Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 7-9

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 7-9

2MAR
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 7-9“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.”Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7) (Mereka berdo’a): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan Kati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlab kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Mahapemberi (karunia)” (QS. 3:8) Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. ” Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (QS. 3:9)”
Allah memberitahukan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamaat (jamak dari muhkam) yang semuanya merupakan pokok-pokok al-Qur’an. Yaitu ayat-ayat yang jelas dan terang pengertiannya, yang tidak ada kesamaran bagi siapa pun.
Selain itu ada ayat-ayat lainnya (mutasyaabihaat – jamak dari mutasyaabih), yaitu ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kesamaran pengertian bagi kebanyakan atau sebagian orang. Maka barangsiapa mengembalikan yang samar itu kepada yang jelas dari al-Qur’an, serta menjadikan ayat yang muhkam sebagai penentu bagi yang mutasyaabih, berarti dia telah mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa melakukan hal yang sebaliknya, maka dia pun akan memetik akibat yang sebaliknya.
Oleh karena itu Allah berfirman, “Itulah pokok pokok isi al-Qur’an. “Yaitu pokok yang menjadi rujukan ketika menemukan kesamaran. “Dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyaabihaat. ” Di mana kandungan yang dimaksud oleh ayat yang mutasyaabihaat ini sesuai dengan makna yang ada pada ayat yang muhkam, sebab terkadang kesamarannya itu dari segi lafazh dan susunannya saja, bukan dari segi maknanya.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai pengertian ayat-ayat muhkamaat dan ayat-ayat mutasyaabihaat ini. Banyak ungkapan mengenai hal ini yang diriwayatkan dari para ulama Salaf. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat-ayat muhkamaat itu adalah ayat-ayat yang menasakh, ayat-ayat mengenai halal dan haram, huduud (hukuman), hukum-hukum, apa yang diperintahkan dan apa yang harus dikerjakan.
Dan dikatakan pula mengenai ayat-ayat mutasyaabihaat; yaitu yang dinasakh, didahulukan, diakhirkan, perumpamaan-perumpamaan, sumpah, dan apa yang harus dipercayai tetapi bukan hal yang diamalkan. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat mutasyaabihaat adalah huruf-huruf yang terpotong di awal-awal surat. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Muqatil bin Hayyan.
Dengan demikian, ayat-ayat mutasyaabihaat adalah lawan dari ayat-ayat muhkamaat. Dan pendapat yang paling baik adalah yang akan segera kami kemukakan, yaitu yang diungkapkan oleh Muhammad bin Ishaq bin Yasar ketika dia mengatakan, “Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,” maka ayat-ayat muhkamaat itu adalah hujjah Allah, pegangan bagi hamba, dan penolak bantahan yang bathil. Ayat-ayat yang tidak mengenal tashrif (penyimpangan) dan tahrif (perubahan) dari apa yang telah ditetapkan atasnya.
Lebih lanjut, Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata, “Ayat-ayat mutasyaabihaat dalam hal kebenaran itu tidak boleh ada tashrif, tahrif dan takwil di dalamnya. Dengan ini Allah menguji hamba-hamba-Nya sebagaimana Dia telah menguji mereka dalam masalah halal dan haram. Agar dengan demikian, benar-benar ayat-ayat tersebut tidak disimpangkan kepada (sesuatu) yang bathil dan tidak pula dirubah dari kebenaran.
Oleh karena itu Allah swt. berfirman, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan,” yaitu kesesatan dan keluar dari kebenaran menuju kepada kebathilan, “Maka mereka mengikuti sebagian dari ayat-ayat yang mutasyaabihaat.”Yaitu, mereka hanya mengambil ayat-ayat mutasyaabihaat saja yang memungkinkan bagi mereka untuk merubahnya kepada maksud-maksud mereka yang rusak, lalu mereka menempatkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan maksud-maksud mereka, dikarenakan lafazhnya memiliki kemungkinan (atas) kandungan tersebut.
