Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 30
9FEB
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (al-Baqarah: 30)
Allah memberitahukan ihwal penganugerahan karunia-Nya kepada anak cucu Adam, yaitu berupa penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di hadapan “al mala-ul a’laa” (para malaikat), sebelum mereka diciptakan. Dia berfirman: wa idz qaala rabbuka lil malaa-ikati (“Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat”) artinya, hai Muhammad, ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakan pula hal itu kepada kaummu.
Innii jaa’ilun fil ardli khaliifata (“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”) Yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya,kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana firman-Nya: Huwal ladzii ja’alakum khalaa-ifa fil ardli (“Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi.”) (QS. A1-An’aam: 165).
Juga firman-Nya: “Kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun temurun.” (QS. Az-Zukhruf: 60).
Yang jelas bahwa Allah tidak hanya menghendaki Adam saja, karena jika yang dikehendaki hanya Adam, niscaya tidak tepat pertanyaan malaikat, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.”
Artinya, para malaikat itu bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini terdapat orang yang akan melakukan hal tersebut. Seolah- olah para malaikat mengetahui hal itu berdasarkan ilmu khusus, atau mereka memahami dari kata “Khalifah ” yaitu orang yang memutuskan perkara di antara manusia tentang kezaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan oleh al-Qurthubi.
Atau mereka membandingkan manusia dengan makhluk sebelumnya. Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah atau kedengkian terhadap anak cucu Adam, sebagaimana yang diperkirakan oleh sebagian mufassir. Mereka ini telah disifati Allah swt. sebagai makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu yang tidak Dia izinkan.
Di sini tatkala Allah swt telah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi,” maka mereka bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang terdapat di dalamnya.
Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para malaikat itu, Allah swt. berfirman, innii a’lamu maa laa ta’lamuun (“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”) Artinya, Aku (Allah) mengetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia) terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka juga terdapat para shiddiqun, syuhada’, orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wall, orang-orang yang dekat kepada Allah, para ulama, orang-orang yang khusyu’, dan orang-orang yang cinta kepada-Nya, serta orang-orang yang mengikuti para Rasul-Nya.
Dalam hadits shahih telah ditegaskan bahwa jika para malaikat naik menghadap Rabb dengan membawa amal hamba-hamba-Nya, maka Dia akan nanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih tahu tentang manusia, “Dalam keadaan bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba Ku?” Mereka menjawab, “Kami datang kepada manusia ketika mereka sedang mengerjakan shalat, kami tinggalkan dalam keadaan mengerjakan shalat pula.” Yang demiki karena mereka datang silih berganti mengawasi kita berkumpul dan bertemu pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Maka di antara mereka ada, yang tetap tinggal mengawasi, sedang yang lain lagi naik menghadap Allah dengan membawa amal para hamba-Nya. Ucapan para malaikat, “Kami datangi mereka ketika sedang mengerjakan shalat dan kami tinggalkan mereka juga ketika dalam keadaan mengerjakan shalat,” merupakan tafsiran firman Allah swt. kepada mereka, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ada juga pendapat yang mengatakan, hal itu merupakan jawaban ucapan para malaikat, yaitu firman-Nya: wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisulaka (“kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu.”) Maka Dia pun berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Yakni mengetahui akan adanya Iblis di antara kalian, dan Iblis itu bukanlah seperti yang kalian sifatkan untuk diri kalian sendiri. Ada juga yang berpendapat, ucapan para malaikat yang terdapat dalam firman Allah: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” mengandung permohonan agar mereka diturunkan ke bumi untuk menggantikan Adam as. dan keturunannya. Maka Allah berfirman kepada para malaikat: “innii a’lamu maa laa ta’lamuun (“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”) maksudnya tempat tinggal kalian di langit itu lebih baik bagi kalian. Demikian yang dikemukakan oleh ar-Razi’. wallaaHu a’lam.
Pendapat para Mufasirin
Bersumber dari Hasan al-Bashri dan Qatadah, Ibnu Jarir mengatakan: firman Allah: Innii jaa’ilun fil ardli khaliifata (“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”) maksudnya Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan melakukan hal itu.” Artinya Dia memberitahukan hal itu kepada para malaikat.
