Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 49-52
8FEB
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih, sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS. 4:49) Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (QS. 4:50) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab, mereka percaya kepada jibt dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.(QS. 4:51) Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (QS. 4:52)” (an-Nisaa’: 49-52)
Al-Has an dan Qatadah berkata: “Ayat ini: alam tara ilal ladziina yuzakkuuna anfusaHum; turun berkenaan dengan orang Yahudi dan Nasrani ketika mereka berkata: ‘Kami adalah anak-anak dan kekasih Allah.’”
Dan tentang perkataan mereka: “Sekali-kali tidak akan masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudiatau Nasrani.” (QS. Al-Baqarah: 111). Satu pendapat mengatakan, bahwa ayat ini turun dalam rangka mencela sikap saling memuji dan menyucikan diri.
Di dalam kitab Shahih Muslim, diriwayatkan dari al-Miqdad bin al-Aswad, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan sepenuh dua telapak tangan debu pada wajah orang-orang yang suka memuji.”
Di dalam kitab ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari riwayat Khalid al-Hadza, dari `Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, Rasulullah saw. mendengar seseorang yang memuji orang lain, maka beliau bersabda: “Celakalah kamu! Kamu telah memotong leher kawanmu. Jika salah seorang kalian harus memuji temannya, maka hendaklah ia mengucapkan, aku kira dia begitu. Dan janganlah seorang pun menyucikan orang lain dengan mengatas namakan Allah.”
Masalah ini akan dibahas nanti secara panjang lebar dalam firman Allah: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Allah-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).
Untuk itu Allah berfirman: balillaaHu yuzakkii may yasyaa-u (“Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.”) Artinya, sebagai rujukan dalam hal tersebut adalah Allah, karena Allah Mahamengetahui hakekat dan kedalaman segala perkara.
Kemudian Allah berfirman: wa laa yudhlamuuna fatiilan (“Dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”) Artinya seseorang tidak dibiarkan luput dari balasan pahalanya walaupun sedikit. Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah, `Atha’, al-Hasan, Qatadah dan ulama Salaf lainnya berkata: “Fatiilan” yaitu, benang yang ada di dalam belahan biji kurma.” Dari Ibnu `Abbas pula yang artinya sesuatu yang kamu pintal di antara jari-jarimu. Dua pendapat tersebut saling berdekatan maknanya.
Firman Allah: undhur kaifa yaftaruuna ‘alallaaHil kadziba (“Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah.”) artinya dalam menganggap suci diri-diri mereka dan pengakuan mereka, bahwa mereka adalah anak-anak dan kekasih-kekasih Allah, juga perkataan mereka: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasrani.” (Al-Baqarah: 111) juga ucapan mereka: “Kami sekali-sekali tidak akan disentuh oleh api Neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah: 80).
Dan bersandarnya mereka pada amal shalih nenek moyang mereka, padahal Allah menetapkan, bahwasanya amal nenek moyang tidak berguna sedikit pun bagi keturunannya, di dalam firman-Nya: “Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan.” (QS. Al-Baqarah: 134).
Kemudian Allah berfirman: wa kafaa biHii istmam mubiinan (“Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata.”) Artinya cukuplah dengan perbuatan mereka ini, sebagai kedustaan dan kebohongan yang nyata.
Firman Allah: alam tara ilal ladziina uutuu nashiibam minal kitaabi yu’minuuna biljibti wath-thaaghuuti (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut.”) Mengenai jibt, Muhammad bin Ishaq mengatakan, dari `Umar bin al-Khaththab bahwa ia berkata: “Jibt adalah sihir. Sedangkan thaghut adalah syaitan.”
Demikian pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, Abu al-Aliyah, Mujahid, `Atha’, `Ikrimah, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, al-Hasan, adh-Dhahhak dan as-Suddi.
Sedangkan dari Ibnu `Abbas, Abu al-‘Aliyah, Mujahid, `Atha, `Ikrimah, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, al-Hasan dan `Athiyyah: Jibt adalah Syaitan. Ibnu`Abbas menambahkan, “Dalam bahasa Habasyiah”. Al-‘Allamah Abu Nashrbin Isma’il bin Hammad al Jauhari dalam kitabnya “ash-Shihah” berkata: “Jibt adalah kalimat yang ditujukan untuk berhala, tukang ramal (dukun), tukang sihir dan sejenisnya.”
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Thiyarah (ramalan buruk dengan tanda-tanda burung), `Iyafah (ramalan perdukunan) dan ath-Tharq (sihir), adalah bagian dari Jibt.”
Kalimat ini bukan termasuk bagian dari bahasa Arab, karena gabungan jiim dan ta’ dalam satu kalimat, termasuk bukan bagian huruf yang dapat dipertemukan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya. `Auf berkata: “Al- Iyafah adalah meramal dengan menggunakan burung, sedangkan ath-Tharq adalah (meramal melalui) garis-garis yang diguratkan di tanah.” Tentang Jibt, al-Hasan berkata: “Adalah gema syaitan.” Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, an-Nasa’i dan Ibnu Abi Hatim dari hadits `Auf al-A’rabi.
Pembicaraan tentang thaghut sudah lewat dalam Surat al-Baqarah dan tidak perlu diulang. Mujahid berkata: “Thaghut adalah syaitan dalam bentuk manusia, yang dijadikan sebagai pemutus hukum dan dia adalah pemegang urusan mereka.” Sedangkan Imam Malik berkata: “Yaitu, setiap sesuatu yang diibadahi selain Allah.”
Kemudian firman-Nya: wa yaquuluuna lilladziina kafaruu Haa-ulaa-i aHdaa minal ladziina aamanuu sabiilan (“Dan mereka mengatakan kepada orang-orang kafir [musyrik Makkah], bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”) Yaitu, mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir dibandingkan kaum muslimin, karena kebodohan mereka, sedikitnya pemahaman agama mereka dan kekufuran mereka terhadap kitab Allah yang ada pada mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Ketika Ka’ab bin al-Asyraf mendatangi kota Makkah, maka orang-orang Quraisy berkata: “Cobalah engkau perhatikan, laki-laki hina dan yang terputus keturunannya dari kaumnya ini, ia menyangka bahwa ia lebih baik dari kami. Padahal kami ini adalah pembesar haji dan pelayan Ka’bah, serta penyedia air minum.” Maka Ka’ab berkata: “Kalian lebih baik.” Maka turunlah:
Inna syaani-aka Huwal abtar (“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.”) (AS. Al-Kautsar: 3), dan turun pula:
alam tara ilal ladziina uutuu nashiibam minal kitaabi yu’minuuna biljibti wath-thaaghuuti wa yaquuluuna lilladziina kafaruu Haa-ulaa-i aHdaa minal ladziina aamanuu sabiilan. Ulaa-ikal ladziina la’anaHumullaaHu wa may yal’anillaaHu falan tajida laHuu nashiiran (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir [musyrik Makkah], bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barang-siapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”)
&
No comments:
Post a Comment