Sunday, June 10, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 43

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 43

8FEB
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 43“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Mahapemaaf lagi Mahapengampun.” (QS. an-Nisaa’: 43)
Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman, mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk yang menyebabkan ia tidak tahu apa yang diucapkannya, serta melarang mendekati tempat shalat, yaitu masjid bagi orang yang junub, kecuali sekedar melintas dari satu pintu ke pintu lainnya, tanpa diam di dalamnya. Hal ini ada, sebelum diharamkannya khamr, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang telah kami sebutkan di dalam surat al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan Judi.” (QS. Al1Bagarah: 219)
Sesungguhnya Rasulullah membacakan ayat ini (al-Baqarah: 219) kepada `Umar, yang kemudian berdo’a: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr secara tuntas.” Maka ketika turun ayat ini, beliau pun membacakannya kepada `Umar, lalu ia pun berdo’a: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr secara tuntas.”
Di saat itu mereka tidak meminum khamr di waktu shalat, sehingga turun ayat, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maa-idah: 90) sampai pada firman-Nya: “Apakah kamu berhenti?” (QS. Al-Maa-idah: 91).
Maka `Umar berkata: “Kami telah berhenti, kami telah berhenti.”
Ibnu Abi Syaibah dalam sebab turunnya ayat ini, menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Sa’ad, ia berkata: “Empat ayat turun berkenaan dengan saya: Seorang Anshar membuat makanan, lalu ia memanggil orang-orang Muhajirin dan Anshar, kemudian kami makan dan minum hingga mabuk, lalu kami berbangga-bangga, hingga ada laki-laki yang mengangkat rahang unta menusuk hidung Sa’ad. Maka jadilah Sa’ad orang yang bolong hidungnya. Kejadian itu sebelum diharamkannya khamr, lalu turun ayat:
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taqrabush shalaata wa antum sukaaraa (“Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk.”)
Hadits-nya secara panjang diriwayatkan oleh Muslim dan diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan kecuali Ibnu Majah.
(Sebab lain) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari `Ali bin Abi Thalib, ia berkata: `Abdurrahman bin `Auf membuat makanan untuk kami, lalu mengundang kami dan menuangkan minuman khamr untuk kami, kemudian sebagian dari kami mulai mabuk dan waktu shalat pun tiba. Maka mereka mempersilahkan seseorang menjadi imam, sehingga terdengar bacaannya: qul yaa ayyuHal kaafiruun. Maa a’budu maa ta’buduun. Wa nahnu na’budu maa ta’buduun (“Katakanlah: `Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kami menyembah apa yang kamu sembah.'”)
Maka Allah menurunkan: Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa taqrabush shalaata wa antum sukaaraa hattaa ta’lamuu maa taquuluun (“Hai orang-orang yangberiman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehinggakamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”) Demikianlah yang diriwayatkan olehat-Tirmidzi dan ia berkata: Hasan shahih.
Firman-Nya: hattaa ta’lamuu maa taquuluun (“Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”), ini ungkapan yang paling baik untuk batasan mabuk, yaitu tidak mengetahui apa yang diucapkannya. Karena orang yang sedang mabuk di waktu shalat, akan mencampur adukkan bacaan, tidak merenungkannya dan tidak khusyu’.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang kalian mengantuk dalam keadaan shalat, maka hendaklah ia kembali dan tidur, hingga mengetahui apa yang diucapkan.” Hadits ini hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari, tanpa Muslim.
Adapun Muslim, ia meriwayatkannya bersama an-Nasa’i dari Ayyub dengan lafazh yang sama, dan pada sebagian lafazh hadits disebutkan: “Boleh jadi ketika istighfar ternyata ia mencaci dirinya sendiri.”
Firman Allah: walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”)
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata tentang firman Allah ini: “Janganlah kalian masuk ke dalam masjid, sedangkan kalian dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.” Dan ia pun berkata: “Engkau lewat selintas dan jangan duduk.”
