Sunday, June 10, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 34

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 34

7FEB
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 34“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mababesar.” (QS. an-Nisaa’: 34)
Allah berfirman: ar riajaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i (“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”) Yaitu laki-laki adalah pemimpin kaum wanita dalam arti pemimpin, kepala, hakim dan pendidik wanita, jika ia menyimpang; bimaa fadl-dlalallaaHu ba’dlaHum ‘alaa ba’dlin (“Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita].”)
Yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan laki-laki lebih baik daripada wanita. Karena itu, kenabian dikhususkan untuk laki-laki. Begitu pula raja (Presiden), berdasarkan sabda Rasulullah: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita (sebagai pemimpin) dalam urusan mereka.” (HR. Al-Bukhari).
Begitu pula dengan jabatan kehakiman dan lain-lain.
Wa bimaa anfaquu min amwaaliHim (“Dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.”) Yang berupa mahar, nafkah dan berbagai tanggung jawab yang diwajibkan Allah kepada mereka dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Maka, laki-laki lebih utama dari wanita dalam hal jiwanya dan laki-laki memiliki keutamaan dan kelebihan sehingga cocok menjadi penanggung jawab atas wanita, sebagaimana firman Allah: “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”(QS. Al-Baqarah: 228)
`Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas tentang: ar riajaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i (“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”) Yaitu, pemimpin-pemimpin atas wanita yang harus ditaati sesuai perintah Allah untuk mentaatinya. Dan ketaatan padanya adalah berbuat baik terhadap keluarganya dan memelihara hartanya. Demikian pendapat Muqatil, as-Suddi dan adh-Dhahhak.
Asy-Sya’bi berkata tentan ayat ini: ar riajaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i bimaa fadl-dlalallaaHu ba’dlaHum ‘alaa ba’dliw Wa bimaa anfaquu min amwaaliHim (“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebahagian harta mereka.”) Yaitu, berupa mahar suami kepada isterinya. Apakah tidak engkau lihat seandainya suami menuduh isterinya berzina, maka terjadilah li’an. Dan jika si isteri yang menuduhnya, maka dikenakan hukum jild (cambuk).”
(Li’an menurut bahasa, kutuk-mengutuk. Menurut syara’: menuduh isteri berzina. Lihat surat an-Nuur, ayat 6-10)
Firman Allah: fash shaalihaatu (“Maka orang-orang shalih,”) maksudnya, dari kaum wanita. Qaanitaatun (“Yang taat.”) Ibnu `Abbas dan banyak ulama berkata, artinya wanita-wanita yang taat pada suaminya. Haafidhaatul lilghaibi (“Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.”) As-Suddi dan ulama yang lain berkata: “Yaitu wanita yang menjaga suaminya di waktu tidak ada (di samping-nya) dengan menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya.”
Firman Allah: bimaa hafidhallaaHu (“Oleh karena Allah telah memelihara mereka.”) Yaitu, orang yang terpelihara adalah orang yang dijaga oleh Allah.
Imam Ahmad meriwayatkan, dari `Abdullah bin Abu Ja’far, Ibnu Qaridz mengabarkan kepadanya bahwa `Abdurrahman bin `Auf berkata, Rasulullah saw. bersabda: “
“Apabila seorang wanita menjaga shalat yang lima waktu, puasa Ramadhannya, menjaga farjinya (kemaluannya) dan mentaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya; ‘Masuklah ke dal am jannah (Surga) dari pintu mana saja yang kamu kehendaki.’”
Hanya Ahmad yang meriwayatkan dari jalan`Abdullah bin Qaridzdari `Abdurrahman bin `Auf.
Firman Allah: wal laatii takhaafuuna nusyuuzaHunna (“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya.”) Yaitu, wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya kepada suami mereka. An-Nusyuz adalah merasa lebih tinggi. Berarti wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. Kapansaja tanda-tanda nusyuz itu timbul, maka nasehatilah dia dan takut-takutilah dengan siksa Allah, jika maksiat kepada suaminya. Karena Allah telah mewajibkan hak suami atas isteri, dengan ketaatan isteri kepada suami, serta mengharamkan maksiat kepadanya, karena keutamaan dan kelebihan yang dimiliki suami atas isteri.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke pembaringan, lalu ia tidak mau, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Muslim).
Karena itu Allah berfirman: wal laatii takhaafuuna nusyuuzaHunna fa-‘idhuHunna (“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka.”)
