Saturday, June 9, 2018

[QS2:284] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 284– Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. – Allah akan menghisab amal hamba-Nya

0 Comments

– Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
– Allah akan menghisab amal hamba-Nya
8

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 284

MEI
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 284“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 284)
Allah memberitahukan, bahwa Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan Dia selalu memantau segala sesuatu yang terdapat di sana, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, baik itu yang tampak maupun yang tersembunyi, meskipun sangat kecil dan benar-benar tersembunyi.
Selain itu Dia juga memberitahukan bahwasanya Dia akan menghisab hamba-hamba-Nya atas segala perbuatan yang telah mereka kerjakan dan apa yang telah mereka sembunyikan dalam hati mereka. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya: “Katakanlah, ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu memperlihatkannya, pasti Allah mengetahui.’ Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imraan: 29).
Dan firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaahaa :7). Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas hal tersebut sangat banyak.
Allah telah memberitahu dalam ayat ini, bahwa Dia bukan saja mengetahui, tetapi juga menghisab semua itu. Oleh karena itu, turunnya ayat ini, terasa sangat memberatkan para Sahabat. Mereka merasa takut darinya dan dari muhasabah (perhitungan) Allah Ta’ala terhadap mereka atas semua perbuatan baik kecil maupun besar. Hal ini karena kedalaman iman dan keyakinan mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan: Ketika turun kepada Rasulullah ayat (berikut): “Kepunyaan Allah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatan kamu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki pula. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” maka hal itu terasa sangat berat bagi para sahabat Rasulullah saw, lalu mereka menemui Rasulullah saw. kemudian berlutut seraya berucap: “Ya Rasulullah, kami telah dibebani dengan amalan-amalan yang sanggup kami kerjakan, seperti shalat, puasa, jihad, dan sedekah. Dan sekarang telah turun kepadamu ayat ini, dan kami tidak sanggup (memikulnya).” Maka Rasulullah pun bersabda: “Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang telah dikatakan oleh Ahlul Kitab sebelum kalian, “Kami mendengar dan kami melanggarnya? Tetapi katakanlah: ‘Kami mendengar dan kami menaatinya. Ampunilah kami, ya Rabb kami. Dan kepada-Mu-lah tempat kembali.’ Setelah mereka mau menerima ayat ini dan lidah mereka pun telah tunduk mengucapkannya, maka setelah itu Allah menurunkan firman-Nya:
‘Rasul telah beriman kepada al-Qur an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Mereka mengatakan: ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami, ya Rabb kami. Dan kepada-Mu tempat kembali.’”
Setelah mereka melakukan hal itu, Allah menasakh ayat tersebut dan menurunkan firman-Nya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami bersalah….’”(Dan seterusnya).
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits senada, dari Abu dengan lafadz: Setelah mereka melakukan hal itu, Allah Ta’ala pun menasakh ayat itu dan menurunkan firman-Nya [yang artinya]: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan nya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.’ Allah pun menjawab: ‘Ya.’ ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.’ Allah pun menjawab: ‘Ya.’ ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.’ Dan Allah menjawab: ‘Ya.’ ‘Berikanlah maaf kepada kami, ampunilah kami, dan berikanlah rahmat kepada kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.’ ‘Allah menjawab: ‘Ya,’. (HR. Muslim).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, ia menceritakan: “Aku pernah bertamu ke rumah Ibnu Abbas, lalu kukatakan kepadanya: ‘Wahai Abu Abbas, aku pernah bersama Ibnu Umar, lalu ia membaca ayat ini dan kemudian menangis.’ Ibnu Abbas bertanya: ‘Ayat apa itu?’ Kujawab: ‘Yaitu ayat: ‘Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Sesungguhnya ketika diturunkan, ayat ini sempat membuat para sahabat Rasulullah benar-benar sangat bersedih dan menjadikan mereka sangat tertekan perasaannya. Dan mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, binasalah kami, jika kami dihukum atas apa yang kami ucapkan dan kami perbuat, sedangkan hati kami tidak berada di tangan kami.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Katakanlah: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Mereka pun mengatakan, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, setelah itu ayat ini pun dinasakh (dihapuskan) dengan firman-Nya: “Rasul telah beriman kepada al-Qur an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Mereka mengatakan, ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka mengatakan, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami, ya Rabb kami. Dan kepada-Mu tempat kembali.’ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” Sehingga hilang keberatan yang ada pada diri mereka, dan selanjutnya mereka mau mengamalkannya.”