Pendapat ini diriwayatkan dari `Abdullah bin Mas’ud, Anas, Abu`Ubaidah, Sa’id bin al-Musayyab, adh-Dhahhak, `Atha’, Mujahid, Masruq, Ibrahim an-Nakha’i, Zaid bin Aslam, Abu Malik, `Amr bin Dinar, al-Hakambin `Utbah, `Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Ibnu Syihab dan Qatadah.
Ibnu Jarir berkata: “Yazid bin Abi Hubaib menceritakan kepada kami tentang firman Allah “(Jangan pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.” Bahwa beberapa laki-laki Anshar, pintu keluarnya ada di dalam masjid. Di saat mereka terkena junub dan mereka tidak menemukan air, lalu mereka mencarinya dan mereka tidak mendapatkan jalan manapun kecuali melalui masjid”, maka Allah turunkan ayat tersebut, walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”)
Dari ayat ini banyak imam berdalil, bahwa haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid, dan dibolehkan sekedar melintas saja. Demikian pula dengan wanita haid atau nifas.
Di dalam Shahih Muslim riwayat dari`Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Ambilkan aku tikar di dalam masjid.” Aku berkata: “Aku dalam keadaan haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu itu bukan di tanganmu.”
(Hadits lain), tentang makna ayat. Ibnu Abi Hatim mengatakan dari`Ali: walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin hattaa taghtasiluu (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”) Ia tidak boleh mendekati shalat kecuali seorang musafir yang terkena junub, lalu tidak menemukan air, maka ia boleh shalat hingga menemukan air.”
Hadits serupa juga diriwayatkan dari Ibnu `Abbas dalam salah satu riwayatnya, Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus Sunan, dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tanah yang bersih adalah alat bersucinya seorang muslim, sekalipun kamu tidak menemukan air 10 musim haji (10 tahun). Apabila engkau telah menemukan air, maka usapkanlah ke kulitmu (berwudhulah), karena hal itu lebih baik bagimu.”
Kemudian setelah menyebutkan dua pendapat itu, Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang lebih tepat adalah yang mengatakan: yaitu, walaa junuban illaa ‘aabirii sabiilin (“[Jangan pula kamu hampiri masjid] sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja.”) Maka tafsirnya ialih, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati masjid untuk shalat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan. Dan jangan pula kalian mendekatinya dalam keadaan junub, hingga kalian mandi, kecuali sekedar melintas saja.
Al-‘Abiris-Sabil adalah orang yang melintas, lewat dan menyeberang. Inilah yang didukung oleh pendapat jumhur dan ini pula makna zhahir ayat tersebut. Seakan-akan Allah melarang melakukan shalat dengan cara kurang yang bertentangan dengan tujuannya, serta masuk ke tempat shalat dengan cara yang tidak sempurna, yaitu dalam keadaan junub yang menjauhkan shalat dan tempatnya, Wallahu a’lam.
Firman Allah: hattaa taghtasiluu (“Hingga kamu mandi”), merupakan dalil pendapat tiga imam, yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i, bahwa haram bagi orang yang junub berdiam di dalam masjid hingga ia mandi, atau tayamum jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat: “Bahwa ketika seseorang yang junub sudah berwudhu, maka boleh baginya diam di dalam masjid.” Sebagaimana yang diriwayatkan oleh dia sendiri (Ahmad) dan Sa’id bin Mansur di dalam sunannya dengan sanad yang shahih, bahwa para Sahabat, dahulu mereka melakukan hal itu. Sa’id bin Manshur berkata dalam sunannya dari `Atha’ bin Yasar, ia berkata: “Aku melihat beberapa Sahabat Rasulullah saw. duduk di dalam masjid dalam keadaan junub, ketika mereka telah berwudhu untuk shalat.” (Hadits ini berisnad shahih, menurut syarat Muslim). Wallahua’lam.