Sedangkan ayat-ayat muhkamaat tidak ada bagian untuk mereka, karena ayatnya sendiri terlindung bagi mereka sekaligus sebagai bantahan yang mengalahkan mereka. Oleh karena itu, Allah swt. berfirman, “Untuk menimbulkan fitnah.”Yaitu usaha untuk menyesatkan para pengikut mereka dengan memberikan kesamaran kepada para pengikutnya bahwa mereka melandasi bid’ah mereka itu dengan al-Qur’an, padahal al-Qur’an itu sendiri adalah hujjah yang membatalkan, bukan sebagai pendukung. Sebagaimana orang-orang Nasrani (ketika) berhujjah, al-Qur’an telah menyatakan bahwa Isa itu adalah ruh dan kalimat Allah yang disampaikan kepada Maryam sekaligus bagian dari ruh Allah. Tetapi mereka tidak berhujjah dengan firman Allah: “’Isa itu tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian).”
Dan juga firman-Nya: “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia),’ maka jadilah ia. ” (QS. Ali-‘Imran: 59) Dan ayat-ayat muhkam lainnya yang secara jelas menyebutkan bahwa ‘Isa bin Maryam itu merupakan salah satu makhluk Allah yang diciptakan dan sekaligus hamba dan Rasul dari para Rasul Allah.
Firman-Nya, wabtighaa-a ta’wiiliHi “Dan untuk mencari-cari takwilnya. “Yaitu merubahnya kepada apa yang menjadi kehendak mereka. Muqatil bin Hayyan dan as-Suddi berkata; “Mereka berusaha untuk mengetahui apa yang akan terjadi dan akibat dari berbagai hal melalui al-Qur’an.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari’Aisyah, dia berkata: Rasulullah pernah membaca ayat, “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi al-Qur’an. Dan (isi) yang lain adalah ayat-ayat mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, dan semuanya itu dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya melainkan orang-orang yang berakal.”
Lalu beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang-orang yang berbantah-bantahan tentang al-Qur’an, maka mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah, maka waspadalah terhadap mereka.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam al Bukhari ketika menafsirkan ayat ini, Imam Muslim dalam kitab al-Qadar dari kitab Shahihnya dan Abu Dawud dalam as-Sunnah pada kitab Sunannya.
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Kamil telah menceritakan kepada kami, Hammad menceritakan kepada kami, dari Abu Ghalib, di mana ia berkata, aku pernah mendengar Abu Umamah menyampaikan sebuah hadits dari Nabi, mengenai firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian dari ayat-ayat yang mutasyaabihaat,” beliau mengatakan: “Mereka itulah golongan Khawarij.” Dan juga mengenai firman-Nya, “Pada hari yang pada waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Ali-‘Imran: 106) Beliau mengatakan: “Mereka (muka yang hitam muram) itulah golongan Khawarij.”
Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih melalui jalur lain, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, lalu beliau menyebutkan minimal derajat hadits ini mauquf dari perkataan Sahabat. Namun demikian, makna hadits ini shahih, karena bid’ah yang pertama kali terjadi dalam Islam adalah fitnah kaum Khawarij. Yang menjadi penyebab pertama mereka dalam hal itu adalah masalah dunia, yaitu ketika Nabi membagikan ghanimah Hunain (harta rampasan perang pada perang Hunain), maka dalam akal pemikiran mereka yang rusak seolah-olah melihat bahwa beliau tidak adil dalam pembagian tersebut. Sikap mereka itu mengejutkan Nabi. Lalu juru bicara mereka, yaitu Dzul khuwaishirah (si pinggang kecil) -semoga Allah membelah pinggangnya-, berkata: “Berlaku adillah engkau, sebab engkau telah berlaku tidak adil.” Lalu Rasulullah bersabda:
“Sungguh telah gagal dan merugilah aku, jika aku tidak berlaku adil. Mengapa Allah saja mempercayaiku memimpin penduduk bumi ini, sedang kalian tidak mempercayaiku?”
Maka ketika orang itu berpaling, ‘Umar bin al-Khaththab (menurut riwayat lain, Khalid bin al-Walid) meminta izin untuk membunuhnya, maka beliau bersabda: “Biarkan Baja dia. Sesungguhnya akan keluar dari kalangan dia, -maksudnya dari kelompoknya- suatu kaum yang mana salah seorang di antara kalian memandang remeh shalatnya dibandingkan shalat mereka, dan bacaannya dibandingkan bacaan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Maka di mana pun kalian menemukan mereka, bunuhlah mereka, karena sesungguhnya tersedia pahala bagi orang yang dapat membunuh mereka.”
