Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 104-105

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 104-105

25MAR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 104-105Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Nabi Muhammad saw.): “Raa’ina”(a), tetapi katakanlah. “Unzhurna,” dan “dengarlah.” Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104) Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Baqarah: 105)
Allah melarang hamba-hamba-Nya menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Karena orang-orang Yahudi (semoga laknat Allah atas mereka) senang bermain kata-kata yang mempunyai arti samar dengan maksud untuk mengurangi makna yang dikandungnya. Jika mereka hendak mengatakan: “Dengarlah kami,” maka mereka mengatakan:
“raa’ina, padahal yang dimaksudkan adalah ru’unah (sangat bodoh). Sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala yang artinya sebagai berikut ini:
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya (b). Dan (mereka mengatakan pula): Dengarlah,’ padahal sebenarnya kamu tidak mau mendengar apa-apa (c). Dan mereka mengatakan: Raa’ina,’ dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: Kami mendengar dan patuh. Dengar dan perhatikanlah kami.’ Maka yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (QS. An-Nisaa’: 46).
(a) “raa’inaa” berarti sudilah kiranya engkau memperlihatkan kami. Pada saat para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang-orang Yahudi pun memakai pula kata, ini dan digunakan seakan-akan menyebut “raa’inaa” padahal yang mereka maksudkan adalah “ra’uunatun” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan bagi Rasulullah saw. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para sahabat menukar kata “raa’inaa” dengan kata “undzurnaa” yang mempunyai arti yang sama.-Pent.
(b) Maksudnya; mereka mengatakan: “Kami mendengar,” padahal hati mereka mengatakan:
“Kami tidak mau menuruti.”-Pent.
Maksudnya; mereka mengatakan: “Dengarlah,” tetapi hati mereka mengatakan: “Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengar (tuli).”‘Pent.
Banyak juga hadits yang menceritakan mengenai diri mereka ini. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa jika orang-orang Yahudi itu mengucapkan salam, sebenarnya yang mereka ucapkan adalah: “as-saamu ‘alaikum” (semoga kematian menimpa kalian). “as-saamu” berarti kematian. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk membalas salam yang mereka sampaikan dengan mengucapkan: “wa’alaikum” (dan juga atasmu) supaya dengan demikian ucapan kita kepada mereka dikabulkan sedangkan ucapan mereka kepada kita tidak dikabulkan. Maksudnya bahwa Allah melarang orang-orang mukmin menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan maupunperbuatan.
Dia berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taquuluu raa’inaa wa quulundhurnaa wasma’uu wa lil kaafiriina ‘adzaabun aliim (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan: “Raa’ina”, tetapi katakanlah. “Unzhurna,” dan “dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Munif, dari Ibnu Umar, ia menceritakan, Rasulullah bersabda: “Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah yang diibadahi yang tiada sekutu bagi-Nya. Rizkiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahi perintahku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad)
Abu Daud juga meriwayatkan dari Utsman bin Abi Syaibah, dari Abu an-Nadhr Hasyim, Ibnu Qasim memberitahu kami, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Daud)
Hadits tersebut mengandung larangan keras sekaligus ancaman terhadap tindakan menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan hari-hari besar, dan ibadah mereka, maupun hal lainnya yang sama sekali tidak pernah disyari’atkan dan tidak kita akui keberadaannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan menuturkan, `Ajarilah aku.’ Maka Ibnu Mas’ud berujar, `Jika engkau mendengar Allah berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu (“Hai orang-orang yang beriman”) maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah suatu kebaikan yang diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya.”
Mengenai firman-Nya: raa’inaa; Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Maksudnya arahkanlah pendengaranmu pada kami.”
Berkenaan dengan firman-Nya: yaa ayyuHal ladziina aamanu laa taquuluu raa’inaa (“Hai orang-orang yang berimana, janganlah kalian mengatakan “raa’inaa”) dari Ibnu Abbas, adh-Dhahhak meriwayatkan: “Orang-orang Yahudi itu mengatakan kepada Rasulullah saw., ‘Pasanglah baik-baik pendengaranmu kepada kami.’ Sesungguhnya ucapan “raa’inaa” sama dengan “’aathinaa”
“Janganlah kalian mengatakan “raa’inaa” artinya janganlah kalian mengatakan sesuatu yang berbeda.”
Dalam suatu riwayat disebutkan, janganlah kalian mengatakan, dengarlah kami maka kami akan mendengarmu.
As-Suddi mengatakan, “Ada seorang Yahudi dari Bani Qainuqa’ yang dipanggil dengan nama Rifa’ah bin Zaid. la mendatangi Rasulullah, ketika bertemu beliau, ia mengatakan, `Pasanglah pendengaranmu dan dengarlah, sesungguhnya kamu tidak mendengar.”‘
Orang-orang muslim mengira bahwa para nabi itu diagungkan dengan ucapan itu. Beberapa orang dari mereka mengatakan: “Dengarlah, sebenarnya engkau tidak mendengar dan tidak hina.” Yang demikian itu seperti yang terdapat dalam surat an-Nisaa’. Kemudian Allah mengemukakan kepada orang-orang mukmin agar tidak mengatakan “raa’inaa”. Hal senada juga dikatakan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.
Dari Ibnu Jarir mengemukakan, “Menurut kami, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala melarang orang-orang mukmin mengatakan kepada nabi-Nya, Muhammad saw., “raa’inaa” karena hal itu merupakan kata yang tidak disukai Allah Ta’ala untuk diucapkan kepada nabi-Nya
Dan firman-Nya: maa yawaddul ladziina kafaruu min aHlil kitaabi wa lal musy-rikiina ay yunazzala ‘alaikum min khairim mir rabbikum (“Orang-orang kafir dari ahlul kitab din orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu.”) Allah mengungkapkan betapa sengit dan kerasnya permusuhan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan orang-orang Musyrik terhadap orang-orang Mukmin. Oleh karena itu kaum mukminin diperingatkan oleh Allah Ta’ala agar tidak menyerupai mereka, supaya dengan demikian terputus kasih sayang yang terjadi di antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir dan musyrik tersebut. Selain itu, Allah Ta’ala juga mengingatkan nikmat yang telah dikaruniakan kepada orang-orang mukmin berupa syari’at yang sempurna dan lengkap yang telah disyari’atkan kepada Nabi mereka, Muhammad Saw, di mana Dia berfirman: wallaaHu yakh-tashshu bi rahmatiHii may yasyaa-u wallaaHu dzul fadl-lil ‘adhiim. (“Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya [untuk diberi], rahmat-Nya [kenabian], dan Allah mempunyai karunia yang besar.”)
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top