Firman Allah: wa in kuntum mardlaa au ‘alaa safarin au jaa-a ahadum minkum minal ghaa-ithi au laamastumun nisaa-a falam tajiduu maa-an fatayammamuu sha’iidan thayyiban (“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mnndapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”)
Adapun penyakit yang dibolehkan untuk tayamum adalah penyakit yang apabila menggunakan air dikhawatirkan tidak sampainya air pada anggota wudhu (contoh: tangan yang diperban, memperparah atau menambah lama penyakitnya. Sedangkan safar adalah hal yang sudah dikenal tidak ada perbedaan antara perjalanan jauh atau pendek.
Firman-Nya: au jaa-a ahadum minkum minal ghaa-ithi (“Atau kembali dari tempat buang air.”) Al-Ghaith adalah lokasi tanah yang rendah (turun). Kemudian dipakai untuk istilah buang air besar dan itu adalah hadats kecil. Adapun firman Allah: au lamastumun nisaa-a, dibaca (lamastum) dan (laamastum). Para ahli tafsir dan para imam berbeda pendapat tentang maknanya, yang terbagi menjadi dua golongan:
Pertama, bahwa hal itu adalah kiasan dari Jima’, berdasarkan firman Allah: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar itu yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237).
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Ibnu `Abbas tentang ayat ini ia berkata: “Yaitu jima’.” Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari `Ali, Ubay bin Ka’ab, Mu-jahid, Thawus, al-Hasan, `Ubaid bin `Umair, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. Ibnu `Abbas berkata: “adalah jima’, akan tetapi Allah yang Mahamulia menggunakan kiasan sesuai kehendak-Nya.” Dan terdapat pula riwayat shahih lainnya dari Ibnu `Abbas, selain dari jalan ini.
Kedua, kemudian Ibnu Jarir berkata, ulama yang lain berpendapat: “Yang dikehendaki oleh Allah adalah setiap orang yang menyentuh dengan tangan atau anggota tubuh lainnya. Dan Allah mewajibkan wudhu bagi setiap orang yang menyentuhkan bagian badannya kepada bagian badan perempuan.” Kemudian beliau melanjutkan bahwa `Abdullah bin Masud berkata: al-lamsu, adalah sesuatu yang selain dari jima’.” Hal serupa ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari berbagai jalan.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Masud bahwa ia berkata: “Ciuman adalah bagian dari sentuhan dan hal itu mewajibkan wudhu.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa `Abdullah bin Mas’ud berkata: “Seorang laki-laki harus wudhu dengan sebab bersenggama, menyentuh dengan tangan atau mencium. Tentang ayat ini beliau berkata: “Yaitu menyentuh.”
Ibnu AbiHatim, dan Ibnu Jarir mengatakan dari `Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “al-lamsu, adalah sesuatu yang selain dari jima’.” Kemudian Ibnu Abi Hatim berkata: “Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Ibnu `Amr, `Ubaidah, Abu ‘Utsman an-Nahdi, Abu `Ubaidah bin `Abdullah bin Masud, Amir asy-Sya’bi, Tsabit bin al-Hajjaj, Ibrahim an-Nakha’i dan Zaid binAslam.”
Aku berkata; Malik meriwayatkan dari az-Zuhri dari Salim bin`Abdullah bin `Umar dari bapaknya bahwa ia berkata: “Kecupan seoranglaki-laki kepada isterinya dan sentuhan tangannya adalah bagian dari maknaal-mulaamasah (hal saling bersentuhan). Barangsiapa yang mengecup isterinya atau menyentuhnya dengan tangan maka wajib wudhu. Wajibnya wudhu karena sentuhan adalah pendapat asy-Syafi’i dan para pengikutnya, Malik dan pendapat yang masyhur dari pendapat Ahmad bin Hanbal. Para pendukungnya berkata ayat ini terkadang dibaca (lamastum) dan (laamastum). Al-Lamsu menurut syari’at di-sebut menyentuh dengan tangan.
