Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 187
6APR
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isterimu, mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlab hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan rukhsah (keringanan) dari Allah swt. bagi kaum muslimin serta penghapusan hukum yang sebelumnya berlaku pada permulaan Islam. Pada saat itu, jika seorang dari kaum muslimin berbuka puasa, maka dihalalkan baginya makan, minum, dan berhubungan badan sampai shalat isya’ atau ia tidur sebelum itu. Jika ia sudah tidur atau shalat Isya’, maka diharamkan baginya makan, minum dan berhubungan badan sarnpai malam berikutnya. Karena itu, mereka pun merasa sangat berat. Yang dimaksudkan dengan ar-rafats pada ayat tersebut adalah al Jima’ (hubungan badan).
Firman Allah Ta’ala: Hunna libaasul lakum wa antum libaasul laHunn (“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”) Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya, mereka itu sebagai pemberi ketenangan bagi kalian, dan kalian pun sebagai pemberi ketenangan bagi mereka.”
Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan, “Mereka itu sebagai selimut bagi kalian, dan kalian pun merupakan selimut bagi mereka.”
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana dikatakan oleh Ishak dari al-Bar bin Azib, bahwa pada waktu itu para sahabat Nabi, jika seorang berpuasa lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan sampai malam berikutnya. Qais bin Sharimah al-Anshar pernah dalam keadaan puasa bekerja seharian di ladang miliknya, dan ketika waktu buka tiba, ia menemui isterinya dan bertanya, “Apakah engkau punya makanan?” Isterinya menjawab, “Tidak, tetapi aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.” Maka Qais terkantuk sehingga ia tertidur. Ketika isterinya datang, dan melihat suaminya tidur, ia pun berkata, “Rugilah engkau mengapa engkau tidur?” Pada waktu tengah hari Qais pun jatuh pingsan. Lalu hal itu diceritakan kepada Rasulullah maka turunlah ayat tersebut. Dan karenanya orang-orang pun merasa senang sekali.
Tebtabg nama Qais bin Sharimah al-Anshar; Terjadi perbedaan pendapat mengenai namanya ini, karena adanya perbedaan riwayat. Ada juga yang mengatakan bernama Sharimah bin Qais, atau Ibnu Anas. Dan ada juga yang mengatakan, Dhamurah bin Anas. Ini disebutkan dalam catatan pinggir Manuskrip al-Azhar. Silahkan lihat nama-nama ini dalam kitab al-Ishabah fii tamyiz ash-Shahabah.
Menurut lafadz al-Bukhari di sini, diperoleh melalui jalur Abu Ishak, katanya, “Aku pernah mendengar al-Bara’ menceritakan: Ketika turun perintah puasa Ramadhan, para sahabat tidak mencampuri isteri mereka selama satu bulan Ramadhan penuh. Dan ada beberapa orang yang tidak sanggup menahan nafsu mereka, lalu Allah menurunkan firman-Nya: ‘alimallaaHu annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum fataaba ‘alaikum wa ‘afaa ‘ankum (“Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu.”)
Dan firman-Nya: uhilla lakum lailatash shiyaamir rafatsu ilaa nisaa-ikum (“Dihalalkan bagimu pada malam bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu.”) yang dimaksud dengan ar rafats adalah mencampuri istri.
Hunna libaasul lakum wa antum libaasul laHunna ‘alimallaaHu annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum (“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu.”) Yakni, kalian boleh mencampuri isteri, makan, dan minum setelah shalat Isya’.
fataaba ‘alaikum wa ‘afaa ‘ankum fal aana baasyiruuHunna (“Karena itu Allah mengampuni dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka.”) artinya gaulilah mereka. wabtaghuu maa kataballaaHu lakum (“Dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu”) yaitu anak.
Wakuluu wasy-rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadlu minal khaithil aswadi minal fajri tsumma atimmush shiyaama ilal laili (“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai [datang] malam.”) itu adalah pemaafan dan rahmat dari Allah.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: wabtaghuu maa kataballaaHu lakum (“Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.”) yaitu jima’ (hubungan badan). Sedangkan Amr bin Malik al-Bakri meriwayatkan, dari Abu al-Jauza’ dari Ibnu Abbas, wabtaghuu maa kataballaaHu lakum (“Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian”) ia mengatakan, yaitu lailatul qadar. Ibnu Jarir lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini lebih umum dari semua pengertian tersebut.
