Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 84-87
26FEB
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya). (QS. 4:84) Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barang-siapa yang memberikan syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian(dosa) daripadanya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. 4:85) Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatanitu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. 4:86) Allah, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkanmu di hari Kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah. (QS. 4:87)” (an-Nisaa’: 84-87)
Allah memerintahkan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad untuk ikut serta dalam pertempuran, dan barangsiapa yang menolaknya, maka bukan lagi kewajibanmu. Untuk itu Allah berfirman: laa tukallafu illa nafsaka (“Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri.”)
Abu Ishaq berkata, aku bertanya kepada al-Barra bin `Azib tentang seorang laki-laki yang menemui 100 orang musuh, lalu ia berperang. Maka (apakah) dia termasuk orang yang difirmankan oleh Allah: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)? Al-Barra bin `Azib menjawab: bahwa Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya: faqaatil fii sabiilillaaHi laa tukallafu illaa nafsaka wa harridlil mu’miniin (“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin [untuk berperang].”)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Ishaq, ia berkata: “Aku bertanya kepada al-Barra tentang seseorang yang menentang orang-orang musyrik. Apakah dia termasuk orang yang menjerumuskan diri dalam kehancuran?” Beliau berkata: “Tidak, sesungguhnya Allah mengutus Rasulullah saw. dan berfirman: faqaatil fii sabiilillaaHi laa tukallafu illaa nafsaka (“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri.”) sesungguhnya menjerumuskan diri dalam kehancuran adalah dalam [masalah] nafkah. (Seperti itu pula riwayat Ibnu Mardawaih)
Kemudian firman Allah: wa harridlil mu’miniin (“Kobarkanlah semangat kaum mu’minin”) yaitu untuk berperang, membangkitkan dan mendorong mereka untuk berperang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada mereka pada perang Badar sambil merapatkan shaf mereka:
“Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”)
“Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”)
Banyak hadits yang mendorong dalam masalah tersebut, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Baransiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa Ramadhan, maka menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke dalam Surga baik dia berhijrah di jalan Allah atau duduk di tempat kelahirannya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, bolehkah kami kabarkan kepada orang-orang?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya di dalam Surga ada100 derajat yang dipersiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang berjihad di
jalan Allah. Di antara setiap dua derajat, sebagaimana jarak langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena ia adalah Surga yang paling tengah dan paling tinggi, di mana di atasnya adalah `Arsy ar-Rahmaan dan darinya memancar sungai-sungai surga.” (Muslim pun meriwayatkannya dengan lafadz yang berbeda)
jalan Allah. Di antara setiap dua derajat, sebagaimana jarak langit dan bumi. Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena ia adalah Surga yang paling tengah dan paling tinggi, di mana di atasnya adalah `Arsy ar-Rahmaan dan darinya memancar sungai-sungai surga.” (Muslim pun meriwayatkannya dengan lafadz yang berbeda)
‘asallaaHu ay yakuffa ba’sal ladziina kafaruu (“Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu.”) Yaitu dengan semangat yang engkau kobarkan kepada mereka untuk berperang, maka bangkitlah tekad-tekad mereka untuk menghadapi musuh dan mempertahankan keutuhan Islam dan pemeluknya, menguatkan kesabaran mereka dan menegakkan kekuatan mereka.
Firman Allah: wallaaHu asyaddu ba’saw wa asyaddu tankiilan (“Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa-Nya”.) Yaitu Allah Mahakuasa di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebahagianmu dengan sebahagian yang lain.” (QS. Muhammad: 4)
Mengenai firman-Nya: may yasyfa’ syafaa’atan hasanatay yakul laHuu nashiibum minHaa (“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian [pahala] daripadanya.”) Yaitu, barangsiapa yang menjalani satu perkara yang mengandung kebaikan, niscaya ia akan mendapat bagiannya dalam hal itu,
Wa may yasyfa’ syafaa’atan sayyi-atay yakul laHuu kiflum minHaa (“Dan barangsiapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian [dosa] daripadanya”.) Yaitu, akan mendapatkan dosa dari perkara yang dilakukannya dan diniatkannya.
Sebagaimana terdapat di dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Berikanlah syafa’at (bantulah), niscaya kalian akan diberikan balasan. Allah akan memutuskan apa yang dikehendaki melalui lisan Nabi-Nya.”