Allah berfirman: “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas lertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri.” (QS. AI-An’aam: 7) Artinya, “Mereka menyentuhnya.” Rasulullah saw. bersabda kepada al-Ma’iz ketika mengakui zina, menawarkan kepadanya agar mencabut pengakuannya itu: “Boleh jadi engkau hanya mencium atau menyentuhnya”.
Di dalam sebuah hadits shahih: “Zina tangan adalah menyentuh.” Aisyah berkata: “Jarang sekali pada setiap harinya, kecuali Rasulullah saw. berkeliling kepada kami lalu beliau mencium dan menyentuh.” Di antaranya lagi hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, bahwa Rasulullah saw. melarang jual-beli al-mulaamasah.
Berdasarkan kedua tafsir di atas, menunjukan terhadap menyentuh dengan tangan. Mereka berkata: “Al-lamsu dalam bahasa Arab berarti menyentuh dengan tangan dan juga berarti jima’.” Seorang penya’ir berkata:
Telapak tanganku menyentuh telapak tangannya, aku meminta ke-cukupan.”
Imam Ahmad meriwatkan, dari Ibrahim at-Taimi dari, `Aisyah bahwa Rasulullah saw. pernah mencium kemudian shalat dan tidak berwudhu lagi.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i, kemudian keduanya berkata: Ibrahim tidak pernah mendengar dari ‘Aisyah).
Firman-Nya: fa lam tajiduu maa-an fatayammamuu sha’iidan thayyiban (“Kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”) Kebanyakan para fuqaha mengambil kesimpulan dari ayat ini, bahwa tayamum tidak boleh dilakukan oleh orang yang tidak memiliki air kecuali setelah mencarinya, dan setelah mencarinya tidak diketemukan, maka boleh saat itu dia bertayamum. Mereka menyebutkan beberapa cara mencari air itu di dalam kitab-kitab fiqh.
Di dalam kitab ash-Shahihain dari hadits `Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. melihat laki-laki menyendiri, tidak shalat bersama jama’ah. Lalu beliau bertanya: “Hai Fulan, apa yang mencegahmu untuk shalat berjama’ah, bukankah engkau seorang muslim?” Dia menjawab: “Betul, ya Rasulullah! Akan tetapi saya sedang junub dan tidak menemukan air.” Maka beliau bersabda: “Gunakanlah debu, karena debu itu mencukupimu.”
Untuk itu Allah berfirman: fa lam tajiduu maa-an fatayammamuu sha’iidan thayyiban (“Kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”) Maka tayamum menurut bahasa adalah maksud (kehendak). Orang Arab berkata: tayammamakallaaHu bihifdhiHi (“Semoga Allah berkenan melidungimu.”) Seperti perkataan Imru’ul Qais dalam sya’irnya:
“Setelah dia merasa bahwa kematian menyongsongnya, dan melihat kerikil di bawah kakinya penuh dengan darah.”
“Dia pun menuju mata air yang berada di Dharij, yang dinaungi oleh bayangan (pohon), sedang lumutnya meluap.”
Ash-sha’id menurut satu pendapat, adalah setiap sesuatu yang meninggi di atas permukaan tanah, maka termasuk di dalamnya debu, pasir dan batu. Itulah pendapat Malik. Satu pendapat mengatakan sesuatu yang sejenis dengan debu seperti pasir, granit atau bebatuan. Inilah madzhab Abu Hanifah. Pendapat lain mengatakan debu saja. Inilah pendapat asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal yang halus dan bersih.
Dalam hadits lain diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Kita dilebihkan dari umat-umat yang lain pada tiga hal; shaf-shaf kita dijadi-kan seperti shaf-shaf para Malaikat, seluruh tanah dijadikan untuk kita sebagai masjid, serta debunya dijadikan suci untuk kita apabila kita tidak menemukan air.”
Di dalam satu lafazh: “Semua debunya dijadikan suci untuk kita, apabila kita tidak menemukan air.” Mereka berkata: “Maka dikhususkan bersuci dengan debu pada posisi mulia, kalau saja ada selain debu tentu akan disebutkan bersama.”