Firman-Nya: Wakuluu wasy-rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadlu minal khaithil aswadi minal fajri tsumma atimmush shiyaama ilal laili (“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai [datang] malam.”) Allah Ta’ala membolehkan makan, minum dan juga menggauli isteri pada malam hari kapan saja seorang yang berpuasa menghendaki sampai tampak jelas sinar pagi dari gelapnya malam. Dan hal itu Dia ungkapkan dengan benang putih dan benang hitam. Kemudian kesamaran ini dijelaskan dengan, firman-Nya, “Yaitu fajar.”
Imam Ahmad meriwayatkan, dari asy-Sya’abi, dari Adi bin Hatim katanya; Ketika ayat: “Wakuluu wasy-rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadlu minal khaithil aswadi” ini turun aku sengaja mengambil dua ikat tali, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna hitam, lalu aku letakkan keduanya di bawah bantalku. Setelah itu aku melihat keduanya, dan ketika sudah tampak olehku secara jelas antara tali yang putih dari yang hitam, maka aku langsung menahan diri (tidak makan, minum dan berjima’). Dan keesokan harinya aku pergi menemui Rasulullah dan kuberitahukan kepada beliau apa yang telah aku lakukan itu.” Maka beliau pun bersabda, “Kalau demikian tentulah bantalmu itu sangat lebar, sebenarnya yang dimaksud adalah terangnya Siang dari gelapnya malam.” (Diwayatkan al-Bukhari dan Muslim.)
Dan sabda beliau, “Kalau demikian tentulah bantalmu sangat lebar,” maksudnya, jika dapat meliputi kedua benang putih dan hitam yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, yakni terangnya Siang dan gelapnya malam, bararti bantalmu itu seluas timur dan barat.
Diperbolehkannya makan sampai terbit fajar merupakan dalil disunnahkannya sahur, karena itu termasuk bagian dari rukhsah, dan mengerjakannya adalah dianjurkan. Oleh karena itu dalam sunnah Rasulullah ditegaskan anjuran bersahur. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan, dari Anas bin Malik, bahwa, Rasulullah bersabda: “Makan sahurlah kalian; karena di dalam sahur itu terdapat berkah.” (HR. al- Bukhari dan Muslim)
Dan diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Amr bin al-‘Ash. nya, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Mengenai anjuran makan sahur ini sudah diterangkan oleh banyak hadits, meski sahur itu hanya dengan satu teguk air, karena hal itu disamakan dengan yang makan. Disunnahkan mengakhirkan makan sahur sampai pada saat munculnya fajar, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah, dan setelah itu kami berdiri untuk mengerjakan shalat.” Anas pun bertanya kepada Zaid, “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Sekitar lima puluh ayat.”
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasa’i dan Ibnu Majah, dari Hudzaifah katanya, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah saw. dan hari sudah siang tetapi matahari belum terbit. Hadits tersebut diriwayatkan sendiri oleh Ashim bin Abu Najud. Demikian dikatakan oleh an-Nasa’i, dan dia mengartikan bahwa yang dimaksudkan adalah mendekati siang hari sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik” (Qs. Ath-Thalaq: 2)
Artinya, mereka sudah mendekati masa berakhirnya iddah. Maka merujuklah mereka dengan baik atau ceraikan mereka dengan cara yang baik pula. Dan apa yang dikemukakan inilah yang pasti, yaitu mengartikan hadits tersebut dengan pengertian bahwa mereka makan sahur, namun mereka tidak yakin akan terbitnya fajar, sampai sebagian di antara mereka menyangka sudah terbit fajar, dan sebagian lainnya belum meyakini terbitnya fajar.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari al-Qasim, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Adzan Bilal tidak menghalangi makan sahur kalian, karena ia mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka makan dan minumlah sehingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum, karena ia tidak mengumandangkan adzan melainkan waktu fajar telah terbit.” (Demikian menurut teks al-Bukhari)
Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan, dari Qais bin Thalaq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah bersabda: “Fajar itu bukanlah garis memanjang di ufuk, tetapi ia adalah melintang berwarna merah.” (HR. Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)
Dan diriwayatkan dari Samurah bin Jundab, bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian tertipu oleh adzan Bilal dan tidak juga oleh warna putih ini, maksudnya cahaya subuh, sehingga merekah.” (HR. Muslim)
Permasalahan.
