Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 197

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 197

7APR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 197“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, make tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Ahli bahasa Arab berbeda pendapat mengenai firman Allah: al hajju asyHurum ma’luumaatun (“[Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.”) Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksudnya, “Haji itu adalah pada bulan-bulan yang dimaklumi.” Dengan demikian, ihram pada waktu haji di bulan-bulan itu lebih sempurna dari ihram di luar bulan-bulan tersebut, meskipun ihram itu sah.
Pendapat yang mensahkan ihram di sepanjang tahun adalah madzhab Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishak bin Rahawaih. Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh Ibrahim an-Nakha’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala: yas aluunaka ‘anil aHillati qul Hiya mawaaqiitu lin naasi wal hajji (“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, bulan iabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haj.”) Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan ihram untuk haji kapan saja sepanjang tahun. Sama halnya dengan ibadah umrah.
Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwasanya ihram untuk haji tidak sah kecuali pada bulan-bulan haji. Jika seseorang berihram haji sebelum bulan itu, maka ihramnya itu tidak sah. Dan apakah hal itu menjadi umrah? Mengenai hal ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari beliau.
Pendapat yang menyatakan bahwa ihram untuk haji itu tidak sah kecuali bulan-bulan yang telah ditentukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan jabir. Demikian pula pendapat Atha’, Thawus, dan Mujahid. Sedang dalil menjadi landasannya adalah firman Allah: al hajju asyHurum ma’luumaat (“[Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.”) Lahiriyah ayat ini mengandung pengertian lain yang juga merupakan pendapat para ahli nahwu, yaitu bahwa waktu haji adalah bulan-bulan yang telah ditentukan. Dengan demikian, Allah Ta’ala telah mengkhususkan haji pada bulan-bulan itu di antara bulan-bulan yang ada. Ini menunjukkan bahwasanya ihram untuk haji itu tidak sah jika dilakukan sebelum bulan-bulan itu, sebagaimana halnya dengan waktu shalat.
Imam Syafi’i rahimahullahu meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidak seyogianya seseorang berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji, karena Allah swt. berfirman: al hajju asyHurum ma’luumaat (“[Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.”)
Tentang firman-Nya tersebut al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya; “Yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah.” Hadits mu’allaq yang disebutkan al-Bukhari dengan bentuk pasti, diriwayatkan Ibnu Jarir sebagai hadits maushul, dari Ibnu Umar, dengan isnad shahih. Juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dari Ibnu Umar, dan ia mengatakan bahwa hadits ini memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis katakan, “Hadits ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Zubair, dan Ibnu Abbas. Dan itulah madzhab Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf, dan Abu Tsaur rahimahullahu.” Dan pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Jarir, katanya, “Boleh saja jumlah dua bulan dan sebagian hari dari bulan ketiga diungkapkan dalam bentuk jamak untuk menetapkan yang umum, sebagaimana halnya masyarakat Arab mengatakan, “Saya melihatnya tahun ini.” Padahal yang dimaksudkan adalah sebagian dari tahun saja.
Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’i menurut pendapat lama (qaulul qadim) mengatakan, “Bulan-bulan itu adalah Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzullujjah secara penuh.” Yang demikian itu juga merupakan riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, dari Ibnu Wahab dari Ibnu Juraij, ia menceritakan, pernah kutanyakan kepada Nafi’, “Apakah engkau pernah mendengar Abdullah bin Umar menyebut bulan-bulan haji?” Ia menjawab, “Ya, Abdullah bin Umar menyebutnya Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.”
Ibnu Juraij mengatakan: “Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syihab, Atha’, Jabr bin Abdullah seorang sahabat Nabi. Isnad ini shahih sampai kepada Ibnu Juraij. Wallahu a’lam.
Menurut madzhab Imam Malik, waktu haji itu sarnpai akhir bulan Dzulhijjah, berarti waktu itu dikhususkan untuk menunaikan ibadah haji sehingga tidak diperbolehkan mengerjakan umrah pada sisa hari bulan Dzul-hijjah, bukan berarti haji itu sah dilakukan setelah malam hari Idul Adha.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Thariq bin Syihab, ia menuturkan, Abdullah bin Umar mengatakan, “Musim haji itu adalah bulan-bulan yang telah ditentukan, yang di dalamnya tidak boleh mengerjakan umrah.” Isnad ini adalah shahih.
Ibnu Jarir mengatakan, orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah menghendaki bahwa bulan-bulan itu bukan bulan-bulan umrah, melainkan hanya untuk haji saja, meskipun amalan haji telah selesai dengan berakhirnya hari-hari di Mina. Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Sirin, “Tidak ada seorang ulama pun meragukan bahwa umrah di luar bulan-bulan haji itu lebih baik daripada umrah pada bulan-bulan haji.”
