Sunday, June 10, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 2-4

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 2-4

16MAR
Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 2-4“2. dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. 3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 4. berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 2-4)
Allah swt. memerintahkan untuk menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka apabila telah mencapai masa baligh secara sempurna, serta melarang memakan dan menggabungkannya dengan harta mereka. Untuk itu, Allah berfirman: wa laa tatabaddalul khabiitsa bith-thayyibi (“Dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.”) Sufyan ats-Tsauri mengatakan dan Abu Shalih: “Janganlah engkau tergesa-gesa dengan rizki yang haram sebelum datang kepadamu rizki halal yang ditakdirkan untukmu.” Said bin Jubair berkata: “Janganlah kalian menukar harta haram milik orang lain dengan harta halal dari harta kalian.” la (Sa’id) pun berkata: “Janganlah kalian mengganti harta kalian yang halal dan memakan harta-harta mereka yang haram.” Sedangkan Sa’id bin al-Musayyab dan az-Zuhri berkata: “Janganlah engkau memberi sesuatu yang kurus dan mengambil sesuatu yang gemuk.” Adapun Ibrahim an-Nakha’i dan adh-Dhahhak berkata: “Janganlah engkau memberi sesuatu yang palsu dan mengambil sesuatu yang baik.” Dan as-Suddi berkata: “Salah seorang di antara mereka mengambil kambing anak yatim yang gemuk lalu sebagai gantinya is memberi kambing yang kurus kering sambil berkata: (Yang penting) kambing dengan kambing.’ Serta ia pun mengambil dirham yang baik dan menggantinya dengan dirham yang buruk dan berkata: ‘(Yang
penting) dirham dengan dirham.
Firman-Nya: wa laa ta’kuluu amwaalaHum ilaa amwaalikum (“Dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.”) Mujahid, Said bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi dan Sufyan bin Husain berkata: “Artinya, janganlah kalian campur harta tersebut, lalu kamu makan seluruhnya.”
Firman Allah: innaHuu kaana huuban kabiiran Ibnu ‘Abbas berkata: “Artinya dosa besar.”
Di dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud: ighfirlanaa huubanaa wa khathaayaanaa (“Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.”)
Maksudnya adalah: “Sesungguhnya upayamu yang memakan harta mereka bersama hartamu adalah sebuah dosa besar dan kesalahan besar, maka jauhilah olehmu.”
FirmanNya: wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minan nisaa-i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ (“”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap [hak-hak] perempuan yatim [bilamana kamu mengawininya], maka kawinilah wanita-wanita [lain] yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.”) Artinya apabila di bawah pemeliharaan salah seorang kamu terdapat wanita yatim dan ia merasa takut tidak dapat memberikan mahar sebanding, maka carilah wanita lainnya. Karena mereka cukup banyak, dan Allah tidak akan memberikan kesempitan padanya.
Al-Bukhari meriwayatkan: dari ‘Aisyah “Sesungguhnya seorang laki-laki yang memiliki tanggungan wanita yatim, lalu dinikahinya, sedangkan wanita itu memiliki sebuah pohon kurma yang berbuah. Laki-laki itu menahannya sedangkan wanita itu tidak mendapatkan sesuatu pun dari laki-laki itu, maka turunlah ayat ini: wa in khiftum allaa tuqsithuu (“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.”) Aku mengira ia mengatakan, “Ia bersekutu dalam pohon kurma dan hartanya.”
Al-Bukhari meriwayatkan: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari Shalih bin Kaisan dari Ibnu Syihab, ia berkata: ‘Urwah bin az-Zubair mengabar- kan kepadaku bahwa is bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang firman Allah: wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa (“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim bilamana kamu mengawini,”) beliau menjawab: “Wahai
anak saudariku, anak yatim perempuan yang dimaksud adalah wanita yatim yang berada pada pemeliharaan walinya yang bergabung dalam hartanya.” Sedangkan ia menyukai harta dan kecantikannya. Lalu, walinya ingin mengawininya tanpa berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan mahar yang diberikan orang lain. Maka, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mereka dapat berbuat adil kepada wanita-wanita tersebut dan memberikan mahar yang terbaik untuk mereka. Dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita yang mereka sukai selain mereka. ‘Urwah berkata: ‘Aisyah berkata: ‘Sesungguhnya para Sahabat meminta fatwa kepada Rasulullah setelah ayat ini, maka Allah menurunkan firman-Nya: wa yastaftuunaka fin nisaa’i (“Dan mereka memintafatwa kepadamu tentang para wanita.”) (QS. An-Nisaa’: 127) ‘Aisyah berkata: ‘Firman Allah di dalam ayat yang lain: wa targhabuuna an tankihuuHunna (“Sedangkan kamu ingin menikahi mereka.”) (QS. An-Nisaa:127). [Karena] Kebencian salah seorang kalian kepada wanita yatim, jika mereka memiliki sedikit harta dan kurang cantik, maka mereka dilarang untuk menikahi wanita yang disenangi karena harta dan kecantikannya kecuali dengan berbuat adil. Hal itu dikarenakan kebencian mereka kepada wanita-wanita itu jika sedikit harta dan kurang cantik.
Firman Allah: matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ (“Dua, tiga atau empat.”) Artinya nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka. Jika kalian suka silahkan dua, jika suka silahkan tiga, dan jika suka silahkan empat. Sebagaimana firman Allah swt.: “Yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.” (QS. Faathir: 1) Artinya, di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga dan ada yang empat. Hal tersebut tidak berarti meniadakan adanya Malaikat yang (memiliki jumlah sayap Ed) selain dari itu, karena terdapat dalil yang menunjukkannya. Berbeda dengan kasus pembatasan empat wanita bagi laki-laki dari ayat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu`Abbas dan Jumhur ulama, karena kedudukannya adalah posisi pemberian nikmat dan mubah. Seandainya dibolehkan menggabung lebih dari empat wanita, niscaya akan dijelaskan.
