Sunday, June 10, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 25

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 25

5SEP
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 25“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yangmengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatanyang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. An-Nisaa’: 25)
Allah berfirman: wamal lam yastathi’ minkum thaulan (“Barangsiapa di antara kamu yang belum memiliki thaul.”) Yaitu, keluasan dan kemampuan; fa mimmaa malakat aimaanukum min fatayaatikumul mu’minaat (“Ia boleh mengawini wanita yang beriman,dari budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, maka kawinilah wanita beriman dari budak-budak yang dimiliki oleh kaum mukminin. Untuk itu Allah berfirman: min fatayaatikumul mu’minaat (“Dari budak-budak wanitamu yang beriman.”) Ibnu `Abbas dan lain-lain berkata: “Maka hendaklah ia menikahi budak-budak wanita milik orang-orang beriman.” Demikianlah yang dikatakan oleh as-Suddi dan Muqatil bin Hayyan.
Lalu Allah selingi dengan firman-Nya: wallaaHu a’lamu bi-iimaanikum ba’dlukum mim ba’dlin (“Allah Mahamengetahui keimananmu, sebagian kamu adalah dari sebagianyang lain.”) Artinya, Allah Mahamengetahui hakekat dan rahasia berbagai urusan. Sedangkan bagi kalian, wahai manusia, hanya mengetahui perkara yang lahir saja.
fankihuuHunna bi-idzniHi aHliHinna (“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka.”) HaI itu menunjukkan bahwa tuan adalah wali bagi budak-budak wanitanya yang tidak boleh dikawini kecuali dengan seizinnya. Begitupula ia menjadi wali bagi budak laki-lakinya di mana ia tidak boleh menikah kecuali dengan izinnya.
Firman Allah: wa aatuuHunna ujuuraHunna bil ma’ruuf (“Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.”) Artinya, serahkanlah mahar-mahar mereka dengan ma’ruf, yaitu dengan kebaikan jiwa kalian dan janganlah kalian kurangi sedikitpun karena merendahkan mereka, karena kedudukannya sebagai budak-budak wanita yang dimiliki. Firman Allah: muhshanaatin (“Wanita-wanita yang melihara diri.”) Artinya, wanita-wanita yang menjaga diri dari zina, tidak melakukannya. Untuk itu Allah berfirman: ghaira mushaafihaatin (“bukan wanita musaafihaat.”) Yaitu, bukan wanita-wanita pezina yang membiarkan dirinya dijamah oleh siapa saja.
Serta firman-Nya: walaa muttakhidzaati akhdaan (“Dan bukan wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.”) Ibnu `Abbas berkata: almusaafihaati adalah wanita-wanita pezina terlaknat yang membiarkan dirinya dijamah oleh siapa saja. Dan ia berkata, muttakhidzaati akhdaan (al-akhdan) adalah laki-laki simpanan. Demikian pula pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Mujahid, asy-Sya’bi, adh-Dhahhak, `Atha’ al-Khurasani, Yahya Ibnu AbiKatsir, Muqatil bin Hayyan dan as-Suddi, yang semuanya mengatakan: muttakhidzaati akhdaan (al-akhdan) adalah laki-laki simpanan.
Allah telah melarang untuk menikahi wanita tersebut (yang mengambil laki-laki lain sebagai simpanan, selama mereka melakukan hal yang demikian itu.
Firman Allah: fa idzaa uhshinna fa in ataina bifaahisyatin fa’alaiHinna nishfu maa ‘alaa muhshanaati minal ‘adzaab (“Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji [zina], maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”) Para ahli qira-at berbeda dalam membaca uhshinna. Sebagian membacanya dengan mendhammahkan hamzah dan mengkasrahkan shad dengan mabni tatkala tidak disebut fa’ilnya. Dan ada yang membacanya dengan memfathahkan hamzah dan shad sebagai fi’il lazim (yang tidak membutuhkan obyek). Kemudian dikatakan bahwa dua qira-at itu me-miliki makna yang sama.
Abu Bakar, Hamzah dan Kisa-i membacanya dengan memfathahkan hamzah dan shad (ahshanna). Sedangkan yang lainnya membacanya dengan mendhammahkan hamzah dan mengkasrahkan shad (ahshinna).
Mereka berbeda pendapat tentang maknaal-ihshan, menjadi dua pendapat:
