Sunday, June 10, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 23-24

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 23-24

5SEP
Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 23-24“Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu (tiri) dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. An-Nisaa’: 23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tidaklah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. An-Nisaa’: 24)
Ayat yang mulia ini adalah ayat yang menerangkan haramnya mahram berdasarkan nasab (keturunan) dan hal-hal yang mengikutinya berupa persusuan dan kemertuaan. hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.”) Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Yang diharamkan karena nasab ada tujuh dan karena kemertuaan ada tujuh, kemudian ia membaca: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum wa ‘ammaatukum wa khaalaatukum wa banaatul akhi wa banaatul ukhti (“Di-haramkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramuyang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan,”) merekalah [mahram dari] nasab.
Jumhur ulama menggunakan dalil tentang haramnya anak zina dengan keumuman firman Allah Ta’ala: wa banaatukum (“Dan anak-anak perempuanmu.”) Karena ia adalah anak perempuan, maka ia masuk dalam keumuman ayat tersebut, sebagaimana madzhab Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Ada pendapat dari asy-Syafi’i yang membolehkannya, karena ia bukanlah anak menurut hukum syar’i. Sebagaimana ia tidak dapat masuk dalam firman: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan,” (QS. An-Nisaa’: 11) sesungguhnya ia tidak mendapatkan warisan menurut ijma’, maka ia pun tidak termasuk ke dalam ayat ini. Wallahu a’lam.
Firman-Nya: wa ummaHaatu kumul laatii ardla’nakum wa akhawaatukum minar radlaa’ati (“Ibu ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.”) Artinya, sebagaimana kamu diharamkan terhadap ibu-ibu yang melahirkanmu, maka begitu pula kamu diharamkan dengan ibu-ibu yang menyusuimu.
Untuk itu, di dalam ash-Shahihain tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram apa-apa yang dapat menjadikan mahram karena kelahiran.”
Dan dalam lafazh Muslim: “Diharamkan karena persusuan, apa-apa yang di haramkan karena nasab”.
Sebagian ahli fiqih berkata, “Setiap apa saja yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan kecuali empat bentuk.” Sebagian lagi mengatakan, kecuali enam bentuk yang kesemuanya tersebut di dalam kitab-kitab furu’. Setelah diteliti, ternyata tidak ada pengecualian sedikitpun dalam masalah tersebut. Karena sebagian terdapat dalam nasab dan sebagian lagi terdapat dalam kemertuaan, maka secara (mendasar) tidak ada yang menolak hadits tersebut sedikitpun. Segala puji hanya milik Allah, dan kepercayaan hanya dengan-Nya.
Di antaranya yaitu: Ibu saudaramu yang laki-laki dan Ibu saudaramu yang perempuan karena sepersusuan. Jika ada seorang perempuan (lainnya) menyusui saudara laki-lakimu atau saudara perempuanmu, maka perempuan itu tidak haram bagimu karena penyusuan keduanya. Akan tetapi diharamkan bagimu ibu dan keduanya berdasarkan nasab, karena ibu dari keduanya itu adalah sebagai ibumu atau isteri ayahmu. Inilah yang menjadi sisa permasalahan tersebut.
Kemudian, para Imam berbeda pendapat tentang jumlah bilangan susuan yang diharamkan. Ada yang berpendapat hanya dengan (sekedar) menyusu dapat mengharamkan, berdasarkan keumuman ayat ini. Inilah pendapat Malik ,riwayat dari Ibnu `Umar, pendapat Sa’id bin al-Musayyab, `Urwah bin az-Zubair dan az-Zuhri. Ulama lain berkata, “Kurang dari tiga kali susuan tidak mengharamkan. Sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim dari jalan Hasyim bin `Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “Satu atau dua isapan (susuan) tidak mengharamkan.”
Qatadah berkata dari Abil Khalil, dari `Abdullah bin al-Harits bahwa Ummul Fadhl berkata, Rasulullah bersabda: “Satu dan dua susuan atau satu dan dua isapan tidak mengharamkan,” di dalam lafazh yang lain, “Satu dua sedotan tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim)
Dan di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu `Ubaid dan Abu Tsaur; yaitu diriwayatkan dari `Ali, ‘Aisyah, Ummul Fadhl, Ibnuz-Zubair, Sulaiman bin Yasar dan Sa’id bin Jubair ra,. Ulama yang lain berkata “Kurang dari lima isapan tidak mengharamkan, berdasarkan hadits dalam Shahib Muslim dari riwayat Malik dari `Abdullah bin Abi Bakar, dari `Urwah dari `Aisyah W, ia berkata, dahulu (ayat ini) termasuk di antara ayat al-Qur’an: “Sepuluh kali susuan yang diketahui (dapat) mengharamkan.” Kemudian di-nasakh (dihapus hukum itu) dengan lima kali susuan yang diketahui. Di saat Nabi wafat, maka hal tersebut adalah ayat al-Qur’an yang dibaca.