Setelah itu mereka muncul pada masa khalifah ‘Ali bin Abi Thalib Dan mereka dibunuh di Nahrawan. Kemudian lahirlah dari mereka ini berbagai kelompok, golongan, pendapat, kesesatan, ungkapan-ungkapan dan aliran-aliran yang sangat banyak dan menyebar di mana-mana. Maka muncullah aliran Qadariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan kelompok bid’ah seperti yang telah diberitahukan oleh Rasulullah melalui sabda beliau berikut ini:
“Umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, semuanya berada di Neraka kecuali satu.” Para Sahabat bertanya: “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang mengikuti jalanku dan para Sahabatku.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak dengan tambahan ini.
Dan firman-Nya, wa maa ya’lamu ta’wiilaHuu illallaaH “Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” Para qu-ra’ (ahli dalam bacaan al-Qur’an) berbeda Tafsir Ibnu pendapat mengenai wagaf (pemberhentian bacaan) di sini. Dikatakan dari Ibnu `Abbas bahwa waqaf itu pada lafazh Allah, dia berkata: “Tafsir itu terbagi menjadi empat macam; yakni tafsir yang tidak sulit bagi seseorang untuk memahaminya, tafsir yang dimengerti oleh bangsa Arab melalui bahasanya sendiri, tafsir yang dimengerti oleh para ulama, dan tafsir yang tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah saja.”
Perkataan di atas diriwayatkan dari ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu Sya’tsa’, Abu Nuhaik, dan lain-lainnya.
Dan di antarapara qurra’ ada yang berpendapat bahwa waqaf itu pada kata “war raasikhuuna fil ‘ilmi”. Pendapat mereka ini diikuti oleh banyak ahli tafsir dan ahli ilmu ushuulul fiqh. Mereka mengatakan: “Suatu percakapan yang tidak dapat difahami adalah hal yang tidak mungkin.”
Ibnu Abi Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa is berkata: “Aku termasuk salah seorang yang mendalami ilmu (raa-sikhun) yang mengetahui takwilnya.”
Dan orang-orang yang mendalami ilmu (raasikhuun) mengatakan: “Kami beriman kepadanya.” Kemudian mereka mengembalikan takwil ayat-ayat mutasyaabihaat kepada apa yang mereka ketahui dari takwil ayat-ayat muhkamaat yang mana tidak ada seorang pun yang mentakwil kecuali takwil yang sama.
Maka dengan pendapat mereka, serasilah seluruh isi al-Qur’an yang mana sebagian ayat membenarkan sebagian lainnya. Dengan demikian, hujjah menjadi tegak berdiri dan alasan pun tidak bisa diterima, sedang kebathilan tersingkir, dan kekufuran pun tertolak.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah mendo’akan Ibnu ‘Abbas: “Ya Allah, berikanlah pemahaman kepadanya mengenai masalah agama dan ajarkanlah takwil (tafsir) kepadanya.” (Diriwayatkan Imam oleh al-Bukhari dalam kitab Fadhaailush Shahaabah, dan diriwayatkn pula oleh Imam Ahmad).
Di antara para ulama ada yang memberikan uraian rinci mengenai hal ini. Mereka mengatakan: “Takwil itu mengandung pengertian umum, sedangkan di dalam al-Qur’an mengandung dua makna. Salah satunya ialah takwil yang berarti hakikat sesuatu dan apa yang permasalahannya dikembalikan kepadanya,” di antaranya firman Allah: wa qaala yaa abati Haadzaa ta’wiilu ru’yaa-ya min qabli “…Wahai ayahku, inilah takwil mimpiiku yang dahulu itu. ” (QS. 1’usuf: 100)
Dan firman-Nya: Hal yandhuruuna illaa ta’wiilaHu yauma ya’tii ta’wiiluHu [“Tidaklah mereka menunggu-nunggu kecuali takwil (terlaksandnya kebenaran) al-Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran (takwil) pemberitaan al-Qur’an itu.”] (QS. Al-A’raaf: 53)
Yaitu, hakikat apa yang diberitahukan kepada mereka mengenai masalah hari akhir. Jika yang dimaksudkan dengan takwil adalah dalam pengertian ini, maka waqaf itu adalah ada pada lafazh Allah, wa maa ya’lamu ta’wiilaHuu illallaaH. Karena hakekat dan esensi segala sesuatu tidak diketahui secara detail kecuali oleh Allah demikian, firman-Nya: war raasikhuuna fil ‘ilmi adalah mubtada’ sedangkan: yaquuluuna aamannaa biHii; adalah khabar (predikat).
