Friday, June 8, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Fatihah (Pembukaan) 10 (QS1:5)

0 Comments
tulisan arab al-faatihah ayat 6
Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Fatihah (Pembukaan)
Surah Makkiyyah; surah ke 1: 7 ayat
Penggalan pertama, yakni “Hanya kepadamu kami beribadah.” Merupakan pernyataan berlepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yaitu “hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta menyerahkan urusannya hanya kepada Allah.
Makna seperti ini tidak hanya terdapat dalam satu ayat al-Qur’an saja, seperti firman-Nya: fa’bud-Hu wa tawakkal ‘alaiHi wa maa rabbuka bighaafilin ‘ammaa ta’maluun (“Maka beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-sekali Rabb-Mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (Huud: 123)
Dalam ayat tersebut (al-Fatihah ayat 5) terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhathab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf “Kaf” pada kata “iyyaaka”. Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman: iyyaaka na’budu wa iiyaaka nasta’iin.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa awal-awal surah al-FAtihah merupakan pemberitahuan dari Allah yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.
Dalam shahih Bukhari, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda: “Aku telah membagi shalat menjadi dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” Maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Dan jika ia mengucapkan: “Mahapemurah lagi Mahapenyayang,” maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Jika ia mengucapkan: “Yang menguasai hari pembalasan,” maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.” Jika ia mengucapkan : “Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan.” Maka Allah berfirman: “Inilah bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Dan jika ia mengucapkan: “[Yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan [jalan] mereka yang dimurkai [Yahudi], dan bukan [pula jalan] mereka yang sesat [nasrani].” Maka Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”
Iyyaaka na’budu; didahulukan dari: wa iyyaaka nasta’iin, karena ibadah kepda-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan hanya merupakan sarana untuk ibadah. Yang terpenting lebih didahulukan daripada yang sekedar penting. wallaaHu a’lam.

Jika dinyatakan: “Lalu apa makna huruf “nun” pada firman Allah: iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin; jika “nun” itu dimaksudkan sebagai bentuk jama’, padahal orang yang mengucapkannya hanya satu orang, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan kondisi?”
Pertanyaan di atas dapat dijawab: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf “nun” (kami) itu adalah, untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang yang shalat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara berjamaah. Atau imam dalam shalat, memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang ibadah yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.”
Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, karena kecondongannya kepada Allah saja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang paling mulia. Firman Allah: subhaanal ladzii asraa bi-‘abdiHii lailan (“Mahasuci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”)( al-Israa’: 1)

Surah Al-Israa' - سورة الإسراء

[17:1] - Ini adalah sebahagian dari keseluruhan surah. [Papar keseluruhan surah]


A001
Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambaNya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid Al-Haraam (di Makkah) ke Masjid Al-Aqsa (di Palestin), yang Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.
(Al-Israa' 17:1) | <Embed> | English Translation | Tambah Nota Bookmark

Allah telah menyebut Muhammad saw. sebagai hamba ketika menurunkan al-Qur’an kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadaha pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya, Dia berfirman: “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini [ajal].” (al-Hijr: 97-99)

Surah Al-Hijr - سورة الحجر

[15:97 - 15:99] - Ini adalah sebahagian dari keseluruhan surah. [Papar keseluruhan surah]


A097
Dan demi sesungguhnya Kami mengetahui, bahawa engkau bersusah hati dengan sebab apa yang mereka katakan.
(Al-Hijr 15:97) | <Embed> | English Translation | Tambah Nota Bookmark

A098
Oleh itu, bertasbihlah engkau dengan memuji Tuhanmu, serta jadilah dari orang-orang yang sujud.
(Al-Hijr 15:98) | <Embed> | English Translation | Tambah Nota Bookmark

A099
Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga datang kepadamu (perkara yang tetap) yakin.
(Al-Hijr 15:99) | <Embed> | English Translation | Tambah Nota Bookmark

iHdinash shiraathal mustaqiim (“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”)
Jumhur ulama membacanya dengan memakai huruf “Shad”. Ada pula yang membaca dengan huruf “zay” (azziraatha). Al-Farra’ mengatakan: “Ini merupakan bahasa bani ‘Udzrah dan bani Kalb.”
Setelah menyampaikan pujian kepada Allah, dan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya: “Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”
Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukan permintaan. Pertama ia memuji Rabb yang akan ia minta, kemudian memohon keperluannya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang beriman, melalui ucapannya: iHdinash shiraathal mustaqiim (“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”)
Karena yang demikian itu akan lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Untuk itu Allah membimbing kita agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu yang lebih sempurna.
Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permohonan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa: Rabbi innii limaa anzalta ilayya khairin faqiir (“Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”) (al-Qashash: 24)
Permintaan itu bisa didahului dengan menyebutkan sifat-sifat siapa yang akan dimintai, seperti ucapan Dzun Nun (Nabi Yunus as.): laa ilaaHa illaa anta subhaanaka innii kuntu minadh-dhaalimiin (“Tidak ada ilah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim.”)(al-Ambiya’: 87)

Surah Al-Anbiyaa' - سورة الأنبياء

[21:87] - Ini adalah sebahagian dari keseluruhan surah. [Papar keseluruhan surah]


A087
Dan (sebutkanlah peristiwa) Zun-Nun, ketika ia pergi (meninggalkan kaumnya) dalam keadaan marah, yang menyebabkan ia menyangka bahawa Kami tidak akan mengenakannya kesusahan atau cubaan; (setelah berlaku kepadanya apa yang berlaku) maka ia pun menyeru dalam keadaan yang gelap-gelita dengan berkata: "Sesungguhnya tiada Tuhan (yang dapat menolong) melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri".
(Al-Anbiyaa' 21:87) | <Embed> | English Translation | Tambah Nota Bookmark

Tetapi terkadang hanya dengan memuji kepada-Nya, ketika meminta. Sebagaimana yang diungkapkan seorang penyair: “Apakah aku harus menyebut kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu. Sesungguhnya rasa malu merupakan adat kebiasaanmu. Jika suatu hari seseorang memberikan pujian kepadamu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan.”
(bersambung ke bagian 11)

No comments:

Post a Comment

 
back to top