Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 226-227
13APR
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. Al-Baqarah: 226) Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 227)
“al i’laa’” berarti sumpah. Jika seseorang bersumpah tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia boleh mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri agar bersabar, dan tidak berhak menuntutnya untuk ruju’ pada masa itu. Demikian itulah yang telah ditegaskan dalam Shahihain (al-Bukhari danMuslim), dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah pernah meng-ilaa’ (bersumpah untuk tidak mencampuri) isterinya selama satu bulan. Kemudian beliau turun (dari biliknya) pada hari kedua puluh sembilan. Dan beliau bersabda, “Satu bulan itu dua puluh sembilan hari.”
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khaththab ra. mengenai hal yang sama.
Tetapi jika lebih dari empat bulan, maka bagi sang isteri boleh menuntut suaminya mencampurinya setelah masa empat bulan atau menceraikannya. Dan untuk itu, hakim boleh memaksa suami. Hal ini agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi isterinya tersebut. Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: lil ladziina yu’luuna min nisaa-iHim (“Kepada orang-orang yang mengilaa’ isteri-isterinya.”) Artinya, bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya.
Ini menunjukkan bahwa ilaa’ itu hanya dikhususkan terhadap isteri bukan hamba sahaya. Sebagaimana yang menjadi pendapat jumhur ulama.
Firman-Nya: tarabbushu arba’ati asyHurin (“Diberi tangguh empat bulan.”) Maksudnya, si suami harus menunggu selama empat bulan dari sejak sumpah itu diucapkan, setelah itu ia dituntut untuk mencampuri atau menceraikan isteri-nya tersebut. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa in faa-uu (“Kemudian jika mereka kembali.”) Artinya, jika mereka kembali seperti semula. “Kembali” di sini merupakan kiasan dari jima’. Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Masruq, asy-Sya’abi, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya, di antaranya adalah Ibnu Jarir rahimahullahu. Fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Atas pengabaian suami terhadap hak isterinya disebabkan oleh sumpah.
Firman-Nya: fa in faa-uu fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Kemudian jika mereka kembali [kepada istrinya], maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Menurut salah satu dari beberapa pendapat ulama, di antaranya pendapat lama dari asy-Syafi’i, ayat ini mengandung dalil bahwa jika seseorang yang meng-ilaa’ isterinya kembali setelah empat bulan, maka tiada kafarat (denda) baginya. Dan hal itu diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari kakeknya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya tersebut, maka meninggalkan sumpahnya itu adalah kafaratnya.’” (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful Jaami’.)
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi. Sedangkan pendapat baru dari madzhab Imam Syafi’i, bahwa ia harus membayar kafarat berdasarkan pada universalitas kewajiban membayar kafarat bagi setiap orang yang bersumpah, sebagaimana telah dikemukakan dalam beberapa hadits shahih sebelumnya. Wallahu a’lam.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi. Sedangkan pendapat baru dari madzhab Imam Syafi’i, bahwa ia harus membayar kafarat berdasarkan pada universalitas kewajiban membayar kafarat bagi setiap orang yang bersumpah, sebagaimana telah dikemukakan dalam beberapa hadits shahih sebelumnya. Wallahu a’lam.
Firman Allah: wa in ‘azamuth thalaaqa (“Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak.”) Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa talak itu tidak jatuh hanya sekedar karena berlalunya waktu empat bulan, inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama muta’akhkhirin, yaitu dia harus menentukan, yakni ia dituntut untuk mencampurinya kembali atau menceraikannya. Jadi, talak itu tidak terjadi hanya karena berlalunya waktu empat bulan.
Diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, pernah mengatakan: “Jika seorang laki-laki meng-ilaa’ isterinya, maka hal itu tidak menyebabkan jatuhnya talak meskipun telah berlalu empat bulan, hingga ia mempertimbangkan untuk menceraikan atau mencampurinya kembali.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan al-Bukhari. Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, katanya, “Aku pernah mendapati sekitar sepuluh orang atau lebih dari sahabat Nabi saw. yang mengatakan: “Orang yang bersumpah harus menentukan pendiriannya.” Lebih lanjut Imam Syafi’i mengatakan: “Paling sedikit tiga belas orang sahabat.”
Imam Syafi’i juga meriwayatkan, dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya orang yang meng-ilaa’ isterinya harus dituntut untuk menentukan pendiriannya. Lalu ia mengatakan: “Demikianlah pendapat kami, dan itu sejalan dengan apa yang kami riwayatkan dari Umar, Ibnu Amr, Aisyah, Utsman, Zaid bin Tsabit, dan lebih dari sepuluh orang sahabat Nabi.” Demikianlah pendapat Imam Syafi’i rahimahullah.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Suhail Ibnu Abi Shalih, dari ayahnya, ia menceritakan: “Pernah kutanyakan kepada dua belas orang sahabat tentang seseorang yang meng-ilaa’ isterinya. Semua mengatakan, tidak ada kewajiban apa pun baginya hingga empat bulan berlalu, lalu ia diminta untuk menentukan pendiriannya, jika berkehendak ia boleh kembali, dan jika tidak ia boleh menceraikannya.