Imam asy-Syafi’i berkata: “Sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang selain Rasulullah untuk menghimpun lebih dari empat wanita.” Pendapat yang dikemukan oleh asy-Syafi’i ini telah disepakati oleh para ulama kecuali pendapat dari sebagian penganut Syi’ah yang menyatakan bolehnya menggabung wanita lebih dari empat orang hingga sembilan orang. Sebagian ulama berpendapat, tanpa batas. Sebagian lain berpegang pada perilaku Rasulullah` yang menggabung empat wanita hingga sembilan orang, sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih. Adapun (pendapat yang mengatakan hingga)11 orang adalah sebagaimana terdapat dalam sebagian lafazh hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Sesungguhnya al-Bukhari memu’allaqkannya, telah kami riwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah kawin dengan 15 orang wanita. Di antara mereka yang telah digauli adalah 13 orang dan yang dihimpun beliau adalah 11 orang. Sedangkan di saat wafat, beliau meninggalkan 9 orang isteri. Menurut para ulama, hal ini merupakan kekhususan-kekhususan beliau, bukan untuk umatnya, berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan pembatasan 4 isteri yang akan kami sebutkan. Di antaranya: Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam, saat itu ia memiliki 10 orang isteri. Maka, Nabi saw. bersabda: “Pilihlah 4 orang di antara mereka.” Begitu pula yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan yang lainnya. Dan itu pula yang diriwayatkan oleh Malik dari az-Zuhri secara mursal. Abu Zur’ah berkata: “Inilah yang lebih shahih.”
Hadits mu’allaq: Hadits yang disebutkan, tetapi tanpa mencantumkan/menyebutkansanadnya
Firman-Nya: fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan au maa malakat aimaanukum (“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, jika kamu takut memiliki banyak isteri dan tidak mampu berbuat adil kepada mereka, sebagaimana firman Allah: wa lan tastathii-‘uu an ta’diluu bainan nisaa-i wa lau harash-tum (“Dan tidak akan pernah kamu mampu berbuat adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat menginginkannya.”) (QS. An-Nisaa’: 129) Barangsiapa yang takut berbuat demikian, maka cukuplah satu isteri saja atau budak-budak wanita. Karena, tidak wajib pembagian giliran pada mereka (budak-budak wanita), akan tetapi hal tersebut dianjurkan, maka barangsiapa yang melakukan, hal itu baik dan barangsiapa yang tidak melakukan, maka tidaklah mengapa.
Firman-Nya: dzaalika adnaa allaa ta-‘uuluu (“Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”) Yang shahih, artinya adalah janganlah kalian berbuat aniaya. (Dalam bahasa Arab dikatakan “… ‘aala fil hukmi” [menyimpang dari hukum] apabila ia menyimpang dan zhalim. Abu Thalib berkata dalam bait qashidahnya yang cukup masyhur:
Dengan timbangan keadilan yang tidak dikurangi satu biji gandum pun.
Dia memiliki saksi dari dirinya sendiri tanpa aniaya.
Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Hibban dalam shahihnya meriwayatkan dari ‘Aisyah dari Nabi saw. “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, ” beliaubersabda: “Janganlah kalian berbuat aniaya.”
Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku berkata, “Ini adalah kesalahan.” Yang benar adalah ucapan itu dari ‘Aisyah secara mauquf.
Firman Allah: wa aatun nisaa-a shaduqaatiHinna nihlatan (“Berikanlah mas kawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”) `Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: an-nihlatu adalah mahar. Muhammad bin Ishaq berkata dari ‘Aisyah “nihlatun”, adalah kewajiban. Ibnu Zaid berkata: “an-nihlatu” dalam bahasa Arab adalah suatu yang wajib, ia berkata, “Janganlah engkau nikahi dia kecuali dengan sesuatu yang wajib baginya.” Kandungan pembicaraan mereka itu adalah, bahwa seorang laki-laki wajib menyerahkan mahar kepada wanita sebagai suatu keharusan dan keadaannya rela. Sebagaimana ia menerima pemberian dan memberikan hadiah dengan penuh kerelaan, begitu pula kewajiban ia memberikan mahar kepada wanita dengan penuh kerelaan. Dan jika si isteri secara suka rela menyerahkan sesuatu dari maharnya setelah disebutkan jumlahnya, maka suami boleh memakannya dengan halal dan baik.
Untuk itu Allah berfirman: fa in thibna lakum ‘an syai-in minHu nafasan fakuluuHu Hanii-am marii-an (“Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah [ambillah] pemberian itu [sebagai makanan] yang sedap lagi baik akibatnya.”)
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari `Ali ra, ia berkata berkata: “Apabila salah seorang kamu mengeluh tentang sesuatu, maka mintalah kepada isterinya 3 dirham atau yang sama dengan itu, lalu belilah madu, kemudian ambilah air hujan dan campurkan hingga nikmat dan lezat, niscaya Allah akan menyembuhkannya dengan penuh berkah.”
Husyaim berkata dari Sayyar dari Abu Shalih: “Dahulu apabila seseorang mengawinkan putrinya, ia mengambil mahar haknya tanpa kerelaannya, maka hal itu dilarang oleh Allah dan diturunkannya ayat: wa aatun nisaa-a shaduqaatiHinna nihlatan (“Berikanlah mas kawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”)
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top