Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 200-202
7APR
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia,’ dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS. Al-Baqarah: 200) Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah: 201) Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 202)
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar menyuruh banyak berdzikir kepada-Nva seusai menyelesaikan amalan manasik haji. Dan firman-Nya: kadzikrikum aabaa-akum (“Sebagaimana kamu menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek inoyangmu.”) Para ulama masih berbeda pendapat mengenai makna firman Allah Ta’ala tersebut. Ibnu Juraij meriwayatkan, dari Atha’, ia menuturkan, “Yaitu seperti ucapan seorang anak: “Bapak, Ibu.” Artinya, sebagaimana seorang anak senantiasa mengingat ayah dan ibunya. Demikian juga dengan anda sekalian, berdzikirlah kepada Allah Ta’ala setelah selesai melaksanakan manasik haji.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh adh-Dhahhak, dan Rabi’ bin Anas. Hal senada juga diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.
Sa’id bin Jubair meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Dahulu, ketika masyarakat Jahiliyah berwuquf di musim haji, salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Ayahku suka memberi makan, menanggung beban, dan menanggung diat orang lain.’ Mereka tidak menyebut-nyebut kecuali apa yang pernah dikerjakan bapak-bapak mereka. Kemudian Allah menurunkan kepada Nabi ayat berikut ini: fadz-kurullaaHa kadzikrikum aabaa-akum au asyadda dzikran (“Maka berdzikirlah [dengan menyebut] Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek moyangmu atau [bahkan] berdzikirlah lebih banyak dari itu.”) Wallahu a’lam. Maksud dari firman ini adalah perintah untuk memperbanyak dzikir kepada Allah swt. Dan kata “au” (atau) dalam ayat itu dimaksudkan untuk menegaskan keserupaan dalam berita, seperti halnya firman Allah: fa Hiya kalhijaarati au asyaddu qaswatun (“Hati kamu itu menjadi keras seperti batu atau bahkan lebih keras lagi.”) (QS. Al-Baqarah: 74). Fa kaana qaaba qausaini au adnaa (“Maka jadilah ia dekat [kepada Muhammad] dua ujung busur panah, atau bahkan lebih dekat lagi.” (QS. An-Najm: 9).
Dengan demikian, kata “atau” di sini bukan menunjukkan keraguan, tetapi untuk menegaskan suatu berita atau (keadaan berita itu) lebih daripada itu. Allah membimbing para hamba-Nya untuk berdo’a kepada-Nya setelah banyak berdzikir kepada-Nya, karena saat itu merupakan waktu terkabulnya do’a. Pada sisi lain, Dia mencela orang-orang yang tidak mau memohon kepada-Nya kecuali untuk urusan dunia semata dan memalingkan diri dari urusan akhiratnya. Allah swt. berfirman: fa minan naasi may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa wamaa laHuu fil aakhirati min khalaaq (“Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a, ‘Ya Rabb kami, berilah kami [kebaikan] di dunia,’ dan tiada baginya bagian [yang menyenangkan] di akhirat.”) Ayat ini mengandung celaan sekaligus pencegahan dari tindakan menyerupai orang yang melakukan hal itu.
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, “Ada suatu kaum dari masyarakat Badui yang datang ke tempat wuquf, lalu mereka berdo’a, Ya Allah, jadikanlah tahun ini sebagai tahun yang banyak turun hujan, tahun kesuburan, dan tahun kelahiran anak yang baik.’” Dan mereka sama sekali tidak menyebutkan urusan akhirat. Maka Allah menurunkan firman-Nya: fa minan naasi may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa wamaa laHuu fil aakhirati min khalaaq (“Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a, ‘Ya Rabb kami, berilah kami [kebaikan] di dunia,’ dan tiada baginya bagian [yang menyenangkan] di akhirat.”)
Setelah mereka datanglah orang-orang yang beriman, dan mereka mengucapkan: rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa ‘adzaaban naar (“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka.”) Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya: ulaa-ika nashiibum mimmaa kasabuu wallaaHu sarii’ul hisaab (“Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat hisab-Nya.”)
