Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 236

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 236

27APR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 236“Dan ‘ketahuilah bahwa Allah Mahape-ngampun lagi Mahapenyantun. “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikanisteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamumenentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pem-berian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya danorang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurutyang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yangberbuat kebajikan. (QS. 2:236)
Allah membolehkan laki-laki untuk menceraikan isteri setelah menikah dan belum bercampur dengannya. Ibnu Abbas, Thawus, Ibrahiman-Nakha’i, dan Hasan al-Bashri mengatakan: “Al-Massu berarti menikah.” Bahkan si suami diperbolehkan untuk menceraikannya sebelum bercampur dengannya dan sebelum penentuan maharnya, jika si isteri tersebut belum ditentukan maharnya, meskipun hal itu dapat mengakibatkan hatinya terluka.
Oleh karena itu Allah menyuruh memberinya mut’ah (pemberian), yaitu sebagai ganti dari sesuatu yang hilang dari dirinya. Mut’ah itu berupa sesuatu yang diberikan mantan suaminya yang ukurannya sesuai dengan kemampuannya.
Abu Hanifah berpendapat, jika pasangan suami isteri berselisih pendapat mengenai ukuran mut’ah tersebut, maka mantan suaminya itu berkewajiban memberikan setengah dari maharnya. Dalam qaul jaded-nya Imam Syafi’i me-ngatakan: “Seorang suami tidak boleh dipaksa untuk memberikan dalam ukuran tertentu tetapi minimal tidak boleh kurang dari apa yang disebut mut’ah (pemberian yang menyenangkan).”
Para ulama juga berbeda pendapat, apakah mut’ah itu harus diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, ataukah hanya wajib diberikan kepada wanita yang dicerai dan belum dicampuri serta yang belum ditentukan mahar-nya. Dalam hal itu terdapat beberapa pendapat.
Pertama, bahwa mut’ah itu harus diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan. Pendapat ini didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala: wa lil muthallaqaati mataa’um bil ma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiin (“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya] mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”) (QS. Al-Baqarah: 241).
Juga berdasarkan firman-Nya yang lain yang artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, jika kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya diberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. ” (QS. Al-Ahzaab: 28). Sedangkanmereka sudah dicampuri dan sudah pula ditentukan maharnya.
Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair, Abu Aliyah, Hasan al-Bashri, dan merupakan salah satu pendapat asy-Syafi’i. Diantara mereka ada yang menjadikan pendapat ini sebagai qaul jadid yang shahih. Wallahu a’lam.
Kedua, mutah itu hanya wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan belum dicampuri, meskipun sudah ditentukan maharnya. Hal itu didasarkan pada firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekalikali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-Ahzaab: 49).
Dan telah diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya dari Sahal bin Said dan Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan: “Rasulullah menikahi Umaimah binti Syurahbil. Ketika dipertemukan dengan beliau, beliau merentangkan tangannya kepadanya, dan seolah-olah Umaimah tidak menyukai hal itu. Maka beliau menyuruh Abu Usaid untuk menyiapkan dan memberikan kepadanya dua pakaian berwarna biru.”
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa mut’ah (pemberian) itu hanya wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya. Jika sudah dicampuri, maka wajib diberi mut’ah yang nilainya sama dengan mahar, jika mahar belum diserahkan. Dan jika mahar sudah ditentukan, lalu diceraikan sebelum dicampuri, maka mantan suaminya itu harus membayar setengah dari mahar yang sudah ditentukan itu. Dan jika sudah dicampuri, maka ia wajib membayar mahar itu secara keseluruhan, sebagai pengganti mut’ah. Karena sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut’ah hanyalah wanita yang belum ditentukan maharnya dan belum dicampuri. Dan inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas, yang mengharuskan pemberian mut’ah. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Mujahid. Di antara ulama ada yang menyunahkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang dicerai kecuali wanita “mufawwidhah” (yang memasrahkan jumlah maharnya) dan sudah dicerai sebelum dicampuri. Dan pendapat tersebut tidak ditolak. Dan makna itu pula yang dikandung oleh ayat dalam surat Al-Ahzab.
Oleh karena itu, Allah berfirman: wa matti’Hunna ‘alal muusi-‘i qadaruHuu wa ‘alal muqtiri qadaruHuu mataa-‘am bilma’ruufi haqqan ‘alal muhsiniin (“Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah [pemberian] kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”)
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top