Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 61
17FEB
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 61
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (al-Baqarah: 61)
Allah Ta’ala menyeru, Hai Bani Israil ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian berupa Manna dan Salwa sebagai makanan yang bermanfaat bagi kalian, menyenangkan dan mudah didapat. Dan ingatlah ketika kalian menolak dan merasa bosan dengan apa yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, serta meminta kepada Musa as. agar menggantikannya dengan makanan yang hina berupa sayur-sayuran dan sejenisnya.
Al-Hasan al-Bashri berkata, dan merekapun menolak semuanya dan tidak tahan dengannya. Lalu mereka menyebutkan gaya hidup yang mereka jalani, sebagai kaum yang sangat gemar dengan kacang adas, bawang merah, sayuran dan bawang putih. Mereka berkata: “Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”.
Mereka mengatakan tidak tahan terus-menerus mengkonsumsi satu jenis makanan, padahal mereka makan Manna dan salwa, namun karena makanan mereka tidak pernah ganti, tiap hari, maka dikatakan sebagai satu makanan. Al-Buquulu (“Sayur-mayur”) al-kitsaa-u (ketimun) al-‘adasu (kacang adas) dan al-bashalu (bawang merah) semua ini sudah dikenal. Sedangkan mengenai “al-fuumu” masih terdapat perbedaan di kalangan ulama salaf. Menurut Ibnu Mas’ud, kata itu dibaca “tsuumiHaa” dengan menggunakan huruf “tsa” di depan.
Mengenai firman-Nya, “wa fuumiHaa”, Hasan al-Bashri dari Ibnu Abbas mengatakan, yaitu al-tsuum (bawang putih). Katanya Pula: “fuumuulanaa” dalam bahasa kuno artinya; buatkan roti untuk kami. Ibnu Jarir menuturkan, jika pendapat itu benar, maka huruf itu termasuk huruf yang dapat dirubah-rubah.
Misalnya, kalimat “wa qa’uu fii ‘aatsuuri syarrin” (mereka terlibat dalam perkara kejahatan) bisa juga dikatakan juga kata “’aafuuri syarrin ” juga kata “aatsaafii” (batu penyangga untuk memasak) dikatakan Pula dan kata “aatsaasyin” (pelapis topi perang, dari besi) disebut juga “maghaatsiiru”dan lain sebagainya, di mana “fa” berubah menjadi “tsa” dan “tsa” berubah menjadi “fa”, karena adanya kedekatan makhrajnya (tempat keluarnya huruf). Wallahu a’lam.
Misalnya, kalimat “wa qa’uu fii ‘aatsuuri syarrin” (mereka terlibat dalam perkara kejahatan) bisa juga dikatakan juga kata “’aafuuri syarrin ” juga kata “aatsaafii” (batu penyangga untuk memasak) dikatakan Pula dan kata “aatsaasyin” (pelapis topi perang, dari besi) disebut juga “maghaatsiiru”dan lain sebagainya, di mana “fa” berubah menjadi “tsa” dan “tsa” berubah menjadi “fa”, karena adanya kedekatan makhrajnya (tempat keluarnya huruf). Wallahu a’lam.
Dan Abu Malik, Hasyim mengatakan, wa fuumiHaa berarti “al-hinthaatu” (gandum). Wallahu `alam.
Sedangkan Ibnu Duraid mengatakan, “alfuumu” berarti “assanbulatu”.
Sedangkan Ibnu Duraid mengatakan, “alfuumu” berarti “assanbulatu”.
Al-Qurthubi meriwayatkan dari Atha’ dan Qatadah bahwa al-fuum itu setiap biji yang dapat dibuat roti.
Dan menurut sebagian ulama lain, yaitu jenis kacang dalam bahasa Syam.
Dan menurut sebagian ulama lain, yaitu jenis kacang dalam bahasa Syam.
Al-Bukhari menuturkan, sebagian ulama mengatakan bahwa segala macam biji-bijian yang dapat dimakan adalah fum.
Firman-Nya, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang lebih buruk sebagai pengganti yang baik ?” Dalam ungkapan ini terdapat teguran keras sekaligus kecaman terhadap tindakan mereka meminta makanan-makanan buruk lagi rendah tersebut, padahal mereka berada dalam kehidupan yang enak, dan dipenuhi dengan makanan-makanan lezat, baik dan bermanfaat.
Firman-Nya, iHbithuu mish-ran (“Pergilah kamu ke suatu kota”) Demikianlah, kata “mish-ran” ditulis dengan bertanwin dan diberi alif sesuai penulisan mushaf Khalifah Utsman, dan itulah qira’ah jumhur ulama.
Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, “iHbithuu mish-ran” ini, mengatakan: “mish-ran” salah satu dari “amshaarun” (kota-kota).
