orang mukmin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab Badui, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73)
Dan firman-Nya, illaa an tattaquu minHum tuqaatan (“Kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”) Maksudnya, kecuali bagi orang yang berada di suatu negeri dan pada waktu tertentu, merasa takut terhadap kejahatan orang-orang kafir, maka baginya diperbolehkan bersiasat kepada mereka secara lahirnya raja, bukan secara bathin dan niatnya. Sebagaimana Imam al-Bukhari meriwayatkan dart Abud Darda’, ia berkata: “Sesungguhnya kami menampakkan wajah cerah kepada beberapa orang kafir, sedang hati kami melaknat mereka.”
Sedangkan ats-Tsauri mengatakan, Ibnu ‘Abbas berkata: “Taqiyyah (bersiasat dalam usaha melindungi diri) itu bukan dengan amal, melainkan dengan lisan.” Demikian pula diriwayatkan oleh al-‘Aufi dart Ibnu ‘Abbas bahwa taqiyyah itu dengan lisan.
Hal yang lama juga dikatakan Abul `Aliyah, Abu Sya’tsa’, adh-Dhahhak, dan ar-Rabi’ bin Anas. Pendapat mereka itu diperkuat oleh firman Allah, “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah ia beriman (mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pedahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nisaa’: 106)
Imam al-Bukhari mengatakan, al-Hasan berkata: “Taqiyyah itu berlaku sampai hari Kiamat kelak.”
Setelah itu Dia berfirman, wa yuhadzdzirukumullaaHu nafsaHu (“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.”) Dengan kata lain, Allah memperingatkan kalian akan siksa-Nya di dalam penentangan terhadap-Nya dan adzab-Nya bagi orang-orang yang menjadikan musuh-Nya sebagai wali, dan memusuhi para wali-Nya. Selanjutnya Dia berfirman, wa ilallaaHil mashiir (“Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” yaitu kepada-Nya tempat kembali untuk diberikan balasan bagi setiap orang atas amal yang diperbuatnya.
&
No comments:
Post a Comment