Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 124-129

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 124-129

16MAR
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 124-129“(Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: “Apakah tidak cukup bagimu, Allah membantumu dengan tiga ribu Malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (QS. 3:124). Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerangmu seketika itu juga, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (QS. 3:125). Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 3:126). (Allah menolongmu dalam perang Badar dan memberi bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa. (QS. 3:127). Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka,atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. (QS. 3:128). Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki; dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 3:129)
Para mufassirin berbeda pendapat mengenai janji ini, apakah pada peristiwa perang Badar atau perang Uhud? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, mengatakan bahwa firman Allah: idz taquulu lil mu’miniina (“Ingatlah, ketika kamu mengatakan, kepada orang-orang yang beriman,”) berkaitan dengan firman-Nya, wa laqad nashara kumullaaHu bibadrin (“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar.”)
Pendapat itu disampaikan oleh al-Hasan al-Bashri, `Amir asy-Sya’bi, ar-Rabi’ bin Anas dan yang lainnya. Ibnu Jarir juga memilih pendapat tersebut.
Mengenai firman Allah, idz taquulu lil mu’miniina alay yakfiyakum ay yumiddakum rabbukum bitsalaatsati aalaafim minal malaa-ikati (“Ingatlah, ketika kamu mengatakan kepada orang-orang yang beriman: Apakah tidak cukup bagimu, Allah membantumu dengan tiga ribu Malaikat”) `Abbad bin Manshur mengatakan dari al-Hasan al-Bashri, ia berkata: “Yaitu pada peristiwa perang Badar”
Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dari `Amir asy-Sya’bi, bahwa kaum muslimin memperoleh berita pada peristiwa perang Badar bahwa Kurz bin Jabir membantu orang-orang musyrik. Hal itu sangat berat bagi mereka, lalu Allah menurunkan ayat: idz taquulu lil mu’miniina alay yakfiyakum ay yumiddakum rabbukum bitsalaatsati aalaafim minal malaa-ikati munzaliin =ilaa qauliHi= musawwimiin (“tidak cukupkah bagimu Allah membantumu dengan tiga ribu Malaikat yang diturun-kan [dari langit]? -sampai dengan firman-Nya- yang memakai tanda.”) `Amirasy-Sya’bi melanjutkan: “Lalu sampailah kepada Kurz tentang kekalahan yang menimpa orang-orang musyrik, maka Kurz pun tidak jadi membantu pasukan kaum musyrikin dan Allah pun tidak perlu membantu kaum muslimin dengan lima ribu Malaikat.”
Sedangkan ar-Rabi’ bin Anas berkata: “Allah swt. membantu kaum muslimin dengan seribu pasukan, kemudian menjadi tiga ribu, hingga akhirnya menjadi lima ribu pasukan Malaikat.”
Jika ditanyakan, bagaimana memadukan ayat ini menurut pendapat di atas dengan firman-Nya mengenai kisah perang Badar, yang artinya: “Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu diperkenan-kan-Nya bagimu: `Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada-mu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut.’ Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dart sisi Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfaal: 9)
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, bahwa pernyataan jumlah seribu Malaikat itu tidak menafikan jumlah tiga ribu atau lebih. Hal itu disebabkan firman-Nya: murdifiin (“Yang datang berturut-turut.”) Yakni, diikuti oleh yang lainnya yang berjumlah ribuan Malaikat.
Siyaq (konteks pembicaraan) pada ayat tersebut di atas serupa dengan siyaq pada surat Ali-‘Imran ini. Yang jelas, bahwa hal itu terjadi pada peristiwa perang Badar, sebagaimana yang diketahui bersama bahwa pengerahan pasukan Malaikat tiada lain terjadi pada peristiwa Badar. Wallahu a’lam.
Sa’id bin Abi ‘Arubah berkata: “Pada perang Badar, Allah membantu kaum muslimin dengan lima ribu Malaikat.”
Pendapat kedua adalah, bahwa janji dalam ayat di atas berkaitan dengan firman-Nya, wa idz ghadauta min aHlika tubawwi-ul mu’miniina maqaa-‘ida lil qitaal (“Dan ingatlah ketika kamu berangkat pada pagi hari dari rumah keluargamu akan menempatkan orang-orang yang beriman pada beberapa posisi untuk berperang.”) (QS. Ali-‘Imran: 121), dan hal itu terjadi pada peristiwa perang Uhud.
