Saturday, June 9, 2018

[QS2:272-274] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 272-274 – Bimbingan Allah dalam berinfak

0 Comments

– Bimbingan Allah dalam berinfak

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 272-274

APR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 272-274“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 272) (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleb jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui. (QS. Al-Baqarah: 273) Orang-orang yang menafkahkan bartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan; maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 274)
Abu Abdurrahman an-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, dahulu mereka tidak suka memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka. Maka turunlah ayat ini: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Firman-Nya: wa maa tunfiquu min khairin fali-anfusikum (“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan [di jalan Allah], maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.”)
Firman-Nya ini sama seperti firman-Nya yang berikut ini: man ‘amila shaalihan falinafsiHi (“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka [pahalanya] untuk dirinya sendiri.”) (QS. Fushshilat: 46). Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup banyak di dalam al-Qur’an.
Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa maa tunfiquuna ilabtighaa-a wajHillaaHi (“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.”) Hasari Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam rangka mencari keridhaan Allah swt.
Atha’ al-Khurasani mengatakan: “Yakni, jika engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah, maka pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari keridhaan Allah swt, maka pahalanya terserah pada Allah, dan tidak ada masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya.
Yang menjadi sandaran dalam hal ini adalah kelanjutan ayat berikut: wa maa tunfiquu min khairiy yuwaffa ilaikum wa antum laa tudh-lamuun (“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianianya (dirugikan).”)
Juga berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dalam shahihain, melalui jalan Abu Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’ Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan pencuri.’ Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya: “Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sedangkan firman-Nya: lil fuqaraa-il ladziina uhshiruu fii sabiilillaaHi (“Berikanlah kepada orang orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah.”) Yakni orang-orang Muhajirin yang telah mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta menetap di Madinah. Mereka tidak memiliki sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Laa yastathii’uuna dlarban fil ardli (“Mereka tidak dapat berusaha di muka bumi.”) Maksudnya, mereka tidak dapat pergi mencari penghidupan dan berjalan di bumi ini, maksudnya ialah bepergian (safar). Allah berfirman yang artinya: “Dan jika kamu bepergian di muka bumi ini, maka tidak mengapa kamu meng-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisaa’: 101) .
Dan firman Allah: yahsabuHumul jaaHilu agniyaa-a minat ta’affufi (“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.”) Maksudnya orang-orang yang tidak mengetahui persoalan dan keadaan mereka menduga bahwa mereka itu orang-orang kaya karena sikap iffahnya (penjagaan dirinya) dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.
Mengenai makna ini terdapat sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling untuk meminta-minta satu dua buah kurma, satu dua suap makanan dan satu dua kali makan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan yang mencukupinya dan tidak mampu berusaha, maka diberikan kepadanya shadaqah dan dia tidak meminta apa pun pada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dari Hadits Ibnu Mas’ud.
Firman-Nya lebih lanjut: ta’rifuHum bisimaaHum (“Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.”) Yaitu sifat-sifat yang nampak dari mereka, bagi orang-orang yang berpikir. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt: siimaaHum fii wujuuHiHim (“Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud.”) (QS. Al-Fath: 29).
Sedangkan dalam Hadits yang lain juga pernah diriwayatkan mengenai hal yang serupa, di mana Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia memandang dengan nur Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat: inna fii dzaalika la aayaatil lil mutawassimiin (“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda [kekuasaan Kami] bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.”) (QS. Al-Hijr: 75).
Selanjutnya firman Allah Ta’ala berikut ini: laa yas-aluunan naasa ilhaafan (“Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak.”) Artinya, mereka tidak mendesak dalam meminta-minta serta tidak memaksa orang-orang dengan sesuatu yang tidak mereka butuhkan. Sesungguhnya orang yang meminta-minta, sedang ia mempunyai apa yang mencukupi dirinya sehingga tidak perlu baginya meminta-minta, maka berarti ia telah meminta dengan mendesak.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Sa’id, dari ayahnya, ia menceritakan: “Ibuku pernah mengutusku kepada Rasulullah untuk meminta sesuatu kepada beliau, maka aku pun mendatangi beliau dan duduk. Rasulullah saw. menghampiriku, seraya bersabda: ‘Barangsiapa yang sudah merasa kaya, maka Allah akan menjadikannya kaya, dan barangsiapa yang menjaga kesucian (tidak meminta-minta), maka Allah akan menjaga kesuciannya, dan barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah pun akan memberikan kecukupan baginya. Dan barangsiapa yang meminta-minta sedang ia mempunyai 40 dirham (uqiyah), berarti ia telah meminta secara mendesak.’” Kemudian Abu Sa’id menuturkan, lalu aku bergumam: “Unta punyaku lebih baik daripada uqiyah (40 dirham).” Setelah itu aku pun kembali pulang, dan tidak jadi meminta kepada beliau.”
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i.
Firman Allah selanjutnya: wa maa tunfiquu min khairin fa innallaaHa biHii ‘aliim (“Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan [di jalan Allah], maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui.”) Maksudnya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari Allah Ta’ala. Dan Dia akan memberikan balasan pahala yang lebih banyak dan sempurna kepadanya pada hari kiamat kelak, dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan olehnya.
Dan firman-Nya berikutnya: alladziina yunfiquuna amwaalaHum bil laili wan naHaari sirraw wa ‘alaa niyatan falaHum ajruHum ‘inda rabbiHim walaa khaufun ‘alaiHim walaa Hum yahzanuun (“Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”)
Ini merupakan pujian dari Allah swt. bagi orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan-Nya serta mencari keridhaan-Nya sepanjang waktu, baik malam maupun siang hari, serta dalam setiap keadaan, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Bahkan nafkah yang diberikan kepada keluarga pun termasuk dalam hal itu juga.
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Hadits yang terdapat dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), bahwa Rasulullah pernah bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ketika ia menjenguk beliau pada saat sedang sakit pada tahun pembebasan kota Makkah. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan pada tahun hail wada’. Beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau tidaklah menginfakkan sesuatu infak dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah melainkan akan bertambah derajat dan ketinggian, bahkan apa yang dimakan oleh isterimu.”
Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Mas’ud ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim apabila memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala dari Allah, maka nafkah itu merupakan sedekah baginya.” (HR. Ahmad).
Hadits tersebut juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Syu’bah.
Dan firman Allah berikutnya: falaHum ajruHum ‘inda rabbiHim (“Maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka.”) Yaitu pahala pada hari kiamat kelak atas infak yang telah mereka keluarkan dengan penuh ketaatan.
Walaa khaufun ‘alaiHim walaa Hum yahzanuun (“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”) Mengenai penggalan ayat yang terakhir ini telah diuraikan sebelumnya.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top