Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 185
6APR
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah memuliakan bulan puasa di antara bulan-bulan lainnya dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya al-Qur’an al-Adhim. Dia memberikan keistimewaan ini pada bulan Ramadhan sebagaimana telah dinyatakan dalam hadits bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab-kitab ilahiah diturunkan kepada para Nabi.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, meriwayatkan dari Watsilah bin al-Asqa’, bahwa Rasulullah bersabda: “Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadhan, dan al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad)
Shuhuf Ibrahim, kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada nabi penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan al-Qur’an diturunkan secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi pada bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar. Sebagaimana firman-Nya: innaa anzalnaaHu fii lailatil qadr (“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan.”) (QS. Al-Qadar: 1)
Dia juga berfirman: innaa anzalaaHu fii lailatim mubaarakatin (“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.”) (QS. Ad-Dukhan: 3)
Setelah itu, al-Qur’an diturunkan bagian demi bagian kepada Rasulullah sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas, melalui beberapa jalur.
Sedangkan firman Allah: Hudal linnaasi wa bayyinaatim minal Hudaa wal furqaan (“Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda [antara yang hak dan yang batil].”) Ini merupakan pujian bagi al-Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya.
Wa bayyinaatin (“Dan penjelasan penjelasan.”) Yaitu Sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.
Dan firman-Nya: faman syaHida minkumusy syaHra falsamumHu (“Barangsiapa di antara kamu hadir [di negeri tempat tinggalnya] pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.”) Ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi orang yang menyaksikan permulaan bulan (Ramadhan), artinya bermukim di tempat tinggalnya (tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk bulan Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam keadaan sehat fisik, maka ia harus berpuasa. Ayat ini menasakh dibolehkannya orang sehat yang berada ditempat tinggalnya untuk tidak berpuasa tetapi mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan fidyah berupa pemberian makan kepada orang miskin untuk setiap hari ia berbuka. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dan tatkala menutup masalah puasa, Allah kembali menyebutkan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat harus mengqadhanya. Dia berfirman: wa man kaana mariidlan au ‘alaa safarin fa ‘iddatum min ayyaamin ukhara (“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”) Artinya, barangsiapa yang fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat atau terganggu jika berpuasa, atau sedang dalam perjalanan, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia harus menggantinya pada hari-hari yang lain sejumlah yang ditinggalkan.
Oleh karena itu Dia berfirman: yuriidullaaHu bikumul yusra wa laa yuriiidu bikumul ‘usra (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”) Maksudnya, Dia memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka ketika dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, namun tetap mewajibkan puasa bagi orang yang berada di tempat tinggalnya dan sehat. Ini tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagi kalian.
Di sini terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan ayat tersebut di atas:
Pertama, dalam sunnah telah ditegaskan bahwa Rasulullah pernah keluar pada bulan Ramadhan untuk perang pembebasan kota Mekkah. Beliau berjalan hingga sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang-orang untuk berbuka. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih.
Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan berbuka ketika dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman Allah: fa ‘iddatum min ayyaamin ukhara (“maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”)
Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib, niscaya Rasulullah mengecam puasa sebagian dari mereka.
Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib, niscaya Rasulullah mengecam puasa sebagian dari mereka.
Bahkan ditegaskan bahwasanya Rasulullah pernah berpuasa dalam keadaan seperti itu. Berdasarkan hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’, katanya, “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan ketika musim panas sekali, sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.”
Ketiga, segolongan ulama di antaranya Imam Syafi’i berpendapat bahwa puasa ketika dalam perjalanan itu lebih afdhal daripada berbuka. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah dikerjakan Rasulullah, sebagaimana disebutkan pada hadits di atas. Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan itu afdhal, sebagai realisasi rukhsah, dan berdasarkan hadits bahwa Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka beliau pun menjawab: “Barangsiapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan barangsiapa tetap berpuasa, maka tiada dosa baginya.” (HR. Muslim)
Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya: “Ya, Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.” (Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah lebih baik. Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa Rasulullah pernah menjumpai seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya, “Mengapa dia ini?” Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda, “Bukan termasuk kebajikan berpuasa ketika dalam perjalanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Keempat, mengenai masalah qadha puasa, apakah harus dilakukan secara berturut-turut atau boleh berselang-seling. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