Ini adalah pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Musabin ‘Uqbah, dan ulama lainnya. Namun mereka berpendapat bahwa bala bantuan itu tidak mencapai lima ribu Malaikat, karena pada peristiwa itu kaum muslimin melarikan diri. Sedangkan ‘Ikrimah menambahkan, tidak juga tiga ribu Malaikat. Hal itu sesuai dengan firman-Nya, (cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa.” Tetapi, mereka tidak bersabar dan bahkan melarikan diri sehingga mereka tidak dibantu dengan satu Malaikat pun. Dan firman-Nya: balaa in tashbiruu wa tattaquu (“Ya [cukup]. Jika kamu bersabar dan bertakwa.”) Yakni, bersabar dalam menghadapi musuh-musuh kalian, bertakwa kepada-Ku dan mentaati perintah-Ku.
Firman-Nya, wa ya’tuukum min faurihin Haadzaa (“Dan mereka datang menyerangmu dengan seketika itu juga.”) Al-Masan al-Bashri, Qatadah, ar-Rabi’ bin Anas danas-Suddi berkata: “Yaitu tepat dari arah depan mereka.” Al-‘Aufi mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Yaitu langsung dari perjalanan itu.” Ada juga yang mengatakan: “Karena (terdorong) kemarahan mereka itu.”
Firman-Nya: yumdidkum rabbukum bikhamsati aalaafim minal malaa-ikati musawwimiin (“Niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda.”) Yaitu mengena-kan tanda. Abu Ishaq as-Subai’i meriwayatkan, dari Haritsah bin Mudhrib, dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Tanda pada Malaikat dalam peristiwa perang Badar adalah bulu putih. Selain itu, ada juga tanda pada ubun-ubun kuda mereka.” Atsar ini diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.
Qatadah dan ‘Ikrimah berkata, “Musawwimin yaitu dengan memakai tanda perang.” Sedangkan Mak-hul berkata: “Bertanda sorban.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan Bari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, mengenai firman-Nya: “Musawwimin”, Rasulullah bersabda: “Yaitu, mereka mengenakan tanda. Dan tanda para Malaikat pada peristiwa perang Badar itu adalah sorban berwarna hitam, sedang pada peristiwa perang Hunain adalah sorban berwarna merah.”
Dan Ibnu ‘Abbas berkata: “Para Malaikat itu tidak ikut berperang kecuali pada peristiwa perang Badar.”
Firman-Nya: wa maa ja’alaHullaaHu illaa busyraa lakum wa litath-ma-inna quluubukum (“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu dan agar hatimu tenteram karenanya.”) Maksudnya, Allah tidak menurunkan para Malaikat dan memberitahukan penurunannya kepada kalian melainkan sebagai kabar gembira bagi kalian, sekaligus sebagai penenang dan penenteram hati kalian. Sebab sesungguhnya pertolongan itu hanyalah dari Allah, jika berkehendak, niscaya Allah akan mengalahkan musuh-musuh-Nya tanpa melalui diri kalian dan tanpa melalui peperangan kalian melawan mereka. Sebagaimana setelah memerintahkan orang-orang yang beriman untukberperang, Allah berfirman yang artinya:
“Jika Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagianmu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi bimbingan kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Serta memasukkan mereka ke dalam Surga yang telah diperkenalkan-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad: 4-6)
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman: wa maa ja’alaHullaaHu illaa busyraa lakum wa litath-ma-inna quluubukum biHii wa man nashru illaa min ‘indillaaHil ‘aziizil hakiim (“Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kaba rgembira bagi [kemenangan]mu, dan agar hatimu tenteram karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Yakni, Allah memiliki keperkasaan yang tiada bandingnya, serta hikmah (kebijakan) dalam ketetapan dan hukum-hukum-Nya.
Selanjutnya Allah berfirman: liyaqtha’a tharafam minal ladziina kafaruu “[Allah menolongmu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu] untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir.”) Maksudnya, Allah memerintahkan kalian berjihad dan berperang, karena hikmah yang terkandung di dalamnya dalam berbagai segi. Oleh karena itu, Allah menyebutkan berbagai bentuk kemungkinan yang terjadi dalam (peperangan) orang-orang kafir terhadap Mujahidin, maka Allah swt. berfirman: liyaqtha’a tharafan (“Untuk membinasakan segolongan.”) Yaitu, untuk membinasakan suatu umat: minal ladziina kafaruu au yakbitaHum fa yanqalibuu (“Orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali.”) Yakni pulang; khaa-ibiin (“dengan tiada memperoleh apa-apa.”) Maksudnya, mereka gagal memperoleh apa yang mereka harapkan.