Sedangkan firman Allah: waHjuruuHunna fil madlaaji’i (“Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”) `Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu`Abbas: “Al-hajru yaitu tidak menjima’ (menyetubuhi) dan tidak tidur dengan dia di atas pembaringannya, serta berupaya membelakanginya.”
Demikianlah yang dikatakan banyak ulama, sedangkan ulama lain seperti as-Suddi, adh-Dhahhak, `Ikrimah dan Ibnu `Abbas dalam satu riwayatnya menambahkan: “Tidak berbicara dan tidak bercengkrama.” `Ali bin Abi Thalhah pun menceritakan dari Ibnu `Abbas: “Yaitu, hendaklah ia nasehati, jika ia terima. Jika tidak, hendaklah ia pisahkan tempat tidurnya dan tidak berbicara dengannya tanpa terjadi perceraian. Dan hal tersebut sudah pasti memberatkannya.”
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Murrah ar-Raqqasyi dari paman-nya, bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika kalian khawatir nusyuznya mereka para isteri, maka berpisahlah dari tempat tidurnya.” Hammad berkata: “Yaitu, (tidak) menggaulinya (menyetubuhinya).”
Di dalam Sunan dan Musnad, dari Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi bahwa ia berkata: “Ya Rasulullah, Apakah hak isteri atas suaminya?” Beliau menjawab: “Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan mencelanya dan jangan pisah ranjang kecuali di dalam rumah.”
Firman-Nya: wadl-ribuuHunna (“pukullah mereka”) yaitu jika nasehat dan pemisahan tempat tidur tidak menggentarkannya, maka kalian boleh memukulnya dengan tidak melukai. Sebagaimana hadits dalam Shahih Muslim dari Jabir, bahwa Nabi dalam Haji Wada’ bersabda: “Bertakwalah kepada Allah tentang wanita, sesungguhnya mereka adalah pendamping kalian, kalian mempunyai hak terhadap mereka. Yaitu, mereka tidak boleh membiarkan seorangpun yang kalian benci menginjak hamparan kalian (masuk ke rumah kalian). Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai dan mereka memiliki hak untuk mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”
Ibnu `Abbas dan ulama-ulama lain berkata: “Yaitu pukulan yang tidak melukai.” Al-Hasan al-Bashri berkata: “Yaitu, (pukulan yang) tidak meninggalkan bekas.” Para fuqaha berkata: “Yaitu tidak melukai anggota badan dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun.” `Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu`Abbas: “Yaitu, memisahkannya dari tempat tidur, jika ia terima. Jika tidak, Allah mengizinkanmu untuk memukulnya, dengan pukulan yang tidak mencederai dan tidak melukai tulang, jika ia terima. Dan jika tidak juga, maka Allah menghalalkanmu untuk mendapatkan tebusan darinya.”
Sufyan bin `Uyainah mengatakan dari Iyas bin `Abdullah bin Abu Dzu-ab, ia berkata, Nabi bersabda: “Janganlah kalian memukul isteri-isteri kalian.” Lalu datanglah `Umar ra. kepada Rasulullah dan berkata: “Para wanita mulai membangkang kepada suami-suaminya. Maka Rasulullah memberikan rukhshah (keringanan hukum) untuk memukul mereka.
Lalu datanglah banyak wanita kepada isteri-isteri Rasulullah saw, mengadukan tentang pemukulan suami mereka. Maka bersabdalah Rasulullah saw: “Sungguh banyak wanita yang berdatangan kepada isteri-isteri Muhammad, mengadukan tentang pemukulan suami mereka. Mereka itu bukanlah yang terbaik di antara kalian”. Hadits ini riwayat Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.
Firman Allah: fa in atha’nakum falaa tabghuu ‘alaiHinna sabiilan (“Jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”) Yaitu jika isteri mentaati suaminya dalam semua kehendak yang dibolehkan oleh Allah, maka tidak boleh mencari-cari jalan lain setelah itu, serta tidak boleh memukul dan menjauhi tempat tidurnya.”
Firman-Nya: innallaaHa kaana ‘aliyyan kabiiran (“Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”) (Hal ini) adalah ancaman untuk laki-laki, jika mereka berbuat zhalim kepada para isteri tanpa sebab, maka Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Allah yang akan menjaga mereka dan Allah akan menghukum orang yang berbuat zhalim kepada mereka.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top