Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 133-134
31MAR
“Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku.’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Mahaesa dan kami hanya tunduk kepada-Nya’”. (QS. Al-Baqarah: 133) Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 134)
Allah swt. berfirman sebagai hujjah atas orang-orang musyrik Arab dari anak keturunan Ismail dan juga atas orang-orang kafir dari keturunan Israil [yaitu Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim as], bahwa ketika kematian menjemputnya, Ya’qub berwasiat kepada anak-anaknya supaya beribadah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Ya’qub berkata: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Ilah-mu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishak.’”
Hal ini termasuk bab taghlib (penyamarataan), karena sebenarnya Ismail adalah paman Ya’qub. An-Nahhas mengatakan: “Masyarakat Arab biasa menyebut paman dengan sebutan ayah.” Seperti yang dinukil oleh al-Qurthubi.
Ayat ini juga dijadikan dalil orang-orang yang menjadikan kedudukan kakek sebagaimana kedudukan ayah sehingga keberadaannya menghalangi (menutupi) saudara-saudara dalam memperoleh harta warisan. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari jalan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Kemudian Bukhari mengatakan, “Dan tidak ada yang menyelisihi pendapat itu. Dan itu pula yang menjadi pendapat Aisyah, Ummul mukminin.”
Hal itu juga dikemukakan oleh Hasan al-Bashri, Thawus, dan Atha’ juga merupakan pendapat Abu Hanifah serta beberapa ulama salaf dan khalaf. Sedangkan Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan, bahwa bapak berbagi dengan para saudara dalam warisan. Pendapat ini diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan sekelompok ulama salaf dan khalaf, serta menjadi pilihan dua sahabat Abu Hanifah, yaitu al-Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Dan untuk penetapan masalah ini perlu ada pembahasan khusus.
Firman Allah swt.: ilaaHaw waahidan (“[Yaitu] Ilah yang Mahaesa.”) Artinya, kami mengesakan dalam penghambaan kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Wa nahnu laHuu muslimuun (“Dan hanya kepada-Nya-lah kami berserah diri.”) Maksudnya, kami benar-benar taat dan tunduk, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Padahal kepada-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi berserah diri, baik dengan suka maupun terpaksa. Dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imraan: 83)
Islam adalah agama seluruh nabi, meskipun syari’at mereka berbeda dan manhaj mereka pun berlainan. Firman Allah Ta’ala yang artiny: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada sesembahan yang sebenarnya melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadits-hadits Rasulullah yang membahas masalah ini, di antaranya sabda beliau: “Kami para nabi adalah anak-anak yang berlainan ibu, sedang agama kami adalah satu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.)
Firman Allah Ta’ala: tilka ummatun qad khalat (“Itu adalah umat yang telah lalu.”) Artinya telah lewat, laHaa maa kasabat walakum maa kasabtum (“Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagi kamu apa yang telah kamu usahakan.”) Maksudnya, sesungguhnya pengakuan kalian sebagai anak keturunan umat yang terdahulu yaitu para Nabi dan orang-orang shalih tidak akan memberi manfaat jika kalian tidak berbuat kebaikan yang menguntungkan diri kalian sendiri, karena amal perbuatan mereka itu untuk diri mereka sendiri dan amal perbuatan kalian untuk diri kalian sendiri. Wa laa tus-aluuna ‘ammaa kaanuu ya’maluun (“Dan kamu tidak akan diminta pertanggung jawaban mengenai apa yang telah mereka kerjakan.”)
Mengenai firman Allah Ta’ala, tilka ummatun qad khalat (“Itu adalah umat yang telah lalu.”) Abu al-Aliyah, Rabi’ bin Anas, dan Qatadah mengatakan, “Yakni Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub, dan anak cucunya.” Oleh karena itu dalam sebuah atsar disebutkan: “Barangsiapa yang lambat dalam beramal, maka tidak dapat dipercepat oleh nasab keturunannya. (Atsar ini dapat juga mencakup hadits marfu’, karena diriwayatkan pula oleh Imam Muslimsebagai hadits marfu’, dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits yang panjang.)
&
No comments:
Post a Comment