Kemudian Allah menyebutkan kalimat sisipan yang menunjukkan bahwa hukum di dunia dan di akhirat itu hanyalah milik-Nya, yang tiada sekutu bagi-Nya, seraya berfirman, laisa laka minal amri syai-un (“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.”) Yakni, semua urusan itu hanyalah kembali kepada-Ku, sebagaimana firman-Nya, fa innamaa ‘alaikal balaaghu wa ‘alainal hisaab (“Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kamilah yang menghisab amalan mereka.”) (QS. Ar-Ra’d: 40)
Mengenai firman Allah: laisa laka minal amri syai-un (“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.”) Muhammad bin Ishaq berkata: “Artinya, engkau tidak mempunyai sedikit pun keputusan dalam urusan hamba-hamba-Ku, kecuali apa yang telah Aku perintahkan kepadamu terhadap mereka.”
Kemudian Allah menyebutkan kemungkinan lainnya dengan firman-Nya: au yatuuba ‘alaiHim (“Atan Allah menerima taubat mereka.”) Yakni, dari kekufuran yang telah mereka lakukan, lalu Allah memberikan hidayah kepada mereka setelah mereka berada dalam kesesatan. Au yu’adzdzibaHum (“Atau mengadzab mereka.”)Yaitu di dunia dan di akhirat atas kekufuran dan dosa-dosa mereka. Oleh karena itu Allah berfirman, fa innaHum dhaalimuun (“Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.”) Maksudnya, bahwa mereka berhak mendapatkan adzab itu.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan. Ya Allah, laknatlah al-Harits bin Hisyam. Ya Allah, laknatlah Suhail bin ‘Amr. Ya Allah, laknatlah Shafwan bin Umayyah.’ Lalu turunlah ayat ini, Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” Maka diterimalah taubat mereka semua (karena Allah tunjuki mereka masuk Islam semuanya; ed).” (HR. Ahmad)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Bahwasanya jika Rasulullah hendak mendo’akan kejelekan seseorang –atau mendo’akan kebaikan untuk seseorang- maka beliau membaca qunut setelah ruku’, dan terkadang ia berkata -ketika beliau berdo’a, `Sami’allaahu limanhamidah, Rabbanaa walakal hamd-,” Ya Allah, selamatkanlah al-Walid binal-Walid, Salamah bin Hisyam, `Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kalangan orang-orang yang beriman. Ya Allah, keraskan adzab-Mu atas orang-orang kafir Mudhar (kabilah masyhur, di antaranya adalah suku Qais dan suku Quraisy) dan jadikanlah tahun-tahun paceklik yang menimpa mereka seperti tahun-tahun paceklik pada masa Nabi Yusuf.’ Do’a itu dibaca beliau secara jahr (keras). Dan pernah dalam satu shalat Subuh, beliau berdo’a: `Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan.’ Untuk beberapa orang dari suku Arab. Sehingga Allah menurunkan firman-Nya: `Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka.”‘
Al-Bukhari meriwayatkan dari Humaid dan Tsabit, dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah bersabda:`Bagaimana akan beruntung kaum yang melukai Nabi mereka?’Maka turunlah ayat: `Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka.’”
Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi mengalami patah gigi serinya dan terluka pada wajahnya hingga mengalir darah pada wajahnya, maka beliau bersabda: “Bagaimana akan beruntung kaum yang berbuat seperti ini kepada Nabi mereka, sedang ia (Nabi) mengajak mereka kepada Rabb mereka.’”
Maka Allah swt. pun menurunkan ayat, laisa laka minal amri syai-un au yatuuba ‘alaiHim Au yu’adzdzibaHum (“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yangzhalim.”) (Hadits di atas hanya diriwayatkan oleh Muslim)
Setelah itu Allah berfirman: wa lillaaHi maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”) semuanya itu adalah milik Allah dan penghuni keduanya (langit dan bumi) sebagai hamba di hadapan-Nya.
Yaghfiru limay yasyaa-u wa yu’adzdzibu may yasyaa-u (“Allah memberi ampun kepada siapa yang Allah kehendaki dan Allah menyiksa siapa yang Allah kehendaki.”) Artinya, Allah-lah yang mengatur, tidak ada yang dapat menentang ketetapan-Nya. Tidaklah Allah dimintai pertanggung jawaban atas tindakan-Nya, tetapi merekalah yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh-Nya. wallaaHu ghafuurur rahiim (“Dan AllahMahapengampun lagi Mahapenyayang.”)
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top