Ibnu Aun juga menceritakan, aku pernah bertanya kepada Qasim bin Muhammad mengenai umrah pada bulan-bulan haji, maka ia pun menjawab, “Mereka berpendapat bahwa hal itu kurang sempurna.”
Sehubungan dengan hal itu penulis (Ibnu Katsir) mengatakan: Telah diriwayatkan dari Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhuma, bahwa keduanya lebih suka mengerjakan umrah di luar bulan-bulan haji, dan melarang mengerjakannya pada bulan-bulan haji. Wallahu a’lam.
Dan firman-Nya: faman faradla fiiHinna hajja (“Barangsiapa yang menetapkan niatnya pada bulan itu akan mengerjakan haji.”) Artinya memastikan ihramnya untuk haji. Hal itu menunjukkan keharusan berihram untuk haji. Ibnu Jarir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan fardhu di sini adalah keharusan dan kepastian.”
Mengenai ayat ini, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Barangsiapa mengerjakan ihram untuk haji atau umrah.” Sedangkan Atha’ mengemukakan, “Yang dimaksud dengan fardhu itu adalah ihram.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibrahim an-Nakha’i, adh-Dhahhak, dan ulama lainnya.
Masih mengenai ayat tersebut di atas, Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, “Tidak selayaknya seseorang bertalbiah untuk haji dan setelah itu ia tetap tinggal di negeri (luar Tanah Haram).”
Menurut Ibnu Abi Hatim, hal ini diriwayatkan pula dari Ibnu Masud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair. Thawus dan Qasim bin Muhammad mengatakan, “Yang dimaksud adalah talbiyah.”
Dan firman-Nya: falaa rafatsa (“Maka tidak boleh rafats.”) Artinya, barangsiapa yang berihram untuk haji atau umrah, maka hendaklah ia menghindari rafats, yaitu hubungan badan. Sebagaimana firman Allah: uhilla lakum lailatash shiyaamir rafatsu ilaa nisaa-ikum (“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu.”) (QS. Al-Baqarah: 187)
Diharamkan pula melakukan hal-hal yang mengantarakan pada rafats, misalnya pelukan, ciuman, dan semisalnya. Demikian juga membicarakannya di hadapan para wanita.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus bahwa Abdullah bin Umar pernah mengatakan, “Ar-Rafats berarti mencampuri isteri dan membicarakan hal itu dengan orang laki-laki maupun perempuan, jika yang demikian itu diucapkan dengan lisan mereka.”
Atha’ bin Abi Rabah mengatakan: “Ar-rafats berarti jima’ (senggama) dan selain itu, misalnya ucapan kotor.” Lebih lanjut Atha’ menuturkan, “Mereka memakruhkan kata sindiran yang kotor ketika sedang berihram.”
Dan Thawus mengatakan: “Yang dimaksud ar-rafats adalah seorang laki-laki mengatakan kepada isterinya, jika aku telah bertahallul, aku akan mencampurimu.”
Dan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “ar-rafats berarti mencampuri isteri, mencium, atau kedipan mata, serta mengucapkan kata-kata kotor kepadanya.”
Dan firman-Nya: wa laa fusuuqa (“[Dan jangan berbuat] kefasikan.”) Muqsim dan beberapa ulama lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Yaitu segala perbuatan maksiat.” Sedangkan ulama lainnya menuturkan: “Yang dimaksud al-fusuq di sini adalah caci maki.” Demikian dikatakan Ibnu Abbas dan Umar. Mereka ini berpegang pada apa yang ditegaskan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah bersabda: “Mencaci maki orang muslim itu merupakan suatu kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran.” Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan, “al-fusuq berarti memberi gelar buruk.”
Yang benar adalah mereka yang mengartikan al-fusuq di sini segala bentuk kemaksiatan, sebagaimana Allah melarang kezhaliman pada bulan-bulan haji, meskipun kezhaliman itu sendiri sebenarnya dilarang sepanjang tahun, hanya saja pada bulan-bulan haji hal itu lebih ditekankan lagi. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Di antara empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu.” (at-Taubah: 36)
Dia juga berfirman tentang tanah haram: “Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25). Wallahu a’lam.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ke rumah ini (Baitullah), lalu ia tidak melakukan rafats, dan tidak pula berbuat kefasikan, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”
Dan firman Allah Ta’ala: wa laa jidaala fil hajji (“Dan tidak boleh berbantah-bantahan pada masa mengerjakan haji.”) Mengenai firman-Nya ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, tidak boleh berbantah-bantahan pada waktu haji dalam mengerjakan manasik. Dan Allah swt. telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempuma. Sebagaimana Waqi’ menceritakan, dari al-‘Ala’ bin Abdul Karim, aku pemah mendengar Mujahid membaca: wa laa jidaala fil hajji (“Dan tidak boleh berbantah-bantahan pada masa mengerjakan haji.”) seraya mengatakan, Allah telah menjelaskan bulan-bulan haji yang di dalamnya tidak terdapat perkara yang perlu diperdebatkan di kalangan umat manusia.
