Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 219-220

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 219-220

13APR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 219-220“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan Judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebib besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219) tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, ktakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu, dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 220)
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Umar bin Khaththab, ia menceritakan bahwa ketika turun ayat pengharaman khamr, ia berdo’a, “Ya Allah terangkanlah kepada kami ihwal khamr sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang ada dalam Surat al-Bagarah ini: yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisiri qul fiiHimaa itsmun kabiirun (“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan Judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa yang besar.”) Kemudian Umar dipanggil dan dibacakan ayat itu kepadanya. Maka ia pun berdo’a lagi: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai masalah khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ [yang artinya]: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk. ” (QS. An-Nisaa’: 43).
Dan seorang muadzin Rasulullah jika mengumandangkan iqamah shalat, ia mengucapkan: “Jangan sekali-kali orang yang dalam keadaan mabuk mendekati shalat.” Kemudian Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut, maka ia pun berdo’a pula: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Maidah [yang artinya]: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). ” (QS. Al-Maidah: 91)
Lalu Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut, dan ketika bacaan itu sampai pada kalimat, “FaHal antum muntaHuun (“berhentilah kamu [dari mengerjakan perbuatan itu]”) Umar berkata, “Kami berhenti, kami berhenti.”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Ali bin al-Madini mengatakan, isnad hadits ini shaleh (bagus), shahih, dan dishahihkan oleh Tirmidzi. Dan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, ia menambahkan setelah kalimat, “Kami berhenti, kami berhenti,” yaitu kalimat, “Karena ia dapat menghilangkan harta benda dan menghilangkan akal fikiran.”
Hadits ini juga akan diuraikan lebih lanjut bersamaan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad melalui jalan Abu Hurairah, pada pembahasan surat al-Maidah ayat 90 yang artinya berbunyi:
“Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maa-idah: 90)
Firman Allah: yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisiri (“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.”) Sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khaththab ra, kamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal. Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan ayat dalam surat al-Maa-idah. Demikian juga dengan pengertian maisir yang berarti al-qimar (Judi).
Firman-Nya selanjutnya: qul fiiHimaa itsmun kabiiruw wa manaafi’u lin naasi (“Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia.”) Dosanya itu menyangkut masalah agama, sedangkan manfaatnya berhubungan dengan masalah duniawi, yakni minuman itu bermanfaat bagi badan, membantu pencernaan makanan, dan mengeluarkan sisa-sisa makanan, mempertajam sebagian pemikiran, kenikmatan dan daya tariknya yang menyenangkan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Hassan bin Tsabit pada masa jahiliyahnya:
Kami meminumnya hingga kami terasa sebagai raja dan singa.
Yang pertemuan itu tidak menghentikan kami.
Demikian juga menjualnya dan memanfaatkan uang hasil dari penjualannya. Dan juga keuntungan yang mereka dapatkan dari permainan judi, lalu mereka nafkahkan untuk diri dan keluarganya. Tetapi faedah tersebut tidak sebanding dengan bahaya dan kerusakan yang terkandung di dalamnya, karena berhubungan dengan akal dan agama. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: wa itsmuHumaa akbaru min naf’iHimaa (“Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”)
Oleh karena itu, ayat ini diturunkan sebagai pendahulu untuk mengharamkan khamr secara keseluruhan, tapi larangan itu masih dalam bentuk sindiran belum secara tegas. Karenanya, ketika dibacakan ayat ini kepada Umar bin Khaththab berdo’a: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Maidah yang secara tegas mengharamkan khamr.
Ibnu Umar, asy-Sya’bi, Mujahid, Qatadah, Rabi’ bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Ayat-ayat yang pertama kali turun berkenaan dengan khamr, yaitu firman-Nya [yang artinya]: “Mereka bertanya kepadamu tentang minuman khamr dan judi. Katakanlah, Pada keduanya itu terdapat dosa yang besar.” Ayat yang terdapat dalam surat an-Nisa’, kemudian yang terdapat dalam surah al-Maidah, hingga akhirnya secara tegas khamr tersebut diharamkan.”
Firman Allah: wa yas-aluunaka maa dzaa yunfiquuna qulil ‘afwa (“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan.”) Kata al-‘afw dibaca manshub atau marfu’ dan kedua-duanya baik, beralasan dan berdekatan. Ibnu Abi Hatim menceritakan, ayahku memberitahu kami, ia menuturkan bahwa Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah pernah mendatangi Rasulullah seraya mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai sejumlah budak dan keluarga, bagaimana kami menginfakkan harta kami?” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: wa yas-aluunaka maa dzaa yunfiquuna (“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.”)
Mengenai firman Ta’ala ini, al-Hakam menceritakan dari Muqsim, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Apa yang lebih dari (kebutuhan untuk) keluargamu.”
Hal senada-juga diriwayatkan dari Ibnu Umar; Mujahid, Atha’, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab, Hasan al-Bashri, Qatadah, al-Qasim, Salim, Atha’ Al-Khurasani, Rabi’ bin Anas, dan ulama-ulama lainnya, mengenai firman Allah Ta’ala: “qulil ‘afwa” mereka mengatakan: “Yaitu kelebihan.”
Diriwayatkan dari Thawus, “Yaitu bagian kecil dari segala sesuatu”.