Pertama, yang dimaksud al-ihshan di sini adalah Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari `Abdullah bin Mas’ud, Ibnu `Umar dan Anas.
Kedua, yang dimaksud dalam ayat ini adalah perkawinan, itulah pendap at Ibnu `Abbas ra.
Pendapat yang paling jelas -wallahu a’lam- bahwa yang dimaksud dengan al-ihshan di sini adalah perkawinan. Karena redaksi ayat tersebut menunjukkan demikian, dimana Allah swt. berfirman yang artinya:
“Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” (Wallahu a’lam).
Redaksi ayat yang mulia tersebut adalah tentang budak-budak wanita yang mukminah, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “fa idzaa uhshinna” adalah apabila mereka telah kawin, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu `Abbas dan lain-lain. Banyak hadits-hadits umum yang menjelaskan tentang ditegakkannya hukuman hadd terhadap budak.
(Hadd yang jamaknya hudud, adalah batasan atau peraturan yang sudah ditentukan bentuk hukumnya oleh Allah di antaranya hukum zina, qadzaf (menuduh zina), minum khamr, mencuri, mengganggu keamanan, murtad, dan durhaka kepada Allah.)
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya bahwa `Ali ra. dalam khutbahnya berkata: “Hai manusia! Tegakkanlah hadd kepada budak-budak kalian, yang sudah kawin atau yang belum. Karena salah seorang budak wanita Rasulullah pernah berzina, lalu aku (`Ali) diperintahkan untuk menderanya (mencambuknya). Akan tetapi, diketahui bahwa ia baru menempuh masa nifas. Jika aku menderanya, aku khawatir akan membunuhnya. Lalu hal itu kuceritakan kepada Nabi dan beliau bersabda: “Bagus, biarkanlah hingga ia bersih.”
Di dalam riwayat `Abdullah bin Ahmad, bukan dari ayahnya, tercantum: “Jika ia telah suci dari nifasnya, maka deralah (cambuklah) dia 50 kali.”
Sedangkan dalam riwayat Muslim tercantum: “Apabila ia berzina untuk yang ketiga kalinya, maka juallah pada (kasus zina) yang keempat kalinya.”
Firman Allah: dzaalika liman khasyiyal ‘anata minkum (“Hal itu adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri.”) Artinya, menikahi wanita-wanita budak dengan syarat-syarat yang lalu itu, hanya dibolehkan bagi orang yang takut dirinya terjatuh pada zina, dan berat baginya untuk sabar dari jima’, serta semua itu sangat menyulitkannya, maka di saat itu bolehlah ia mengawini budak-budak wanita. Jika ia biarkan dininya untuk tidak mengawini budak-budak itu dan memperjuangkan dirinya untuk tidak terjerumus pada zina, maka itu lebih baik baginya. Karena jika ia menikahinya, maka anak-anaknya menjadi budak bagi tuan-tuannya, kecuali suaminya adalah kerabat tuannya, maka anak-anaknya tidak menjadi budak, menurut pendapat lama Imam asy-Syafi’i.
Untuk itu Allah berfirman: wa an tashbiruu khairul lakum wallaaHu ghafuurur rahiim (“Dan kesabaran itu lebih baik bagimu, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Dari ayat yang mulia ini, Jumhur ulama mengambil dalil tentang bolehnya menikahi budak-budak wanita dengan syarat tidak memiliki kemampuan menikahi wanita-wanita merdeka dan karena khawatir terjatuh dalam kemaksiatan. Karena dengan nikah tersebut mengandung bahaya, di mana anak-anaknya akan menjadi budak, serta merupakan kehinaan ketika meninggalkan menikahi wanita-wanita merdeka lalu memilih menikahi budak-budak. Dalam hal ini, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda (pendapat) dengan pendapat Jumhur ulama dengan memberikan syarat dua hal; Jikaseseorang tidak menikah dengan wanita merdeka, maka dia dibolehkan menikahi budak mukminah dan seseorang wanita Ahli Kitab, baik ia memiliki kemampuan menikahi wanita merdeka atau tidak, serta takut terjatuh pada zina atau tidak.
Dalil mereka adalah firman Allah yang artinya: “(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelummu.” (QS. Al-Maa-idah: 5) Artinya, wanita-wanita iffah (menjaga diri) mencakup merdeka atau budak. Ayat ini bersifat umum, serta secara jelas menjadi dalil apa yang dikatakan oleh Jumhur ulama. WallaHu a’lam.
Bersambung

No comments:

Post a Comment

 
back to top