Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 18-20

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 18-20

2MAR
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 18-20“Allah menyatakan bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 3:18) Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS. 3:19) Kemudian jika mereka mendebatmu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.’ Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab, dan kepada orang-orang yang ummi: ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam.’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. 3:20)
Allah bersaksi, dan cukuplah Dia saja sebagai saksi, karena Dia yang paling jujur sebagai saksi dan paling adil, serta paling benar perkataannya, annaHuu laa ilaaHa illaa Huwa (“Bahwasanya tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] melainkan Dia.”) Hanya Dia saja yang berhak sebagai Ilah bagi seluruh makhluk. Dan bahwa semuanya selain Dia adalah hamba dan ciptaan-Nya, semuanya butuh kepada-Nya, sedang Dia tidak butuh sama sekali kepada selain-Nya. Sebagaimana firman-Nya, laakinillaaHu yasy-Hadu bimaa anzala ilaika (“Tetapi Allah memberikan kesaksian atas apa yang diturunkan kepadamu.”) (QS. An-Nisaa’: 166)
Setelah itu Dia mempersandingkan kesaksian para Malaikat-Nya dan orang-orang yang berilmu dengan kesaksian-Nya seraya berfirman, syaHidallaaHu annaHuu laa ilaaHa illaa Huwa wal malaa-ikatu wa ulul ‘ilmi (“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] melainkan Dia, demikian juga para Malaikat dan orang-orang yang berilmu.”) Yang demikian itu merupakan keistimewaan yang besar bagi para ulama dalam kedudukan ini. Qaa-imam bil qisthi (“Yang menegakkan keadilan.”) Yaitu dalam segala hal dan keadaan. Laa ilaaHa illaa Huwa (“Tidak ada Ilah [yang haq] melainkan Dia.”) Hal ini dimaksudkan untukmemberikan penegasan bagi (kalimat)yang sebelumnya. Al ‘aziizul hakiim (“Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Yaitu Mahaperkasa yang keagungan dan kebesaran-Nya tidak dapat dijangkau, dan yang Mahabijaksana dalam perkataan, perbuatan-perbuatan, syari’at dan ketetapan-Nya.
Imam Ahmad pernah meriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwam, dia berkata, aku pernah mendengar Nabi pada waktu berada di ‘Arafah membaca ayat ini, “syaHidallaaHu annaHuu laa ilaaHa illaa Huwa wal malaa-ikatu wa ulul ‘ilmi qaa-imatam bil qisthi laa ilaaHa illaa Huwal ‘aziizul hakiim (“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu [juga menyatakan yang demikian itu]. Tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Dia. Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Lalu beliau bersabda: “Dan terhadap hal itu aku termasuk orang-orang yang memberi kesaksian, ya Rabbku.” (Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim melalui jalan lain).
Firman-Nya, innad diina ‘indallaaHil islaam (“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”) Ini merupakan kabar dari Allah bahwasanya tidak ada agama di sisi-Nya yang diterima dari seseorang selain Islam. Yaitu mengikuti para Rasul dalam setiap apa yang mereka bawa pada setiap saat hingga berakhir pada Muhammad. Yang mana jalan menuju diri-Nya ditutup kecuali melalui jalan Muhammad. Maka barangsiapa menemui Allah (meninggal dunia) setelah diutusnya Muhammad dalam keadaan memeluk agama yang tidak sejalan dengan syari’at-Nya, tidak akan pernah diterima. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: wa may yabtaghii ghaira islaami diinan falay yuqbala minHum (“siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima [agama itu] daripadanya.”)
Melalui ayat ini, Allah memberitahukan pembatasan, bahwa agama yang diterima di sisi-Nya hanyalah Islam, innad diina ‘indallaaHil islaam (“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”)
Ibnu Jarir menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah membaca ayat: syaHidallaaHu annaHuu laa ilaaHa illaa Huwa wal malaa-ikatu wa ulul ‘ilmi qaa-imatam bil qisthi laa ilaaHa illaa Huwal ‘aziizul hakiim. innad diina ‘indallaaHil islaam (“Allah bersaksi tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu [juga menyatakan yang demikian itu]. Tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia. Yang Mahaperkasa lagi Mababijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”)
Ibnu ‘Abbas membacanya dengan kasrah pada kata “annaHuu” yaitu menjadi “innaHuu” dan membacanya dengan fathah pada kata “inna” menjadi “anna”. Maksudnya bahwa Allah, Malaikat, dan orang-orang yang berilmu bersaksi bahwa agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam. Sedangkan Jumhur Ulama membacanya dengan kasrah yang berkedudukan sebagai khabar (predikat) Dan kedua makna tersebut benar. Tetapi pendapat Jumhur ulama lebih tepat dan jelas. Wallahu a’lam.
Selanjutnya Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang telah diberi al-Kitab di masa-masa yang lalu berbeda pendapat setelah adanya hujjah bagi mereka dengan diutusnya para Rasul kepada mereka serta diturunkannya kitab-kitab kepada para Rasul tersebut. Dia berfirman, wa makhtalafalladziina uutul kitaaba illaa mim ba’di maa jaa-a Humul ‘ilmu baghyam bainaHum (“Tidak berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian [yang ada] di antara mereka.”) Maksudnya, sebagian mereka merasa dengki atas sebagian lainnya sehingga mereka berselisih dalam hal kebenaran lantaran mereka saling dengki dan benci serta saling membelakangi. Lalu sebagian mereka membawa kebencian kepada sebagian yang lain, kepada penentangan terhadap sebagian yang lain dalam seluruh ucapan dan perbuatannya, meskipun benar.
