Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 235
27APR
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddabnya. Dan ketabuilah bahwasanya Allah mengetabui apa yang ada dalam batimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketabuilah bahwa Allah Maha-pengampun lagi Mahapenyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Allah berfirman: walaa junaaha ‘alaikum (“Dan tidak ada dosa bagi kamu,”) untuk melamar wanita-wanita yang masih menjalani iddahnya tanpa terang-terangan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya: walaa junaaha ‘alaikum fiimaa ‘arad’-tum biHii min khithbatin nisaa-I (“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sendirian.”) Yaitu dengan cara seseorang mengatakan, “Aku bermaksud untuk menikah,” (atau mengatakan) “Wanita adalah bagian dari kebutuhanku,” atau “Aku sangat berharap dimudahkan memperoleh isteri yang shalihah.” Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid,Thawus, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Ibrahim an-Nakha’i, asy-Sya’bi, Qatadah,az-Zuhri, Yazid bin Qasith, Muqatil bin Hayyan, Qasim bin Muhammad, dan beberapa ulama salaf dan para imam, berkenaan dengan masalah meminang wanita dengan sindiran (tanpa terang-terangan), mereka mengatakan, dibolehkan melamar wanita yang ditinggal mati suaminya secara sindiran (tidak terus terang).
Demikian pula ketetapan bagi wanita yang ditalak ba’in (terakhir) bahwa ia dapat dilamar dengan sindiran, sebagaimana yang disabdakan Nabi kepada Fatimah binti Qais ketika ia dicerai oleh suaminya, Abu Umar bin Hafsh dengan talak tiga. Beliau menyuruhnya untuk menjalankan iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum seraya bertutur kepadanya, “Jika engkau telah halal, beritahu aku.” Setelah ia halal, Usamah bin Zaid, budak beliau, melamarnya, dan beliau pun menikahkan Fatimah dengan Usamah.
Sedangkan wanita yang ditalak raj’i, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa ia tidak boleh dilamar, baik secara terus terang maupun sindiran. Wallahua’lam.
Dan firman Allah Ta’ala selanjutnya: au aknantum fii anfusikum (“Atau kamu menyembunyikan [keinginan menikahi mereka] dalam hati kamu.”) Maksudnya, atau kalian menyembunyikan niat untuk melamar mereka dalam diri kalian. ‘alimallaaHu annakum satadzkuruunaHunna (“Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka.”) Yaitu dalam diri kalian, lalu Dia menghilangkan dosa dari diri kalian kerena perbuatan itu.
Setelah itu, Dia berfirman: walaa killaa tuwaa’iduuHunna sirran (“Tetapi janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka secara rahasia.”) Abu Majlaz, Abu Sya’tsa’, Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakha’i, Qatadah, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas, Sulaiman at-Taimi, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi mengatakan: “Yakni zina.” Dan itu merupakan pengertian riwayat al-Aufi, dari Ibnu Abbas, dan menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Mengenai firman Allah Ta’ala: walaa killaa tuwaa’iduuHunna sirran (“Tetapi janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka secara rahasia.”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Janganlah engkau mengatakan kepada wanita itu, ‘Aku benar-benar mencintaimu. Berjanjilah kepadaku bahwa engkau tidak akan menikah dengan laki-laki lain,’ serta ungkapan lainnya.”
Demikian juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, Ikrimah, Abu Dhuha, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Mujahid, dan ats-Tsauri, yaitu seorang laki-laki mengambil janji agar wanita itu tidak menikah dengan laki-laki lain.
Diriwayatkan dari Mujahid, “Maksudnya adalah ucapan seorang laki-laki kepada seorang wanita, ‘Janganlah engkau meninggalkanku, karena aku pasti akan menikahimu.’ Allah Ta’ala melarang hal itu, tetapi Allah menghalalkan lamaran serta ucapan dengan cara yang baik.”
Ayat ini bersifat umum dan mencakup semua hal tersebut di atas. Oleh karena itu Dia berfirman: illaa an taquuluu qaulam ma’ruufan (“Kecuali sekedar mengucapkan [kepada mereka] perkataan yang ma’ruf.”) Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, as-Suddi, ats-Tsauri, dan Ibnu Zaid mengatakan, yakni beberapa hal yang diperbolehkan dalam rangka pelamaran, misalnya ucapan, “Sesungguhnya aku tertarik kepadamu,” dan ucapan-ucapan lainnya yang serupa.