Tetapi jika yang dimaksud dengan takwil itu adalah arti lain, yaitu tafsir, keterangan, dan penjelasan mengenai sesuatu hal, seperti firman-Nya: nabbi’naa bita’wiiliHii [“”Berikanlah kepada kami takwilnya,”] yakni tafsirnya, maka waqaf itu terletak pada: war raasikhuuna fil ‘ilmi; karena mereka mengetahui dan memahami apa yang dikatakan kepada mereka dengan ungkapan seperti itu, meskipun mereka tidak mengetahui hakikatnya secara detail.
Atas dasar itu, maka jadilah firman Allah: wa yaquuluuuna aamannaa (“orang yang mendalam ilmunya berkata; ‘Kami beriman’kepadanya [ayat mutasyaabihaat)’” kedudukannya sebagai haal, yang menerangkan keadaan mereka.
Dan bisa juga menjadi ma’thuf, bukan ma’thuf ‘alaih, sebagaimana firman-Nya: “Bagi Para kaum fakir yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta mereka –[sampai dengan firman-Nya]- mereka berdoa, “Ya Rabb kami, berikanlah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami. ” (QS. Al-Hasyr: 8)
Dan seperti firman-Nya, “Dan datanglah Rabbmu, sedangMalaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr: 22) Yaitu, Malaikat datang baris demi baris.
Firman-Nya tersebut memberitahukan bahwa mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) mengatakan: “Kami beriman kepadanya,” yakni ayat-ayat mutasyaabihaat. Semuanya berasal dari Rabb kami. Yakni, baik yang muhkam maupun yang mutasyaabih adalah haq dan benar. Keduanya saling membenarkan dan menguatkan, karena semuanya itu berasal dari Allah Sebab tidak ada sesuatu pun yang berasal dari-Nya Baling berbeda dan bertentangan antara satu dengan lainnya, sebagaimana firman-Nya, ‘Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. ” (QS. An-Nisaa’: 82)
Oleh karena itu, Dia berfirman, wa maa yadz-dzakkaru illaa ulul albaab (“Dan tidak dapat mengambilpelajaran darinya melainkan orang-orang yang berakal.”) Artinya, yang dapat memahami dan merenungi maknanya hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan mempunyai pemahaman yang benar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. pernah mendengar suatu kaum bertengkar maka beliau bersabda, “Sesungguhnya dengan sebab (pertengkaran) inilah orang-orang sebelum kalian itu binasa. Mereka mempertentangkan sebagian isi Kitab Allah dengan sebagian lainnya. Sesungguhnya Kitab Allah itu diturunkan untuk saling membenarkan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, janganlah kalian mendustakan sebagiannya dengan sebagian lainnya. Apa saja yang kalian ketahui darinya, maka katakanlah. Dan apa saja yang kalian tidak ketahui darinya, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya.”
Ibnul Mundzir berkata dalam tafsirnya, Muhammad bin ‘Abdillah bin Abdil Hakam menceritakan kepada kami, dari Ibnu Wahb, dari Nafi’ bin Yazid, ia berkata: “Orang-orang yang mendalam ilmunya adalah yang tunduk patuh kepada Allah, dan yang merendahkan diri mencari keridhaan-Nya, mereka tidak sombong kepada orang-orang yang di atas mereka dan tidak pula menghina orang-orang yang berada di bawah mereka.
Selanjutnya Allah swt. memberitahukan tentang orang-orang yang mendalam ilmunya mereka berdoa kepada Rabb-nya seraya berucap: rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz Hadaitanaa (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami”) Yakni, janganlah Engkau palingkan hati kami dari petunjuk setelah Engkau menjadikannya berdiri tegak di atasnya. Dan janganlah Engkau menjadikan kami seperti orang yang di dalam hatinya terdapat kecenderungan kepada orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihaat, tetapi teguhkanlah kami di atas jalan-Mu yang lurus serta jalan-Mu yang benar.
