Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 237
27APR
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pemaafanmu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antaramu. Sesungguhnya Allah Mahamelihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Ayat suci ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan kekhususan mut’ah dari apa yang telah diisyaratkan oleh ayat sebelumnya. Dalam ayat ini, Allah hanya mewajibkan setengah dari mahar yang telah ditentukan, jika suami menceraikan isterinya sebelum dicampuri. Karena jika di sana ada kewajiban lain berupa mut’ah, niscaya Allah akan menjelaskannya, apalagi ayat ini mengiringi ayat sebelumnya tentang kekhususan mut ah. Wallahu a’lam.
Pemberian setengah dari mahar dalam keadaan seperti itu merupakan suatu kesepakatan para ulama dan tidak terdapat lagi perbedaan di antara mereka. Ketika mahar telah disebutkan kepada seorang wanita, kemudian si suami menceraikannya sebelum dicampuri, maka suami tersebut berkewajiban memberikan setengah dari mahar yang telah disebutkan tersebut. Namun menurut Imam yang tiga, suami itu harus memberikan seluruh mahar, jika ia telah berkhalwat (berdua-duaan) meskipun belum mencampurinya. Ini merupakan madzhab Imam Syafi’i dalam qaul qadim (pendapat lama).
Dan dengan ketetapan itu pula para khulafa’ur Rasyidin memberikan keputusan. Tetapi Imam Syafi’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita lalu berkhalwat dengannya dan tidak mencampurinya, lalu menceraikannya, ia mengatakan: Wanita itu tidak mendapatkan apa-apa kecuali setengah dari mahar, karena Allah berfirman: wa in thallaqtumuuHunna min qabli an tamassuuHunna wa qad faradl-tum laHunna fariidlatan fa nish-fu maa faradl-tum (“Dan jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.”) Lebih lanjut Imam Syafi’i mengemukakan: “Demikian pendapatku dan itulah lahiriyah ayat ini.”
Dan firman Allah: illaa ay ya’fuuna (“Kecuali isteri-isteri itu memaafkan.”) Yaitu para wanita memaafkan apa yang diwajibkan bagi suami kepada mereka berupa pemberian mahar, sehingga tidak ada lagi kewajiban baginya.
Firman-Nya lebih lanjut: au ya’fuwal ladzii biyadiHii ‘uqdatun nikaahi (“Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Isa bin Ashim, katanya: Aku pernah mendengar Syuraih berkata, aku pernah ditanya Ali bin Abi Thalib mengenai orang yang memegang ikatan nikah, maka aku menjawab: “Yaitu wali mempelai wanita.” Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata: “Tidak, tetapi ia adalah suami.”
Berkenaan dengan hal itu, penulis katakan, ini adalah qaul jadid Imam Syafi’i, juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri, Ibnu Syibrimah, al-Auza’i, dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Dasar pengambilan pendapat ini adalah bahwa orang yang memegang ikatan nikah itu adalah suami, karena di tangannya kelangsungan dan pembatalan akad itu berada. (Pemberian maaf suami di sini adalah pemberian mahar olehnya secara keseluruhan).
Sisi kedua bersumber dari Ibnu Abbas -mengenai orang yang disebut Allah Ta’ala sebagai pemegang ikatan nikah- ia mengatakan, “Yaitu ayah mempelai wanita, saudara laki-lakinya, atau siapa saja yang ia tidak dapat menikah tanpa seizinnya.” Dan itulah pendapat yang dikemukakan Imam Malik, dan juga pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim. Dan yang menjadi sandarannya, ialah bahwa wali adalah orang yang menyerahkan wanita itu kepadanya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya, kecuali dalam urusan harta milik wanita itu.
Firman-Nya lebih lanjut: wa an ta’fuu aqrabu littaqwaa (“Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.”) Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan: “Yang menjadi sasaran ayat tersebut adalah kaum laki-laki dan juga kaum wanita.” Mengenai firman-Nya: wa an ta’fuu aqrabu littaqwaa, Ibnu Abbas mengatakan: “Di antara keduanya yang paling dekat dengan takwa adalah yang memberikan maaf.” Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, adh-Dhahhak, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan ats-Tsauri mengatakan: Hal yang utama dalam hal ini ialah, hendaknya wanita yang diceraikan itu memberikan maaf (mengikhlaskan) setengah dari maharnya, atau si suami melengkapi mahar yang telah disebutkan secara keseluruhan kepadanya.” Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: walaa tansawul fadl-la bainakum (“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antaramu.” Maksudnya, kebaikan. Demikian yang dikatakan Sa’id.
Adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi, dan Abu Wail, berkata: fadl-la (adalah) al-Ma’ruf (kebaikan), maksudnya janganlah kalian mengabaikan kebaikan, tetapi gunakanlah kebaikan itu di antara kalian.
innallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Sesungguhnya Allah Mahamelihat segala apa yang kamu kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatu pun dari urusan dan keadaan kalian yang tersembunyi dari Allah Ta’ala. Dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang sesuai dengan amalnya.
innallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Sesungguhnya Allah Mahamelihat segala apa yang kamu kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatu pun dari urusan dan keadaan kalian yang tersembunyi dari Allah Ta’ala. Dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang sesuai dengan amalnya.
&
No comments:
Post a Comment