`Abdurrazzaq meriwayatkan yang serupa dari Ma’mar, dari az-Zuhri, dari `Urwah, dari `Aisyah. Di dalam hadits Sahlah binti Suhail bahwasanya Rasulullah memerintahkannya untuk menyusui Salim, maula Abu Hudzaifah sebanyak lima kali susuan. Dan `Aisyah memerintahkan orang yang akan masuk kepadanya untuk menyusu lima kali. Inilah pendapat Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Kemudian, hendaklah diketahui bahwa susuan itu terjadi di masa kecil kurang dari dua tahun, menurut pendapat Jumhur. Masalah ini sudah dibahas sebelumnya dalam surat al-Baqarah pada firman-Nya,”Hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Kemudian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah menjadi haram akibat air susu dari pihak ayah persusuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur empat Imam dan lain-lain. Atau hanya dikhususkan dengan pihak ibu persusuan saja dan tidak merembet hingga pihak ayah persusuan, sebagaimana satu pendapat sebagian ulama Salaf yang sebenarnya terbagi pada dua golongan. Rincian masalah ini terdapat dalam kitab besar yang berisi hukum-hukum.
Firman-Nya: wa ummaHaatu nisaa-ikum wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum min nisaa-ikumul latii dakhaltum biHinna fail lam takuunuu dakhaltum biHinna falaa junaaha ‘alaikum (“Dan ibu-ibu isterimu serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bawah pemeliharanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu.” Ibu mertua diharamkan dengan (hanya sekedar) akad terhadap puterinya, baik sudah digauli ataupun belum. Sedangkan rabibah yaitu anak isteri tidak diharamkan, hingga ibunya digauli. Jika ibunya dicerai sebelum digauli, maka ia boleh mengawini puterinya.
Untuk itu Allah berfirman: wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum min nisaa-ikumul latii dakhaltum biHinna fail lam takuunuu dakhaltum biHinna falaa junaaha ‘alaikum (“Serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bahwa pemeliharanmu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli. Jika kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu,”) dalam mengawini mereka.
Hal ini merupakan kekhususan bagi anak tiri. Dan Jumhur ulama berpendapat bahwa anak tiri tidak diharamkan dengan semata-mata akad terhadap ibunya, berbeda dengan ibu mertua yang diharamkan dengan semata-mata akad. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, bahwa ia berkata, “Apabila seorang suami menceraikan isteri sebelum menggaulinya atau ditinggal wafat, maka ibu mertua tetap haram baginya. Inilah madzhab empat Imam dan tujuh ahli fiqih serta Jumhur fuqaha, baik yang lalu maupun sekarang. Segala puji hanya milik Allah.
Adapun firman Allah: wa rabaa-ikumul latii fii hujuurikum (“Serta anak-anak perempuan [tiri] yang berada di bawah pemeliharanmu,”) menurut Jumhur ulama bahwa rabibah itu haram, baik berada di bawah pemeliharaannya atau tidak. Mereka mengatakan: “Firman Allah ini berdasarkan kebiasaan yang banyak terjadi dan tidak mengandung pengertian apa pun, seperti firman Allah yang artinya: “Dan budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian.” (QS. An-Nuur: 33)
Di dalam ash-Shahihain tercantum bahwa Ummu Habibah berkata, “Ya Rasulullah, nikahilah saudariku puteri Abu Sufyan -dalam lafazh Muslim disebutkan: `Izzah binti Abu Sufyan- Rasulullah bertanya, “Apakah engkau menyenangi demikian?” la menjawab, “Ya, aku tidak sombong padamu dan aku senang ada orang yang bergabung denganku untuk kebaikan saudariku.” Beliau bersabda, “Hal itu tidak halal bagiku.” Ia berkata, “Kami menceritakan bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah.” Beliau bersabda, “Puteri Ummu Salamah?” la menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seandainya ia bukan anak tiri yang ada dalam pemeliharaanku, niscaya ia pun tetap tidak halal bagiku. la adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuan-ku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Tsuwaibah. Maka, janganlah engkau tawarkan anak-anak perempuan dan saudari-saudari kalian.”