Kemudian Allah berfirman: wa may yakfuru billaaHi (“Barangsiapa kafir terhadap ayat-ayat Allah.”) Yaitu barangsiapa mengingkari apa yang telah diturunkan Allah dalam Kitab-Nya. Fa innallaaHa sarii’ul hisaab (“Maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”) Maksudnya, Allah akanmemberikan balasan atas perbuatan tersebut dan menghisabnya atas kedustaan yang telah diperbuatnya serta menyiksanya atas penolakannya terhadap Kitab-Nya.
Lalu Dia berfirman, fa in haajjuuka (“Kemudian jika mereka mendebat kamu.”) Yaitu mendebatmu dalam hal tauhid, faqul aslamtu wajHiya lillaaHi wa manit taba’anii (“Maka katakanlah: ‘Aku menyerahkan diri kepada Allah dan demikian juga orang-orang yang mengikutiku.”‘) Yaitu, katakanlah: “Aku telah mengikhlaskan ibadahku hanya untuk Allah semata, yang tiada sekutu, tiada tandingan, tiada beranak, dan tiada pula isteri bagi-Nya.” Wa manit taba’ani (“Dan orang-orang yang mengikutiku.”) Yaitu mengikuti agamaku dan mengatakan seperti yang aku katakan, sebagaimana Dia berfiirman, qul HaadziHii sabiilii ad’uu ilallaaHi ‘alaa bashiiratin ana wa manit taba’anii (“Katakanlah: `Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak [kamu] kepada Allah dengan hujjah yang nyata.’”) (QS. Yusuf: 108)
Kemudian melalui firman-Nya, Dia memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad untuk mengajak Ahlul Kitab dan orang-orang yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis) dari kalangan orang-orang musyrik menuju jalan dan agama-Nya serta masuk dalam syari’at-Nya seraya berfirman,
wa qul lilladiina uutul kitaaba wal ummiyyiina a-as-lamtum fa in as-lamuu faqadiHtadaw wa in tawallaw fa innamaa ‘alaikal balaaghu (“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: Apakah kalian mau masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan [ayat-ayat Allah saja.”) Maksudnya, Allah Ta’ala-lah yang akan menghisab mereka, dan hanya kepada-Nya mereka kembali. Dialah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki hikmah yang sempurna dan hujjah yang jelas lagi kuat.
Oleh karena itu Dia berfirman, wallaaHu bashiirum bil ibaad (“Dan Allah Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya.”) Maksudnya, Dia mengetahui siapa saja orang yang berhak mendapatkan hidayah dan siapa saja orang yang berhak mendapatkan kesesatan. Dia-lah yang: laa yus-alu ‘ammaa yaf’alu wa Hum yus-aluun (“Tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.”) Yang demikian itu tidak lain hanyalah karena hikmah dan rahmat-Nya.
Ayat ini dan yang semisalnya merupakan ayat yang paling jelas yang menunjukkan universalitas pengutusan Rasulullah kepada seluruh umat manusia, sebagaimana hal itu menjadi keharusan yang mesti diketahui dalam ajaran agamanya dan sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah dalam banyak ayat dan hadits. Di antaranya adalah firman-Nya: qul yaa ayyuHannaasu innii rasuulullaaHi ilaikum jamii’an (“Katakanlah: Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah yang diutus kepada kamu semua.’”) (QS. Al-A’raaf: 158)
Demikian juga firman-Nya: tabaarakal ladzii nazzalal furqaana ‘alaa ‘abdiHii liyakuuna lil ‘aalamiina nadziiran (“Mahasuci Allah yang telab menurunkan al-Furgaan kepada hamba-Nya, agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”) (QS. Al-Furqaan: 1)
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan kitab-kitab lainnya, di antara hal yang mutawatir dalam berbagai macam peristiwa, bahwasanya Rasulullah mengirimkan surat-suratnya kepada para raja dan beberapa kelompok orang untuk mengajak mereka ke jalan Allah, baik dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab, baik yang pandai baca tulis maupun yang ummi, sebagai pelaksanaan atas perintah Allah kepadanya.
Abdurrazzaq pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentang diriku, baik Yahudi maupun Nasrani, lalu dia meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya (Islam), melainkan ia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim)
Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas: “Bahwa ada seorang anak Yahudi yang biasa mengambilkan air wudhu untuk Rasulullah dan membawakan sandal beliau. Lalu anak itu jatuh sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau menemuinya, sedangkan ayahnya sedang duduk di samping kepalanya. Kemudian beliau bersabda kepadanya: `Wahai fulan, ucapkanlah “Laa ilaaHa illallaaH” Lalu anak itu melihat ke arah ayahnya dan ayahnya pun diam. Kemudian beliau mengulanginya kembali, anak itupun kembali melihat ayahnya, maka ayahnya pun mengatakan: `Taatilah Abul Qasim (Rasulullah).’ Maka anak itupun mengucapkan: `Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Allah dan engkau adalah Rasul Allah.’ Setelah itu Nabi keluar seraya berucap: `Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkannya dari Neraka melalui aku.’” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam Shahihnya).
Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang menunjukkan hal tersebut.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top