1. Qadha’ puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’ mengekspresikan pelaksanaan.
2. Tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling dan boleh juga secara berturut-turut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dan hal ini didasarkan pada banyak dalil, karena pelaksanaan puasa secara berturut-turut hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadhan, karena pentingnya pelaksanaannya pada waktu itu. Ada pun setelah berakhirnya Ramadhan yang dituntut adalah gadha’ puasa pada hari-hari lain sejumlah yang ditinggalkan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa ‘iddatum min ayyaamin ukhar (“Maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
1. Qadha’ puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’ mengekspresikan pelaksanaan.
2. Tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling dan boleh juga secara berturut-turut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dan hal ini didasarkan pada banyak dalil, karena pelaksanaan puasa secara berturut-turut hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadhan, karena pentingnya pelaksanaannya pada waktu itu. Ada pun setelah berakhirnya Ramadhan yang dituntut adalah gadha’ puasa pada hari-hari lain sejumlah yang ditinggalkan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa ‘iddatum min ayyaamin ukhar (“Maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Setelah itu, Allah Ta’ala berfirman: yuriidullaaHu bikumul yusra wa laa yuriiidu bikumul ‘usra (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”)
Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari Syu’bah, dari Abu at-Tayyah, katanya, aku pemah mendengar Anas bin Malik berkata, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: “Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Tenangkanlah dan janganlah membuat (orang) lari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan pula dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah pernah bertutur kepada Mu’adz dan Abu Musa ketika beliau mengutus keduanya ke Yaman: “Sampaikanlah berita gembira dan janganlah kalian menakut-nakuti, berikanlah kemudahan dan janganlah mempersulit, bersepakatlah dan janganlah kalian berselisih.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalam kitab-kitab al-Sunan dan al-Musnad juga diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku diutus dengan membawa agama tauhid yang ramah.” (Dha’if: Lafazh ini dha’if sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’iiful Jaami’ (2336).-ed.)
“Aku diutus dengan membawa agama tauhid yang ramah.” (Dha’if: Lafazh ini dha’if sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’iiful Jaami’ (2336).-ed.)
Dan firman-Nya: yuriidullaaHu bikumul yusra wa laa yuriiidu bikumul ‘usra wa litukmilul ‘iddata (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya.”) Artinya, Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan, atau disebabkan alasan-alasan lainnya yang semisal, karena Dia menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan perintah untuk mengqadha puasa itu dimaksudkan untuk menggenapkan bilangan puasa kalian menjadi sebulan.
Firman Allah: wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum (“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”) maksudnya supaya kamu mengingat Allah sesuai ibadah kalian. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadab hajimu, maka berdzikirlah [dengan menyebut] Allah, sebagaimana yang menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek moyangmu, atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200)
Oleh karena itu, sunnah Rasulullah menganjurkan untuk bertasbih, bertahmid, dan takbir setelah mengerjakan shalat wajib. Ibnu Abbas mengatakan: “Kami tidak mengetahui berakhimya shalat Rasulullah kecuali dengan takbir.”
Untuk itu banyak ulama yang mengambil pensyari’atan takbir pada hari raya Idul Fitri dari ayat ini: wa litukmilul ‘iddata wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum (“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”)
Bahkan Daud bin Ali al-Asbahani az-Zhahiri mewajibkan pengumandangan takbir pada hari raya Idul Fitri, berdasarkan pada perintah dalam firman-Nya: wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum (“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”)
Sebaliknya, madzhab Abu Hanifah rahimahullahu menyatakan bahwa takbir tidak disyariatkan pada hari raya Idul Fitri. Sementara ulama lainnya menyatakan sunnah, dengan beberapa-perbedaan dalam rincian sebagian furu’ di antara mereka.
Sedang firman-Nya: wa la’allakum tasykuruun (“Supaya kamu bersyukur.”) artinya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, berupa ketaatan kepada-Nya, dengan menjalankan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.
&
No comments:
Post a Comment