Di dalam riwayat al-Bukhari, “Sesungguhnya sekalipun aku tidak mengawini Ummu Salamah, ia (puterinya Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.” Beliau menjadikan sebab keharamannya hanya sekedar perkawinan beliau dengan Ummu Salamah dan yang demikian itu dihukumi haram oleh beliau. Inilah madzhab empat Imam, tujuh ahli fiqih serta Jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Satu pendapat mengatakan, anak tiri tidak diharamkan kecuali jika di bawah pemeliharaan si laki-laki tersebut. Jika tidak, maka tidak diharamkan. Inilah pendapat Dawud bin `Ali azh-Zhahiri dan para pengikutnya serta dipilih oleh Ibnu Hazm. Syaikh Abu `Umar bin `Abdil Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya tidak halal bagi seseorang untuk menggauli seorang budak wanita dan menggauli anak perempuan (budak tersebut) karena Allah telah mengharamkan hal itu dalam nikah.” Sebagaimana firman-Nya, ibu-ibu isterimu serta anak-anak perempuan (tiri) yang berada di bawah pemeliharaanmu.” Kepemilikan budak (milkul yamin) menurut mereka mengikuti (hukum-hukum) pernikahan, kecuali apa yang diriwayatkan dari `Umar dan Ibnu `Abbas. Namun, pendapat tersebut tidak didapatkan dari seorang ahli fatwa pun yang mengikuti mereka.
Makna firman-Nya: allatii dakhaltum biHinna (“Yang telah kamu campuri.”) Artinya kalian telah nikahi mereka. Hal itu dikatakan oleh Ibnu `Abbas dan lain-lain. Ibnu Juraij berkata dari `Atha’, “Bahwa yang dimaksud yaitu si isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, lalu si suami menyingkapnya, menelitinya dan menjima’nya. Aku bertanya, “Apa pendapatmu jika aku lakukan hal itu di rumah keluarganya?” Dia menjawab, “Hal itu sama saja, dengan dia berbuat demikian, maka sudah diharamkan menikahi puteri wanita itu.” Ibnu Jarir berkata, “Menurut ijma’ ulama bahwa khalwatnya seorang laki-laki dengan seorang wanita tidak mengharamkan bagi puterinya jika telah dicerai wanita itu sebelum digauli, dan sebelum farjinya dipandang dengan syahwat yang menunjukkan bahwasanya makna hal tersebut adalah untuk sampai padanya dengan jima’.”
Firman Allah: wa halaa-ilu abnaa-ikumul ladziina min ash-laabikum (“[Dan diharamkan bagimu] isteri-isteri anak kandungmu [menantu].”) Artinya, diharamkan bagi kalian isteri-isteri anak-anak yang kalian lahirkan dari sulbi kalian. Dan dikecualikan anak-anak angkat, yang mereka jadikan sebagai anak pada masa Jahiliyyah, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Hasan bin Muhammad, bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah mubham (tidak jelas maknanya). Yaitu ayat: wa halaa-ilu abnaa-ikumul; dan: wa ummaHaatu nisaa-akum. Kemudian ia berkata: “Hal itu diriwayatkan pula dari Thawus, Ibrahim, az-Zuhri dan Mak-hul. Saya (Ibnu Katsir) berpendapat makna mubhamat artinya umum untuk yang sudah digauli ataupun yang belum digauli, maka diharamkan dengan semata-mata akad dengannya. Dan hal ini yang disepakati.
Jika ada yang bertanya; dari segi apa diharamkannya isteri anak-anak dari sepersusuan sebagaimana yang dikatakan oleh Jumhur ulama, bahkan dihikayatkan sebagian orang bahwa hal ini sebagai ijma’, padahal anak dari sepersusuan itu bukan dari keturunannya? Maka jawabnya ialah berdasarkan sabda Rasulullah: “Diharamkan karena sepersusuan apa-apa yang diharamkan karena nasab.”