Ibnu Jarir mengatakan, mungkin juga yang dimaksud dengan kata mishran tersebut adalah Mesir, di mana Fir’aun menetap. Yang benar, bahwa yang dimaksud dengan mishran di sini adalah salah satu dari amshaar’, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Karena Musa as. berkata kepada mereka, makanan yang kalian minta itu bukanlah suatu hal yang sulit diperoleh, bahkan banyak dijumpai di belahan kota mana saja yang kalian datangi. Dan karena rendah dan banyaknya makanan itu di seluruh kota, tidak sebanding jika aku memohon hal itu kepada Allah. Maka Nabi Musa berkata: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang lebih buruk sebagai pengganti yang baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pastilah kamu memperoleh apa yang kamu minta.” Maksudnya, permintaan kalian itu hanya sebagai bentuk kesombongan dan mengkufuri nikmat juga bukan hal yang darurat, maka permintaan tersebut tidak dipenuhi. Wallahu a’lam.
“Lalu ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (QS. 2:61)
Allah berfirman, “Lalu ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan.” Maksudnya, nista dan kehinaan itu ditimpakan dan ditetapkan atas mereka sesuai syari’at dan takdir. Artinya, mereka akan terus dan senantiasa dihinakan. Setiap orang yang menjumpai mereka akan memandang mereka hina dan rendah. Dan dengan demikian itu, mereka benar-benar menghinakan diri mereka sendiri.
Mengenai firman-Nya, “Lalu ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan.” Dari Ibnu Abbas, ad-Dahhak menuturkan: “Mereka adalah orang-orang yang membayar jizyah.”
Abdur Razak dari Mu’ammar dari Hasan dan Qatadah mengenai firman-Nya, “Lalu ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan.” mengatakan: “Mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Menurut adh-Dhahhak: “Adz-dzillah berarti kehinaan, kerendahan.”
Sedangkan Hasan al-Bashri mengatakan: “Allah menghinakan mereka, maka mereka tidak mempunyai kekuatan, dan menjadikan mereka berada di bawah kaki kaum muslim ini. Dan umat ini sempat menyaksikan orang-orang Majusi memungut jizyah dari mereka.”
Abu al-Aliyah, Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi mengatakan: “Al-maskanah berarti kesusahan.” Sedang menurut Athiyah al-Aufi yaitu “pajak.”
Firman-Nya: “Dan mereka mendapat kemurkaan dari Allah,” adh-Dhahhak mengatakan: mereka berhak mendapat kemurkaan dari Allah.”
Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatkan: “Maka turun kepada mereka murka dari Allah.”
Dan masih mengenai firman-Nya ini, Ibnu Jarir mengatakan: mereka pulang dan kembali. Dan tidak dikatakan “baa-uu” (kembali) melainkan bersambung dengan kata berikutnya, baik dengan suatu hal yang baik maupun buruk. Misalnya dikatakan: si fulan itu kembali dengan membawa dosanya. Sebagaimana firman Allah: “…Sesungguhnya aku ingi agar engkau kembali membawa dosa (membunuh)ku dan dosa kamu sendiri.” (QS. Al-Maa-idah: 29).
Artinya, hendaklah kamu kembali dengan membawa beban kedua dosa tersebut, dan keduanya menjadi beban dirimu. Maka firman Allah tersebut mengandung makna: “Jika mereka kembali, dalam keadaan menanggung murka Allah, berarti mereka benar-benar terkena kemarahan Allah dan pasti tertimpa murka-Nya.”
Artinya, hendaklah kamu kembali dengan membawa beban kedua dosa tersebut, dan keduanya menjadi beban dirimu. Maka firman Allah tersebut mengandung makna: “Jika mereka kembali, dalam keadaan menanggung murka Allah, berarti mereka benar-benar terkena kemarahan Allah dan pasti tertimpa murka-Nya.”
Firman Allah selanjutnya: “Hal itu terjadi karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. “Allah Ta’ala menuturkan: Kenistaan, kehinaan, dan kemurkaan yang Kami timpakan kepada mereka itu disebabkan oleh kesombongan mereka menolak kebenaran, dan kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah, serta penghinaan mereka terhadap para pengemban amanat syari’at, yaitu para nabi dan pengikutnya. Mereka telah melecehkan hingga mencapai suatu titik keadaan yang menyeret mereka pada pembunuhan para Nabi. Tidak ada kekufuran yang lebih parah dari hal ini. Mereka ingkar terhadap ayat-ayat Allah serta membunuh para nabi dengan cara yang tidak dibenarkan.
Oleh karena itu di dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya ditegaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”
Yakni, menolak kebenaran, melecehkan dan meremehkan orang lain, dan membanggakan diri mereka sendiri.
Yakni, menolak kebenaran, melecehkan dan meremehkan orang lain, dan membanggakan diri mereka sendiri.
Mengenai firman Allah: “Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas,” Imam Ahmad mengatakan: “Hal ini merupakan alasan lain mengapa mereka senantiasa diberikan balasan seperti itu, yakni karena senantiasa berbuat maksiat dan bersikap melampaui batas. Maksiat itu melakukan berbagai larangan, sedang melampaui batas ialah melanggar ketentuan yang ditetapkan dan diperintahkan-Nya.” Wallahu a ‘lam.
&
No comments:
Post a Comment