Dan jalur-jalur hadits tersebut adalah shahih. Dan hadits tersebut telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Imam al-Bukhari meriwayatkannya dari salah seorang sahabat Rasulullah, yang aku duga adalah Ibnu Umar.
Mengenai firman Allah Ta’ala: wa in tubduu maa fii anfusikum au tukhfuuHu (“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya.”) Ia mengatakan, “Ayat tersebut telah dinasakh oleh ayat setelahnya.”
Dan hal itu telah ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan sejumlah penulis dalam Kutub Sittah (kitab hadits yang enam), melalui jalan Qatadah, dari Zararah bin Abi Aufa, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan untukku maaf bagi umatku atas apa yang dikatakan hatinya selama tidak diucapkan atau dikerjakannya.”
Dalam kitab Shahihain telah diriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw, mengenai apa yang beliau riwayatkan dari Allah Ta’ala, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mencatat seluruh perbuatan baik dan perbuatan buruk. Selanjutnya Dia menjelaskan hal itu. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh di sisi-Nya. Dan jika ia berniat mengerjakan kebaikan, lalu ia mengerjakannya, maka Allah mencatatnya sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat bahkan sampai kelipatan yang banyak. Dan jika ia berniat mengerjakan keburukan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan di sisi-Nya. Dan jika ia berniat mengerjakan keburukan, lalu ia mengerjakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu keburukan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan dalam hadits Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia menceritakan: Ada beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah saw, lalu mereka bertanya kepada beliau: “Sesungguhnya kami mendapatkan pada diri kami sesuatu yang salah seorang di antara kami merasa segan untuk membicarakannya.” Beliau bertanya: “Benarkah kalian telah mendapatkannya?” “Benar,” jawab mereka. Beliau pun bersabda: “Itu adalah iman yang tulus.” (HR. Muslim).
Masih menurut riwayat Imam Muslim, dari Abdullah, ia menceritakan, Rasulullah pernah ditanya mengenai was-was. Maka beliau menjawab: “Itulah iman yang tulus.”
Mengenai firman Allah: wa in tubduu maa fii anfusikum au tukhfuuHu yuhaasibkum biHillaHu (“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan kamu itu.”) Ali bin Abi Thalhah menceritakan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ayat ini tidak dinasakh, tetapi ketika Allah Ta’ala mengumpulkan semua makhluk pada hari kiamat kelak, maka Dia akan mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku akan beritahukan kepada kalian apa yang telah kalian sembunyikan dalam hati kalian yang tidak dapat dilihat oleh malaikat-Ku.” Sedangkan kepada orang-orang yang beriman, Allah Ta’ala akan memberitahu mereka dan mengampuni mereka atas apa yang telah dikatakan oleh hati mereka.” Yaitu firman-Nya: yuhaasibkum biHillaHu; Maksudnya, Dia memberitahu kamu. Adapun bagi orang-orang yang bimbang dan penuh keraguan, maka kepada mereka akan diberitahukan kedustaan yang telah mereka sembunyikan. Dan itulah makna firman Allah: fa yaghfiru limay yasyaa-u wa yu’adzdzibu may yasyaa-u (“Maka Allah mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki pula.”) Dan itu pula makna firman-Nya yang artinya: “Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan apa yang diperbuat oleh hatimu.” (QS. Al-Baqarah: 225). Maksudnya adalah keraguan dan kemunafikan.
Al-Aufi dan adh-Dhahhak telah meriwayatkan makna yang berdekatan dengan makna tersebut.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Shafwan bin Mahraz, ia menceritakan: “Ketika kami sedang mengerjakan thawaf di Baitullah bersama Abdullah bin Umar. Ketika ia sedang mengerjakan thawaf, tiba-tiba datang kepadanya seseorang lalu berkata: ‘Hai Ibnu Umar, apa yang engkau dengar dari Rasulullah saw. ketika bersabda tentang Najwa (bisikan)?’ Ibnu Umar menjawab: ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Orang mukmin mendekati Rabb-nya swt. Lalu Dia meletakkannya di bawah naungan lindungan-Nya dan membuatnya mengakui atas segala dosa-dosanya.’ Dia bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau tahu dosamu ini?’ dia menjawab: ‘Rabb-ku lebih mengetahui.’ [Hal itu dikatakannya dua kali]. Hingga Dia mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku telah menutupinya bagimu di dunia dan sesungguhnya Aku akan mengampuninya untukmu hari ini.’ Selanjutnya Dia memberikan lembar catatan kebaikannya [atau kitab catatannya] melalui tangan kanannya. Sedangkan bagi orang-orang kafir dan munafik, maka mereka akan diseru di hadapan para saksi, “Orang-orang inilah yang telah berdusta kepada Rabb mereka. Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim. ” (QS. Huud: 18).”
Hadits ini juga diriwayatkan dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dan juga kitab-kitab hadits yang lainnya melalui berbagai jalur.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top