Firman Allah: wa antajma’uu bainal ukhtaini illaa maa qad salaf (“[Dan diharamkan bagimu] menghimpunkan [dalam perkawinan] dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau.”) Dan ayat seterusnya. Artinya, diharamkan bagi kalian menghimpun dua perempuan bersaudara secara bersama-sama dalam perkawinan, begitu pula dalam (perbudakan), kecuali apa yang terjadi pada masa Jahiliyyah kalian, maka Kami telah maafkan dan ampuni. Hal itu menunjukkan tidak bolehnya menghimpun (dua bersaudara) untuk masa mendatang, karena hanya dikecualikan untuk masa lampau. Sebagaimana firman Allah: laa yadzuuquuna fiiHal mauta illal mautatal uulaa (“Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama [di dunia].”) (QS. Ad-Dukhaan: 56)
Di mana hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak merasakan mati selama-lamanya. Para ulama di kalangan Sahabat, Tabi’in dan para Imam, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, mereka sepakat bahwa menggabung dua wanita bersaudara dalam pernikahan itu diharamkan. Barangsiapa yang masuk Islam dan telah memiliki isteri dua orang perempuan bersaudara, maka ia harus memilih (di antara keduanya) lalu menetapkan satu isterinya dan harus menceraikan yang lainnya, tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Imam Ahmad meriwayatkan, dari adh-Dhahhak bin Fairuz, dari ayah-nya, ia berkata; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai dua isteri yang bersaudara, maka Nabi memerintahkanku untuk menceraikan salah satunya.” (HR. Ahmad).
Kemudian diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Lahi’ah serta dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Di dalam lafazh at-Tirmidzi tercantum bahwa Nabi bersabda: “Pilihlah mana di antara keduanya yang kamu inginkan.”
Kemudian at-Tirmidzi berkata; “Hadits ini hasan dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dengan isnad lain.”
Sedangkan menggabungkan dua perempuan bersaudara dalam kepemilikan (perbudakan) juga diharamkan berdasarkan keumuman ayat tersebut. Inilah pendapat yang terkenal dari Jumhur ulama, empat Imam dan lain-nya. Sedangkan `Utsman berkata: “Tidak sepatutnya aku melarang hal itu.”
Dari Musa bin Ayyub al-Ghafiqi telah menceritakan kepadaku pamanku Iyas bin `Amir, ia berkata, aku bertanya kepada `Ali bin Abi Thalib: “Sesungguh-nya aku memiliki dua perempuan bersaudara dengan pemilikan (perbudakan). Salah satunya aku ambil dari tawanan dan sudah melahirkan beberapa anak, kemudian aku menyenangi yang lainnya. Maka, apakah yang harus aku lakukan?” `Ali berkata: “Engkau merdekakan wanita yang telah engkau gauli kemudian gaulilah yang lainnya.” Aku bertanya: “Sesungguhnya orang-orang mengatakan, engkau nikahi yang satunya dan gauli yang satunya lagi.” Maka, `Ali berkata: “Apa pendapatmu jika suaminya menceraikan atau ditinggal mati, bukankah dia (perempuan tersebut) kembali rujuk kepadamu? Sesungguhnya jika engkau memerdekakannya, lebih selamat bagimu.”
Kemudian `Ali menggenggam tanganku dan berkata: “Sesungguhnya haram bagimu yang dimiliki olehmu dengan perbudakan apa-apa yang diharamkan bagimu dalam Kitabullah terhadap wanita merdeka kecuali jumlahnya,” atau ia mengucapkan, “Kecuali empat isteri dan diharamkan bagimu karena persusuan apa yang diharamkan bagimu di dalam Kitabullah karena keturunan.”
Kemudian Abu `Umar berkata; “Hadits ini, seandainya seseorang berjalan dari ujung barat hingga ujung timur menuju Makkah, dia tidak akan mendapatkan (hadits dalam masalah ini) kecuali hadits ini saja, niscaya sia-sialah perjalanannya. Abu `Umar mengemukakan pendapat yang sama dengan`Utsman ‘, diriwayatkan pula dari sekelompok ulama Salaf; di antaranya Ibnu `Abbas, akan tetapi ia tidak sefaham terhadap mereka. Dan tidak ada seorang pun yang sependapat dengan pendapat tersebut di kalangan ahli fiqih (pada) beberapa negeri; Hijaz, Iraq, serta negeri-negeri sesudahnya, Syam dan juga Maroko, kecuali kelompok sempalan yang mengikuti dhahir ayat saja dan menghilangkan qiyas.