Allah menjadikan fajar sebagai batas akhir diperbolehkannya jima’, makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, merupakan dalil bahwa orang yang bangun pagi dalam keadaan junub, maka hendaklah ia mandi serta menyempurnakan puasanya, dan tidak ada dosa baginya. Demikian madzhab empat imam dan jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf. Hal itu didasarkan pads hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anhuma, keduanya pernah bercerita, “Rasulullah pernah bangun pagi (setelah terbit fajar) dalam keadaan junub karena hubungan badan dan bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan berpuasa.”
Dan dalam hadits Ummu Salamah disebutkan, “Kemudian beliau tidak berbuka (sebelum maghrib) dan tidak juga mengqadhanya.”
Tsumma atimmush shiyaama ilal laili (“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai [datang] malam.”) Berbuka puasa pada saat matahari terbenam merupakan tuntutan hukum syar’i, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, katanya, Rasulullah pernah bersabda: “Jika malam telah tiba dari sini, dan siang pun telah berlalu dari sini, maka orang yang berpuasa dapat berbuka.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dan dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’di, Rasulullah bersabda: “Kaum muslimin tetap berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits-hadits Shahih disebutkan secara tegas larangan wishal, yaitu menyambung puasa hari ini dengan hari berikutnya, dan tidak makan suatu apapun di antara kedua hari tersebut. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melakukan wishal.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau melakukan wishal.” Beliaupun menjawab, “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, pada malam hari aku diberi makan dan juga minum oleh Rabbku.”
Abu Hurairah berkata, ketika mereka tidak juga menghentikan wishal, Nabi melakukan wishal bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal, maka beliau pun bersabda, “Seandainya hilal itu tidak segera datang, niscaya akan kutambah wishal ini.” Hal itu beliau lakukan sebagai peringatan dan pelajaran bagi mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.
Telah ditegaskan melalui berbagai jalur, bahwa wishal itu dilarang. Di lain pihak ditegaskan pula, bahwa wishal itu hanya dikhususkan bagi Nabi , karena beliau tahan atas hal itu dan diberi pertolongan (oleh Allah).
Jelas bahwa makan dan minum Rasulullah itu bersifat immaterial dan bukan material. Sebab jika bukan makanan dan minuman immaterial, maka ia tidak dikatakan melakukan wishal, sebagaimana dikatakan seorang penyair:
Ia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu
Yang menjadikannya lupa minum dan perbekalan.
Yang menjadikannya lupa minum dan perbekalan.
Dan firman Allah Ta’ala: walaa tubaasyiruuHunna wa antum ‘aakifuuna fil masaajid (“Janganlah kamu mencampuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Bahwa ayat ini berkenaan dengan seseorang yang beri’tikaf di masjid pada bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan, Allah mengharamkannya mencampuri isteri pada malam atau siang hari sehingga ia menyelesaikan i’tikafnya.”
Adh-Dhahhak mengatakan, Ada seseorang yang jika beri’tikaf keluar dari masjid dan mencampuri isteri sekendak hatinya. Maka Allah swt. pun berfirman: walaa tubaasyiruuHunna wa antum ‘aakifuuna fil masaajid (“Janganlah kamu mencampuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid.”) Artinya, janganlah kalian mendekati mereka selama kalian masih dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid dan tidak pula di tempat lainnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya, yaitu bahwa mereka sebelumnya mengerjakan yang demikian itu sehingga turun ayat ini.
Ibnu Abi Hatim menuturkan, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Muhammad bin Ka’ab, Mujahid, Atha’, al-Hasan, Qatadah, adh-Dhahhak, as-Suddi, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan, mereka mengatakan, “Seseorang tidak boleh mendekati isterinya ketika ia dalam keadaan beri’tikaf.” Apa yang disebutkan dari mereka inilah yang menjadi kesepakatan para ulama, bahwa orang yang sedang beri’tikaf diharamkan baginya isterinya selama ia masih beri’tikaf di dalam masjid. Kalau ia harus pulang ke rumah karena suatu keperluan, maka tidak diperkenankan baginya berlama-lama di rumah melainkan sekadar untuk keperluannya seperti buang hajat atau makan. Dan tidak diperbolehkan baginya mencium isterinya, juga merangkulnya, serta tidak boleh menyibukkan diri dengan sesuatu selain i’tikaf. Selain itu, ia juga tidak boleh menjenguk orang sakit, tetapi boleh menanyakan keadaannya ketika sedang melewatinya.
I’tikaf ini mempunyai beberapa hukum yang secara rinci diuraikan dalam bab mengenai masalah i’tikaf, di antaranya ada yang telah disepakati para ulama dan ada juga yang masih diperselisihkan. Dan mengenai hal itu telah kami kemukakan pada akhir kitab puasa.