Wa Hablanaa min ladunka rahmah (“dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.”) Yang dengan rahmat itu Engkau teguhkan hati-hati kami, dan Engkau persatukan kami, serta Engkau tambahkan keimanan dan keyakinan kami.
Innaka antal waHHaab (“Sesungguhnya Engkau Mahapemberi [karunia]” Abi Hatim mengataka dari Ummu Salamah, bahwa Nabi saw. berdoa: Yaa muqallibal quluubi, tsabbit qalbii ‘alaa diinika [“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”] Setelah itu beliau membaca ayat [yang artinya] “Janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Mahapemberi (karunia).”
Dan hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Asma’ binti Yazid Ibnus Sakan, aku mendengar ia menceritakan, bahwa di antara do’a Rasulullah yang sering dipanjatkannya adalah: ‘Ya Allah, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.’ Asma’ berkata, lalu kutanyakan: ‘Ya Rasulullah, apakah hati itu dapat berbolak balik?’ Beliau menjawab: ‘Ya, Allah tidak menciptakan seorang anak Adam melainkan hatinya berada di antara dua jari-jemari Allah, Jika Allah menghendaki, Dia akan menjadikannya berdiri tegak. Dan jika Dia menghendaki, maka Dia akan menjadikannya condong kepada kesesatan.’ Kita semua memohon kepada Allah agar Dia tidak menjadikan hati kita condong kepada kesesatan setelah Dia memberikan petunjuk kepada kita. Dan semoga Allah melimpahkan kepada kita rahmat dari sisi-Nya. Sesungguhnya Dia Mahapemberi.”‘
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Asad bin Musa, dari ‘Abdul Hamid bin Bahram.
Hadits semisal juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari al-Mutsni dari al-Hajjaj bin Minhal dari ‘Abdul Hamid bin Bahrain dengan menambahkan: “Kukatakan: `Ya Rasulullah, maukah engkau mengajarkan kepadaku sebuah do’a yang dapat kupanjatkan untuk diriku sendiri?’ Beliau bersabda: `Ya, baiklah, ucapkanlah: `Ya Allah, Rabb Muhammad, ampunilah dosaku, singkirkanlah amarah hatiku, dan jauhkanlah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.”‘
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. ia berkata, Rasulullah sering memanjatkan do’a: “Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Aku berkata: “Ya Rasulullah, alangkah seringnya engkau berdo’a dengan do’a itu.” Beliau menjawab: “Tidak ada satu hati pun melainkan berada di antara dua jari dari jari-jemari ar-Rahmaan (Allah). Jika Dia menghendaki untuk meluruskannya, maka Dia akan meluruskannya. Jika Dia menghendaki untuk membuatnya sesat, maka Dia akan membuatnya sesat. Tidakkah engkau mendengar firman-Nya: janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau adalah Mahapemberi (karunia).”
Ditinjau dari redaksinya, hadits ini gharib, tetapi asal hadits ini terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang diriwayatkan melalui beberapa jalan tanpa adanya tambahan ayat tersebut.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i. An-Nasa’i menambahkan, dan juga Ibnu Hibban dan’Abdullah bin Wahb, keduanya dari ‘Aisyah, jika Rasulullah maka beliau mengucapkan: “Tidak ada Ilah (yang haq) selain Engkau. Mahasuci Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu atas dosaku dan aku memohon rahmat-Mu. Ya Allah tambahkanlah ilmu kepadaku dan janganlah Engkau menjadikan hatiku condong kepada kesesatan setelah Engkau memberikan petunjuk kepadaku. Serta karuniakanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Mahapemberi.”
Dan firman-Nya: rabbanaa innaka jami’un naasi liyaumil laa raibaa; (“Ya Rabb kami, sungguhnya Engkau mengumpulkan’manusia untuk [menerima pembalasan pada] hari yang tidak ada keraguan di dalamnya.”) Yaitu di dalam do’anya, mereka berkata, “Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau akan mengumpulkan makhluk-makhluk-Mu pada hari kebangkitan, memutuskan hukum, serta memberikan keputusan kepada mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Dan Engkau berikan balasan kepada setiap orang atas amal yang pernah dilakukannya di dunia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan jahat.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top