Thayyib yang dimaksud di sini menurut sebagian pendapat adalah halal, dan menurut pendapat yang lain adalah sesuatu yang tidak najis, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali Ibnu Majah, dari hadits Abu Qilabah dari ‘Amr bin Najdan, dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tanah yang bersih adalah alat bersuci seorang muslim, sekalipun ia tidak me-nemukan air 10 musim haji. Apabila dia telah menemukan air, maka hendak-lah ia menyentuhkannya ke kulitnya (berwudhulah), karena hal itu lebih baikbaginya.” (At-Tirmidzi berkata: Hasan shahih, serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban.)
Firman Allah: famsahuu biwujuuHikum wa aidiikum (“Sapulah mukamu dan tanganmu.”) Tayamum adalah ganti dari wudhu dalam bersuci, bukan ganti dari wudhu dari seluruh anggotanya, akan tetapi cukup mengusap wajah dan dua tangan saja menurut ijma’. Para Imam berbeda pendapat tentang bagaimana cara tayamum:
1. Madzhab Syafi’i dalam perkataan barunya, bahwa wajib membasuh wajah dan kedua tangannya hingga siku dengan dua kali tepukan, karena lafazh “yadain” (kedua tangan), maknanya dapat ditujukan hingga mencapai dua pundak dan hingga mencapai dua siku sebagaimana ayat wudhu dan dapat pula ditujukan hingga mencapai dua pergelangan tangan sebagaimana dalam ayat pencurian: “Maka potonglah tangan keduanya.” Mereka berpendapat, apa yang di-mutlaqkan dalam ayat ini harus dibawa ke dalam ayat wudhu yang membatasinya itulah penggabungan yang lebih utama dalam bersuci.
Asy-Syafi’i berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ash-Shamah bahwasanya Rasulullah tayamum mengusap wajah dan dua tangannya hingga siku.
2. Bahwa wajib mengusap wajah dan dua tangan, hingga pergelangan tangan dengan dua kali tepukan. Itulah pendapat lama asy-Syafi’i.
3. Cukup membasuh wajah dan dua telapak tangan dengan satu kali tepukan. Imam Ahmad mengatakan dari`Abdurrahman bin Abzi dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki datang kepada `Umar dan berkata, “Sesungguhnya aku junub dan tidak menemukan air”. Maka `Umar berkata, “Jangan engkau shalat.” ‘Ammar berkata, “Apakah engkau tidak ingat wahai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau di dalam sekelompok pasukan perang, lalu kita mendapatkan junub dan tidak mendapatkan air. Adapun engkau, maka engkau tidak melakukan shalat, sedangkan aku, maka aku berguling di debu lalu shalat. Ketika kita mendatangi Nabi, hal itu kuceritakan kepada beliau, lalu beliau bersabda: ‘Cukuplah engkau begini,’ beliau memukulkan tangan-nya ke tanah kemudian meniupnya, lalu mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengannya.”
Allah berfirman di surat al-Maa-idah: “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maa-idah: 6). Dengan ayat itu asy-Syafi’i berdalil, bahwa tayamum harus dilakukan dengan menggunakan tanah yang suci, yang mengandung debu, hingga ada sebagian debu yang menempel ke wajah dan kedua tangan.
Sebagaimana asy-Syafi’i meriwayatkan dengan sanadnya yang lalu dari Ibnu ash-Shamah, bahwa ia melewati Nabi yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepada beliau, akan tetapi tidak dijawabnya, hingga ia berdiri menghadap ke dinding, kemudian beliau menggosoknya dengan menggunakan tongkat yang ada di tangannya (mengumpulkan debu/tanah), lalu menepukkan tangannya dan diusapkan ke wajah dan kedua tangannya hingga siku.