Oleh karena itu, Para fuqaha yang menulil kitab puasa disertai dengan pembahasan tentang i’tikaf, mengikuti cara al-Qur’an yang mengingatkan masalah i’tikaf setelah masalah puasa.
Dalam penyebutan i’tikaf setelah puasa oleh Allah swt. terdapat bimbingan dan peringatan untuk beri’tikaf pada saat puasa atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana telah ditetapkan dalam sunnah dari Rasulullah, bahwasanya beliau beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mencabut nyawanya. Dan sepeninggal beliau, isteri-isteri beliau pun mengerjakan i’tikaf. Hadits tersebut diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anHaa.
Juga diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Shafiyah binti Huyay pernah berkunjung kepada Nabi ketika beliau sedang beri’tikaf di dalam masjid. Lalu ia berbicara di sisi beliau beberapa saat. Hal ini terjadi pada malam hari. Setelah itu ia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi ,’ pun berdiri untuk mengantarnya sampai dirumahnya (Shafiyah). Tempat tinggal Shafiyah ketika itu berada di rumah Usamah bin Zaid, di pinggiran kota Madinah. Di dalam perjalanannya, Rasulullah bertemu dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika mereka berdua mengetahui orang itu Nabi, maka keduanya mempercepat langkahnya.
Dalam riwayat lain disebutkan, kedua orang itu bersembunyi karena malu kepada Nabi, karena beliau sedang bersama isterinya, maka Rasulullah bersabda, “Pelanlah kalian, ia ini adalah Shafiyah bin Huyay.” Artinya janganlah kalian mempercepat langkah kalian dan ketahuilah bahwa ia adalah Shafiyah binti Huyay isteriku. Maka keduanya berucap, “Subhanallah, Ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya syaitan itu masuk dalam diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir ia akan melemparkan sesuatu atau keburukan dalam hati kalian.”
Imam Syafi’i rahimahullahu mengatakan, Rasulullah bermaksud mengajarkan kepada umatnya untuk menghindarkan diri dari tuduhan yang tidak pada tempatnya agar keduanya tidak terperangkap ke dalam bahaya, padahal keduanya termasuk orang yang amat takut kepada Allah Ta’ala dari berprasangka buruk terhadap Nabi. Wallahu a’lam.
Dan yang dimaksud dengan kata al-mubasyarah dalam ayat ini adalah Jima’ (bersetubuh) dan berbagai faktor penyebabnya, seperti ciuman, pelukan dan lain sebagainya. Sedangkan sekedar memberikan sesuatu dan yang semisalnya tidak apa-apa hukumnya.
Diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Rasulullah mendekatkan kepalanya kepadaku lalu aku menyisir rambutnya, sedang aku dalam keadaan haid. Dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk kepentingannya.” Aisyah mengatakan, “Pernah ada orang sakit di rumah, dan aku tidak bertanya mengenai keadaannya kecuali aku dalam keadaan sambil berlalu.”
Firman Allah berikutnya: tilka huduudullaaHi (“Itulah ketentuan-ketentuan Allah.”) Maksudnya, apa yang telah Kami (Allah) jelaskan, wajibkan, dan tentukan, berupa ihwal puasa dan hukum-hukumnya, apa yang Kami bolehkan dan Kami haramkan, dan yang Kami sebutkan pula tujuan-tujuannya, rukhsah dan kewajiban-kewajibannya adalah ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala, artinya disyari’atkan dan dijelaskan langsung oleh Allah sendiri.
Falaa taqrabuuHaa (“Maka janganlah kamu mendekatinya”) artinya janganlah kalian melampaui dan melanggarnya. Abdur rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, “Ayahku dan beberapa guru kami mengemukakan hal itu dan membacakan firman Allah kepada kami.”
Kadzaalika yubayyinullaaHu aayaatiHii lin naasi (“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia.”) artinya sebagaimana Dia telah menjelaskan tentang puasa, [tentang] hukum, syarat dan rinciannya, Dia juga menjelaskan hukum-hukum lainnya melalui hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw.
La’allaHum yattaquun (“Supaya mereka bertakwa”) maksudnya mereka mengetahui bagaimana memperoleh petunjuk dan bagaimana pula berbuat taat. Sebagaimana Allah swt. berfirman yang artinya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahapenyantun lagi Mahapenyayang kepada kamu “. (QS. Al-Hadiid: 9)
&
No comments:
Post a Comment