Muhammad bin Sirin berkata, pernah kutanyakan kepada Ubaidah, apakah makna firman Allah Ta’ala: illaa an taquuluu qaulam ma’ruufan (“Kecuali sekedar mengucapkan [kepada mereka] perkataan yang ma’ruf.”) Ubaidah pun menjawab, yaitu ucapan seorang laki-laki kepada wali seorang wanita, “Janganlah engkau menikahkannya sehingga ia mengenalku.” Keterangan tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
Firman Allah’s berikutnya: walaa ta’zimuu ‘uqdatan nikaahi hattaa yablughal kitaabu ajalaHu (“Dan janganlah kamu berazam [berketetapan hati] untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya.”) Maksudnya, janganlah kalian mengadakan akad nikah hingga masa iddahnya berakhir. Berkata Ibnu Abbas, Mujahid, asy-Sya’bi, Qatadah, Rabi’ bin Anas, Abu Malik, Zaid bin Aslam, Muqatil bin Hayyan, az-Zuhri, Atha’ al-Khurasani, as-Suddi, dan adh-Dhahhak, mengenai firman Allah Ta’ala: hattaa yablughal kitaabu ajalaHu (“Sebelum habis iddahnya,”) artinya, janganlah kalian mengadakan akad nikah hingga masa iddahnya selesai.
Para ulama sepakat bahwasanya tidak sah akad nikah yang diadakan dalam masa iddah. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai seorang yang menikahi wanita pada masa iddahnya, lalu mencampurinya, kemudian keduanya dipisahkan. Apakah wanita itu haram bagi laki-laki itu untuk selamanya? Mengenai hal itu terdapat dua pendapat.
Pertama, pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa si wanita itu tidak haram baginya, namun ia (si laki-laki) harus melamarnya kembali bila iddahnya selesai.
Kedua, pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa wanita tersebut haram baginya untuk selamanya. Pendapat tersebut berdasarkan padawayat dari Ibnu Syihab, Sulaiman bin Yasar, bahwa Umar bin Khaththab pernah mengatakan: “Wanita mana saja yang menikah pada masa iddah, jika laki-laki yang menikahinya itu belum mencampurinya, maka keduanya harus dipisahkan, lalu wanita tersebut menyelesaikan sisa iddahnya dari suaminya yang pertama dan laki-laki itu boleh melamarnya kembali. Namun jika laki-laki itu sudah mencampurinya, maka keduanya harus dipisahkan, lalu si wanita itu harus menyelesaikan sisa iddahnya dari suami yang pertama, dan setelahitu menjalani iddah yang lain, dan laki-laki bekas suami yang baru itu tidak boleh lagi menikahinya untuk selamalamanya.”
Para ulama mengatakan: “Pengambilan pendapat ini adalah bahwa setelah suami mempercepat apa yang telah ditentukan Allah swt, is diberi hukuman berupa kebalikan dari tujuannya, sehingga wanita itu menjadi haram baginya untuk selamanya. Seperti halnya pembunuh diharamkan dari harta warisan. Dan telah diriwayatkan Imam Syafi’i atsar ini dari Imam Malik. Imam Baihaqi mengemukakan, “la berpendapat demikian pada qaul qadim, tetapi ia meninggalkannya dalam qaul jadid.” Yang demikian itu didasarkan pada ungkapan Ali bahwa wanita itu dihalalkan baginya.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan, pendapat ini merupakan atsar terputus dari Umar bin Khaththab.
Dan firman-Nya: wa’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fii anfusikum fahdzaruuHu (“Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu. Maka takutlah kepada-Nya.”) Allah swt. mengancam mereka atas apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka mengenai masalah wanita, serta Allah Ta’ala membimbing mereka supaya meniatkan kebaikan dan bukan keburukan. Dan Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berputus asa untuk memperoleh rahmat-Nya, maka Dia berfirman: wa’lamuu annallaaHa ghafuurun haliim (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun.”)
&
No comments:
Post a Comment