Masih mengenai firman-Nya ini, Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Yang dimaksudkan adalah bertengkar dalam haji.”
Sedangkan Abdullah bin Wahab meriwayatkan dari Imam Malik katanya, Allah Ta’ala berfirman: wa laa jidaala fil hajji (“Dan tidak boleh berbantah-bantahan pada masa mengerjakan haji.”) Maksudnya, [Wallahu a’lam] bahwa orang-orang Quraisy pada waktu haji berwukuf di Masy’arilharam di Muzdalifah, sedang orang-orang Arab dan juga yang lainnya berwukuf di Arafah, mereka saling berbantah-bantahan. Satu kelompok menyatakan, “Kami yang lebih benar.” Dan kelompok lainnya mengaku: “Kamilah yang lebih benar.” Demikian itulah pendapat kami. Wallahu a’lam.
Inti dari pendapat-pendapat tersebut yang menjadi pilihan Ibnu Jarir, yaitu menghentikan perselisihan dalam manasik haji. Wallahu a’lam.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan berbantah-bantahan di sini adalah perselisihan. Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud, mengenai firman Allah Ta’ala: wa laa jidaala fil hajji (“Dan tidak boleh berbantah-bantahan pada masa mengerjakan haji.”) adalah jika engkau mencaci sahabatmu hingga membuatnya marah.”
Demikian pula yang diriwayatkan Muqsim dan adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas. Wallahu a’lam.
Dalam musnadnya, Imam Abd bin Humaid meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, katanya, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menuntaskan manasiknya dan kaum muslimin selamat dari lidah dan tangannya, maka ia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah lalu.” (Dla’if: Didla’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dla’iiful Jaami’ [5793])
Dan firman-Nya: wa maa taf’aluu min khairiy ya’lamHullaaHu (“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.”) Setelah Allah melarang mereka melakukan hal-hal yang buruk, baik melalui lisan maupun perbuatan, Dia memerintah mereka berbuat kebaikan seraya memberitahukan bahwa Dia mengetahuinya dan akan memberikan pahala sebanyak-banyaknya itas semua itu pada hari kiamat kelak.
Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wa tazawwaduu fa inna khairaz zaadit taqwaa (“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”) Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ada beberapa orang yang pergi meninggalkan keluarga mereka dengan tidak membawa perbekalan seraya berucap: “Kami akan menunaikan haji ke Baitullah, apakah mungkin Allah tidak memberi makan kami?”‘ Maka Allah pun berfirman (yang maknanya) “Berbekallah kalian, dengan sesuatu yang dapat menjaga kehormatan wajah kalian dari manusia.”
Sedangkan hadits Warqa’ diriwayatkan al-Bukhari dari Yahya bin Bisyr, dari Syababah, juga diriwayatkan Abu Dawud, dari Ibnu Abbas, katanya, “Ketika itu penduduk Yaman menunaikan ibadah haji, tetapi mereka tidak membawa bekal, dan mereka berujar, ‘Kami adalah orang-orang yang bertawakal.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, wa tazawwaduu fa inna khairaz zaadit taqwaa (“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”)
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dari Syababah.
Sedangkan firman-Nya: fa inna khairaz zaadit taqwaa (“Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”) Setelah Allah menyuruh mereka membekali diri dalam melakukan perjalanan di dunia, Dia membimbing mereka untuk membekali diri menuju akhirat, yaitu bekal takwa. Sebagaimana firman-Nya: wariisyaw wa libaasut taqwaa dzaalika khaiir (“Dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”) (QS. Al-A’raaf: 26)
Setelah Allah swt. menyebutkan pakaian yang bersifat material, ia membimbing mereka kepada pakaian yang bersifat immaterial, yaitu kekhusyu’an, ketaatan, dan ketakwaan. Kemudian Dia menyebutkan bahwa pakaian terakhir ini lebih baik dan bermanfaat daripada pakaian yang pertama. Mengenai firman-Nya: fa inna khairaz zaadit taqwaa; Atha al-Khurasani mengatakan: “Yaitu bekal akhirat.”
Wat taquunii yaa ulil albaab (“Dan bertawakallah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”) Dia berfirman, takutlah akan hukuman siksa dan adzab-Ku bagi orang-orang yang menentang-Ku, dan tidak mau menjalankan perintah-Ku, hai orang-orang yang berakal dan dapat memahami.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top