Dan firman-Nya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (QS. Al-Maa-idah: 6) Artinya di dalam agama yang di-syari’atkan-Nya untuk kalian. “Akan tetapi Allah hendak membersihkan kamu.” (QS. Al-Maa-idah: 6) Untuk itu dibolehkan-Nya tayamum, jika kalian tidak menemukan air, kalian dapat berpaling kepada tayamum dengan debu. Tayamum adalah nikmat bagi kalian agar kalian bersyukur. Untuk itu umat ini diberi kekhususan dengan syari’at tayamum yang tidak diberikan kepada umat-umat yang lain.
Di dalam ash-Shahihain, diriwayatkan dari Jabir bin `Abdullah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seseorang (Nabi) sebelum-ku; Aku dibantu dengan (ditanamkan) rasa gentar (pada diri musuh) sepanjang perjalanan satu bulan, tanah dijadikan untukku masjid dan alat untuk bersuci. Maka siapa saja di antara umatku yang mendapatkan waktu shalat, maka shalatlah.”
Dalam satu lafazh tercantum: “(Dijadikan tanah sebagai) masjid dan alat bersuci, dihalalkan ghanimah (harta rampasan perang) untukku yang tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku dan aku diberikan syafa’at, dan bahwa para Nabi diutus untuk kaumnya raja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.”
Allah berfirman dalam ayat yang mulia ini: famsahuu biwujuuHikum wa aidiikum innallaaHa kaana ‘afuwwan ghafuuran (“Sesungguhnya Allah Mahapemaaf lagi Mahapengampun.”) Yaitu, salah satu wujud pemberian maaf dan pengampunan-Nya bagi kalian adalah, disyari’atkannya tayamum bagi kalian dan dibolehkannya bagi kalian melakukan shalat dengan tayamum apabila kalian kehabisan air, sebagai suatu keluasan dan keringanan bagi kalian.
Oleh karena itu, sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan penyucian shalat dari pelaksanaannya yang kurang layak, berupa mabuk hingga sadar atau hingga memahami apa yang diucapkan, berupa junub hingga mandi atau berupa hadats hingga berwudhu kecuali sakit atau tidak ada air. Sesungguhnya Allah telah memberikan rukhsah dalam hal tayamum dan kondisi-kondisinya ini sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya, kasih sayang dan keluasan bagi mereka. Hanya bagi Allah segala puji dan anugerah.
SEBAB TURUNNYA SYARIAT TAYAMUM:
AL-Bukhari meriwayatkan, dari `Aisyah ia berkata: “Kami pemah keluar bersama Rasulullah saw. pada sebagian perjalanannya hingga kami berada di sebuah dataran atau di Dzatul Jaisy, lalu kalungku terputus (hilang), maka Rasul berhenti untuk mencarinya, lalu yang lain pun ikut berhenti pula bersama beliau. Saat itu mereka tidak memiliki air, maka mereka mendatangi Abu Bakar dan berkata: “Cobalah kaulihat apa yang dilakukan Aisyah yang menyebabkan Rasul dan seluruh orang mencari-cari, padahal mereka tidak memiliki air.”
Lalu Abu Bakar datang kepada Rasulullah yang saat itu sedang meletakkan kepala beliau di atas pahaku dan tidur. la berkata: “Engkautelah menghalangi Rasulullah saw. dan orang-orang, sedang mereka tidak mendapatkan air dan mereka tidak memiliki air.” ‘Aisyah berkata, Abu Bakar terus mengomeli aku sampai-sampai beliau mengucapkan yang macam-macam dan mencubit pinggangku. Tidak ada yang menghalangi aku bergerak saat itu kecuali karena kepala beliau ada di pangkuanku.
Lalu di waktu pagi Rasul bangun dengan tidak menemukan air. Maka Allah menurunkan ayat tayamum yang kemudian mereka lakukan tayamum. Usaid bin al-Hudhair berkata: “Itu bukanlah awal keberkahan kalian yang pertama kali wahai keluarga Abu Bakar.” `Aisyah berkata: “Lalu kami membangunkan unta yang aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari dari Qutaibah dari Isma’il dan Muslim dari Yahya bin Yahya dari Malik).
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top