Mujahid bin Jabr berkata: “Ayat ini turun mengenai bantuan seseorang terhadap yang lainnya.” Al-Hasan al-Bashri berkata, “Allah berfirman: may yasyfa’ (“Barangsiapa yang memberikan bantuan”) dan tidak berfirman: may yusyaffi’ (“barangsiapa yang dibantu”).
Dan firman-Nya: wa kaanallaaHu ‘alaa kulli syai-im muqiitan (“Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) Ibnu ‘Abbas,`Atha’,`Athiyyah, Qatadah dan Mathar al-Warraq berkata: Mahamenjaga. Mujahid berkata: “Mahamenyaksikan.” Sedangkan dalam riwayat yang lain, ia berkata: “Mahamemperhitungkan.” Adh-Dhahhak berkata: Muqiit yaitu, Mahapemberi rizki.”
Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepadaku, seorang laki-laki menceritakan kepada kami dari `Abdullah bin Rawahah, ia ditanya seorang tentang firman-Nya: wa kaanallaaHu ‘alaa kulli syai-im muqiitan (“Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) Beliau berkata: “Mahamembalas setiap manusia sesuai tingkat amalnya.”
Firman-Nya: wa idzaa huyyiytum bitahiyyatin fahayyuu bi ahsana minHaa au rudduuHaa (“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah [dengan yang serupa].”) Yaitu, apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah dengan salam yang lebih baik, atau balaslah dengan salam yang sama. Sebab, lebih dari itu amat dianjurkan, sedangkan membalasnya dengan yang serupa adalah diwajibkan. Wallahu a’lam.
Maksudnya adalah, membalasnya dengan ucapan salam yang lebih baik. Jika seorang muslim telah mengerti tujuan syari’at salam, maka paling tidak ia akan membalasnya dengan yang sama. Sedangkan ahludz dzimmah tidak boleh diberi salam terlebih dahulu, tidak boleh ditambah jawabannya, tapi dijawab dengan berdasarkan pada apa yang terdapat dalam kitab ash-Shahihain dariIbnu `Umar, bahwa Rasulullah bersabda: “Jika orang Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, sebenarnya salah satu dari mereka hanya mengucapkan: “As-Saamu `alaikum (celaka atas kalian). “Maka jawablah: ‘Wa `alaika (juga atasmu).’”
Di dalam kitab Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jangan kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Jika kalian berjumpa dengan mereka di jalan, maka sudutkanlah mereka ke arah pojok.”
Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari seseorang, dari al-Hasan al-Bashri, ia mengatakan: “Mengucapkan salam adalah sunnah, sedang menjawabnya adalah wajib.” Apa yang diucapkannya ini merupakan pendapat ulama secara ijma’. Sesungguhnya, menjawab salam itu wajib bagi orang yang disalami. Berdosa jika ia tidak melakukannya, karena ia melanggar perintah Allah dalam firman-Nya: fahayyuu bi ahsana minHaa au rudduuHaa (“Maka balaslah tahiyyat [penghormatan] itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa.”)
Firman-Nya: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwa (“Allah tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] kecuali Dia.”) Adalah khabar tentang tauhid dan keesaan-Nya, dalam Ilahiyyah terhadap seluruh makhluk dan ungkapan ini mengandung sumpah bagi firman-Nya: layajma’annakum ilaa yaumil qiyaamati laa raiba fiiHi (“Sesungguhnya Allah akan mengumpulkanmu di hari Kiamat, yang lidak ada keraguan terjadinya.”)
Lam di sini adalah sebagai sumpah, maka firman-Nya: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwa (“Allah tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] kecuali Dia.”) adalah (kalimat) berita dan sumpah, bahwa Dia akan menghimpun orang-orang yang pertama dan yang terakhir dalam satu tempat, lalu akan dibalas setiap pelaku sesuai amalnya.
Dan firman-Nya: wa man ashdaqu minallaaHi hadiitsan (“Dan siapakah yang lebih benar perkataan [nya] daripada Allah.”) Yaitu, tidak ada satupun yang lebih benar daripada Allah dalam perkataan, khabar, janji dan ancaman. Maka tidak ada Ilah yang berhak di ibadahi selain Allah dan tidak ada Rabb selain-Nya.
&
No comments:
Post a Comment