Diriwayatkan juga oleh ad-Daruquthni melalui jalur Suhail.
Aku (Ibnu Katsir) katakan, ia meriwayatkannya dari Umar, Utsman, Ali, Abu Darda’, Aisyah Ummul Mukminin, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Hal itu Pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, Thawus, Muhammad bin Ka’ab, dan al Qasim juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan para sahabat mereka, juga yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Dan merupakan pendapat al-Laits, Ishaqbin Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Dawud. Mereka mengatakan, jika ia tidak mencampuri istrinya, maka ia harus menceraikannya, dan jika ia tidak mau menceraikannya juga maka hakim yang harus menceraikannya. Jenis talaknya adalah raj’i sehingga si suami masih boleh rujuk kepada istrinya tersebut pada masa iddah. Tetapi Imam Malik sendiri mengemukakan, “Si suami tidak diperbolehkan merujuknya sehingga ia mencampurinya pada masa iddah.” Pendapat ini jelas aneh sekali.
Berkenaan dengan masa penangguhan selama empat bulan, para fuqaha dan juga yang lainnya menyebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas rahimahullahu, dalam kitab al-Muwattha’, dari Abdullah bin Dinar, ia menceritakan, Umar bin Khatthab ra. pernah pergi pada malam hari, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan:
Malam begitu panjang dan hitam kelam sekelilingnya,
aku tak dapat tidur tiada kekasih yang berkencan denganku.
Demi Allah, jika bukan karena Allah yang selalu mengawasiku,
niscaya sisi-sisi pelaminan ini telah bergoyang.
aku tak dapat tidur tiada kekasih yang berkencan denganku.
Demi Allah, jika bukan karena Allah yang selalu mengawasiku,
niscaya sisi-sisi pelaminan ini telah bergoyang.
Kemudian Umar berkata kepada putrinya, Hafshah radhiallahu ‘anha, “Berapa lama seorang wanita dapat bersabar menunggu suaminya?” Hafshah menjawab, “Enam atau empat bulan.” Maka Umar pun berucap, “Aku tidak akan menahan seorang prajurit lebih lama dari masa tersebut.”
Muhammad bin Ishak meriwayatkan, dari Sa’id bin Jubair budak Ibnu Abbas, yang pernah bertemu dengan para sahabat Nabi saw, ia menuturkan, aku masih tetap ingat hadits Umar, bahwa pada suatu malam ia pernah pergi mengelilingi Madinah, ia memang sering melakukan hal tersebut. Tiba-tiba ia melewati seorang wanita Arab yang pintu rumahnya tertutup seraya berucap:
Malam ini begitu panjang, menghiasi sekelilingnya,
ketiadaan teman tidur membuatku terjaga.
Aku kencani ia dari masa ke masa,
seakan-akan ia menutupi cahaya bulan dalam kepekatan malam.
Membuat senang orang berkencan di sisinya,
dalam kelembutan bantal yang tidak melindunginya, aku mendekatinya.
Demi Allah jika bukan karena Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia,
niscaya hancurlah sisi pelaminan ini.
Namun aku takut pada malaikat Raqib yang ditugaskan mengawasidiri kami,
yang selalu mencatatnya sepanjang masa.
Takut kepada Rabb-ku, rasa malu, dan rasa hormat kepada suami,menghalangi diriku, agar kehormatannya tidak tercemar.
ketiadaan teman tidur membuatku terjaga.
Aku kencani ia dari masa ke masa,
seakan-akan ia menutupi cahaya bulan dalam kepekatan malam.
Membuat senang orang berkencan di sisinya,
dalam kelembutan bantal yang tidak melindunginya, aku mendekatinya.
Demi Allah jika bukan karena Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia,
niscaya hancurlah sisi pelaminan ini.
Namun aku takut pada malaikat Raqib yang ditugaskan mengawasidiri kami,
yang selalu mencatatnya sepanjang masa.
Takut kepada Rabb-ku, rasa malu, dan rasa hormat kepada suami,menghalangi diriku, agar kehormatannya tidak tercemar.
Kemudian perawi melanjutkan kelengkapannya seperti yang disebutkan di atas atau semisalnya. Hal ini diriwayatkan juga melalui beberapa jalan yang masyhur.
&
No comments:
Post a Comment