Ibnu Jarir mengatakan: artinya Allah berfirman, “Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan mengambil keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia.”
Berkenaan dengan firman Allah: “Padahal hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan Mu,” Abdurrazak, dari Mu’ammar, dari Qatadah, berkata: “Tasbih adalah tasbih, sedang taqdis adalah shalat.”
Ibnu Jarir mengatakan, taqdis berarti pengagungan dan penyucian. Misalnya ucapan mereka, “subbuuhun qudduusun” artinya subbuuhun Allah dan qudduusun adalah menyucikan serta pengagungan bagi-Nya. Demikian juga dikatakan untuk bumi, ardlun muqaddasatun (tanah suci).
Dengan demikian, firman-Nya, “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu, ” berarti, kami senantiasa menyucikan-Mu dan menjauhkan-Mu dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik kepada-Mu. “Dan kami menyucikan-Mu,” artinya, kami menisbatkan kepada-Mu sifat-sifat yang Engkau miliki, yaitu kesucian dari berbagai kenistaan dan dari apa yang dikatakan kepada-Mu oleh orang-orang kafir.
Dalam shahih Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Dzar ra: “Bahwa Rasulullah pernah ditanya, ‘Ucapan apa yang paling baik?’ Beliau menjawab, “Yaitu apa yang dipilih oleh Allah bagi para malaikat-Nya; `Maha-suci Allah, segala puji bagi-Nya.”‘
Mengenai firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,” Qatadah mengatakan, “Allah sudah mengetahui bahwa di antara khalifah itu akan ada Para nabi, rasul, kaum yang shalih, dan para penghuni surga.”
Al-Qurthubi dan ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah umat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzhalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya pemimpin, dan “Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula.”
Imamah itu diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama ahlus sunnah terhadap Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut pendapat lainnya. Atau melalui penunjukkan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap Umar bin Khaththab. Atau dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khatthab. Atau dengan kesepakatan bersama “ahlul halli wal ‘aqdi” untuk membai’atnya, atau dengan bai’at salah seorang dari mereka kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut menurut Imam al-Haramain merupakan ijma’ (konsensus), wallaaHu a’lam. Atau dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya taati. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i.
Apakah harus ada saksi atas terbentuknya imamah ?
Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Di antara mereka ada yang menyatakan, bahwasanya hal tersebut tidak disyaratkan. Dan juga yang menyatakan, hal itu memang suatu keharusan dan cukup dua orang saksi saja.
Pemimpin harus seorang laki-laki, merdeka, baligh, berakal, muslim, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, memahami strategi perang dan berwawasan luas serta berasal dari suku Quraisy, menurut pendapat yang shahih. Namun tidak disyaratkan harus berasal dari keturunan al-Hasyimi dan tidak harus seorang ma’shum (terlindungi) dari kesalahan. Hal terakhir berbeda dengan pendapat golongan ekstrim Rafidhah (Syi’ah).
Jika seorang imam berbuat kefasikan, apakah ia harus dicopot atau tidak?
Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat, tetapi yang shahih adalah bahwa pemimpin tersebut tidak perlu dicopot. Berdasarkan sabda Rasulullah: “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata sementara kalian memiliki bukti dari Allah dalam hal itu.”
Apakah ia berhak mengundurkan diri ?
Terdapat pula perbedaan pendapat dalam masalah ini. Hasan bin Ali ra. telah mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, tetapi hal itu didasarkan pada suatu alasan, dan karena tindakannya itu ia mendapatkan pujian. Sedangkan pengangkatan dua imam (pemimpin) atau lebih di muka bumi (pada masa yang sama), yang demikian sama sekali tidak diperbolehkan. Berdasarkan sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian sudah menyatu, dengan maksud akan memecahbelah kalian, maka bunuhlah ia, siapapun orangnya.” (Kitab Zaadul Masiir)
Yang demikian itu merupakan pendapat jumhurul (mayoritas) ulama. Adapun yang menyatakan ijma’ (konsensus) sebagaimana disebutkan oleh beberapa ulama seperti Imam al-Haramain.
&
No comments:
Post a Comment