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memohon kebaikan dunia dan akhirat kepada-Nya. Dia berfirman: wa minHum may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa ‘adzaaban naar (“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka.”) Do’a ini meliputi berbagai kebaikan di dunia dan menjauhkan segala kejahatan. Kebaikan di dunia mencakup segala permintaan yang bersifat duniawi, berupa kesehatan, rumah yang luas, isteri yang`cantik, rizki yang melimpah, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang nyaman, pujian, dan lain sebagainya yang tercakup dalam ungkapan para mufassir, dan di antara semuanya itu tidak ada pertentangan, karena semuanya itu termasuk ke dalam kategori kebaikan dunia.
Sedangkan mengenai kebaikan di akhirat, maka yang tertinggi adalah masuk surga dan segala cakupannya berupa rasa aman dari ketakutan yang sangat dahsyat, kemudahan hisab, dan berbagai kebaikan urusan akhirat lainnya. Sedangkan keselamatan dari api neraka, berarti juga kemudahan dari berbagai faktor penyebabnya di dunia, yaitu berupa perlindungan dari berbagai larangan dan dosa, terhindar dari berbagai syubhat dan hal-hal yang haram.
Al-Qasim Abu Abdur Rahman mengatakan, “Barangsiapa dianugerahi hati yang suka bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir, dan diri yang sabar, berarti ia telah diberikan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta dilindungi dari adzab neraka. Oleh karena itu, sunnah Rasulullah menganjurkan do’a tersebut di atas.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Anas bin Malik, katanya, Rasulullah pernah berdo’a: “Ya Allah, ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta peliharalah kami dari adzab neraka.”
Dan Anas bin Malik sendiri jika hendak berdo’a, ia selalu membaca do’a itu, atau ia menyisipkan do’a itu dalam do’anya yang lain. Dan diriwayatkan oleh Muslim, (yaitu perkataan Anas.-Pent.) “Jika Allah mendatangkan kebaikan kepada kalian di dunia dan kebaikan di akhirat serta melindungi kalian dari adzab neraka, berarti Dia telah memberikan seluruh kebaikan kepada kalian.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas: “Rasulullah saw. pernah menjenguk seorang muslim yang sudah sangat lemah seperti anak burung, lalu beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau berdo’a kepada Allah atau memohon sesuatu kepada-Nya?’ Ia menjawab: ‘Ya, aku mengucapkan: Ya Allah jika Engkau menetapkan siksaan kepadaku di akhirat, timpakan saja kepadaku lebih awal di dunia.’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Subhanallah, engkau tidak akan kuat atau tidak akan sanggup menerimanya. Mengapa engkau tidak mengucapkan, ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari adzab api neraka.’ Maka ia pun memanjatkan doa tersebut kepada Allah, dan Allah pun menyembuhkannya.’” (Hadits ini hanya disebutkan oleh Muslim dengan ia meriwayatkannya dari Ibnu Abi Adi)
Imam Syafi’i meriwayatkan dari Abdullah bin Sa’ib, bahwasanya ia pernah mendengar Nabi mengucapkan (di sisi Ka’bah) di antara rukun (pojok), Bani Jamh (rukun Yamani) dan rukun Aswad (Hajar Aswad): “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari adzab api neraka.” sanad hadits ini dha’if (lemah). Wallahu a’lam.
Dalam kitab Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan, dari Sa’id bin Jubair, ia menceritakan, ada seseorang yang datang kepada Ibnu Abbas seraya berkata, “Sesungguhnya aku membayar suatu kaum agar membawaku dan dengan upah itu aku meminta mereka agar mendo’akanku, dan aku berhaji bersama mereka, apakah hal itu berpahala?” Maka Ibnu Abbas menjawab: “Engkau termasuk orang-orang yang dikatakan Allah Ta’ala: ulaa-ika nashiibum mimmaa kasabuu wallaaHu sarii’ul hisaab (“Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat hisab-Nya.”)
Kemudian al-Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
&
No comments:
Post a Comment