Sesungguhnya orang yang mengamalkan hal itu secara dhahir berarti telah meninggalkan apa yang telah kita sepakati. Dan para jama’ah ahli fiqih sepakat bahwasanya tidak halal menggabungkan dua orang perempuan bersaudara dengan perbudakan dalam berjima’ sebagaimana tidak halalnya hal tersebut dalam pernikahan. Kaum muslimin telah sepakat bahwa makna firman Allah: hurrimat ‘alaikum ummaHaatukum wa banaatukum wa akhawaatukum (“Diharamkan atasmu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan”) bahwa pernikahan dan perbudakan pada mereka semuanya sama. Begitu pula, wajib menggunakan pandangan dan qiyas tentang menggabung dua wanita bersaudara, ibu-ibu isteri dan anak-anak tiri. Begitulah pendapat yang beredar di kalangan Jumhur dan merupakan dalil yang melemahkan pendapat yang menyelisihinya.
Firman Allah: wal muhshanaatu minan nisaa-i illaa maa malakat aimaanukum (“Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita-wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita muhshan (yang bersuami), kecuali budak-budak yang kalian miliki, yaitu yang kalian miliki melalui penawanan.
Firman Allah: kitaaballaaHi ‘alaikum (“[Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atasmu.”) Artinya, keharaman ini adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kalian, yaitu empat (isteri), maka teguhlah dengan ketentuan-Nya, dan janganlah kalian keluar dari batas-batas-Nya serta teguhlah dengan syari’at dan fardhu-fardhu-Nya. Ibrahim berkata, kitaaballaaHi ‘alaikum; yaitu apa yang diharamkan kepada kalian.
Firman-Nya: wa uhill lakum maa waraa-a dzaalikum (“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian”) artinya selain wanita-wanita yang disebutkan sebagai mahram, maka halal bagi kalian, demikian yang dikatakan ‘Atha’ dan lain-lainl. Dan firman Allah: an tabtaghuu bi-amwaalikum muhshiniina ghaira musaafihiin (“Yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina”) artinya carilah dengan harta-harta kalian, istri-istri hingga empat dengan cara syar’i, untuk itu Allah berfirman: muhshiniina ghaira musaafihiin (“untuk dikawini, bukan untuk berzina”)
Firman-Nya: famastamta’tum biHii minHunna fa aatuuHunna ujuuraHunna fariidlatan (“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati [campuri] di antara mereka berikanlah kepada mereka maharnya [dengan sempurna] sebagai suatu kewajiban.”) sebagaimana kalian telah menikmati mereka maka berilah mahar-mahar mereka untuk menggantinya. Seperti firman Allah: yang artinya: “Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (an-Nisaa’: 4)
Dengan keumuman ayat ini maka jadi dalil nikah mut’ah/ sementara/ kontrak. Bahwa hal itu pernah disyariatkan pada awal islam, kemudian telah dibatalkan.
Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa awalnya dibolehkan lalu dibatalkan, dibolehkan lalu dibatalkan lagi (sebanyak dua kali).
Ulama yang lain berkata, “Pembatalannya lebih dari itu.” Ulama lainnya berkata: “Pernah dibolehkan satu kali kemudian dibatalkan, dan setelah itu tidak dibolehkan sama sekali.”
Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas ra. dan sekelompok Sahabat yang berpendapat dibolehkannya nikah mut’ah karena darurat, dan inilah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Akan tetapi, Jumhur ulama berbeda dengan pendapat tersebut. Dalil yang dijadikan pegangan adalah hadits yang tercantum dalam ash-Shahihain bahwa Amirul Mukminin `Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Rasulullah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada perang Khaibar.” Untuk hadits ini terdapat banyak komentar yang menetapkan, yaitu di dalam kitab-kitab hukum.
Di dalam Shahih Muslim dari ar-Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad al Juhni, bahwa ayahnya ikut berperang bersama Rasulullah pada Fathu Makkah, maka beliau bersabda: “Hai manusia! Dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah dengan wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki perjanjian hal tersebut, maka biarkanlah jalannya, dan janganlah kalian mengambil kembali mahar yang telah kalian berikan.”
Firman Allah: walaa junaaha ‘alaikum fiimaa taraadlaitum biHii mim ba’dil fariidlati (“Dan tiadalah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.”) Maknanya adalah seperti firman-Nya yang artinya: “Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan,”) dan ayat seterusnya (QS. An-Nisaa’: 4) Artinya, jika kamu telah menentukan mahar untuknya, lalu ia bebaskan kamu semua mahar atau sebagiannya, maka tidaklah berdosa bagimu atau baginya.
Kemudian firman-Nya: innallaaHa kaana ‘aliiman hakiiman (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”) Penyebutan dua sifat Allah setelah ketetapan hal-hal yang diharamkan ini, adalah amat sesuai.
Bersambung

No comments:

Post a Comment

 
back to top