Sedangkan menurut Rabi’ bin Anas, “Yaitu sesuatu yang terbaik dan paling utama dari apa yang engkau miliki”. Tetapi semuanya kembali kepada kelebihan.
Dalam tafsirnya, Abd bin Humaidi meriwayatkan dari al-Hasan mengenai firman Allah: wa yas-aluunaka maa dzaa yunfiquuna qulil ‘afwa; ia mengatakan: “Janganlah engkau menginfakkan seluruh hartamu, lalu engkau duduk sambil meminta-minta kepada orang lain.” Berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan: “Ada seseorang yang mengatakan: ‘Ya Rasulullah, aku mempunyai satu dinar.’ Maka beliau bersabda: `Nafkahkanlah untuk dirimu sendiri.’ Orang itu menjawab: ‘Aku masih punya yang lain lagi.’ Dan beliau pun bersabda: ‘Nafkahkanlah untuk keluargamu.’ Orang itu masih berkata lagi: ‘Aku masih punya yang lain lagi, ya Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Nafkahkanlah untuk anakmu.’ ‘Aku masih punya dinar yang lain lagi.’ Dan Rasulullah bersabda: ‘Engkau lebih tahu (kepada siapa uang itu harus dinafkahkan).’” (Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam kitab shahih)
Firman Allah berikutnya: kadzaalika yubayyinullaaHu lakumul aayaati la’allakum tatafakkaruuna fid dun-yaa wal aakhirati (“DemikianlahAllah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir tentang dunia dan akhirat.”) Artinya, sebagaimana Allah Ta’ala telah memberikan rincian dan menjelaskan hukum-hukum ini kepada kalian sebagaimana Dia telah menjelaskan ayat-ayat tentang hukum, janji, dan ancaman-Nya agar kalian memikirkan tentang dunia dan akhirat.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, (makna ayat itu) yaitu tentang kefanaan dan sirnanya dunia serta datangnya negeri akhirat dan kekekalannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sha’aq at-Tanimi, ia menuturkan, aku pernah menyaksikan al-Hasan sedang membaca ayat dari Surat al-Baqarah ini: la’allakum tatafakkaruuna fid dun-yaa wal aakhirati; lalu ia berkata: “Demi Allah, barangsiapa memikirkannya, maka ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat yang penuh cobaan dan ujian, serta tidak abadi. Sedangkan akhirat adalah tempat pemberian balasan dan kekal.” Demikian dikemukakan oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan ulama lainnya.
Abdur Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Qatadah, “Agar mereka mengetahui kelebihan akhirat atas dunia.” Dan dalam riwayat lain dari Qatadah: “Maka hendaknya kalian lebih mengutamakan akhirat daripada dunia”.
Firman Allah yang artinya:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.” Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ketika turun ayat: wa laa taqrabul maalal yatiimi illaa bil laatii Hiya ahsan (“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali melalui cara yang lebih baik.”) (QS. Al-An’am: 152), dan ayat [yang artinya]:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (QS. An-Nisaa’: 10). Maka (dengan turunnya ayat tersebut) orang yang mengasuh anak yatim langsung memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak yatim yang diasuhnya. Lalu ia menyisakan sebagian dari makanannya dan ia simpan untuk si yatim, sampai si yatim memakannya, atau makanan itu jadi basi. Karena hal itu menyulitkan mereka (pengasuh anak yatim), lalu mereka melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. maka Allah pun menurunkan ayat:
Yas-aluunaka ‘anil yataamaa qul ishlaahul laHuu khairuw wa in tukhaalithuuHum fa ikhwaanukum (“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu.”)’ Setelah itu mereka pun menggabung makanan dan minuman mereka dengan makanan dan minuman anak yatim.
Kisah ini diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Dan begitu juga yang disebutkan oleh banyak ulama berkenaan dengan turunnya ayat ini, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf.
Jadi firman-Nya: qul ishlaahul laHum khairun (“Katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik,”) yakni secara terpisah. Wa in tukhaalithuuHum fa ikhwaanukum (“Dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu.”) Artinya, kalian juga boleh menggabungkan makanan dan minuman kalian dengan makanan dan minuman mereka, karena mereka adalah saudara kalian seagama.
Oleh karena itu Allah berfirman: wallaaHu ya’lamul mufsida minal mushlih (“Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.”) Artinya, Dia mengetahui orang yang berniat membuat kerusakan dari orang bemiat melakukan perbaikan.
Firman Allah: walau syaa-AllaaHu la a’natakum innallaaHa ‘aziizun hakim (“Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Maksudnya, seandainya Allah menghendaki, niscaya dapat mempersulit dan memberatkan kalian, tetapi Dia memberikan keleluasaan dan keringanan kepada kalian, serta membolehkan kalian menggabungkan makanan dan minuman kalian dengan makanan dan minuman mereka, dengan cara yang lebih baik. Allah swt. telah berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik.” (QS. Al-An’am: 152) Bahkan Allah membolehkan makan dari harta anak yatim itu bagi orang yang membutuhkan, dengan cara yang baik, baik dengan syarat harus menggantinya bagi yang mampu atau secara cuma-cuma. Sebagaimana hal itu akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan surat an-Nisaa’, insya Allah.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top