Saturday, June 9, 2018

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 233

0 Comments

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 233

27APR
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 233“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ini adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar radlaa-‘ata (“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan.
Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari dua tahun.”
Kemudian ad-Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafizh.”
Berkenaan dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.”
Makna yang terkandung dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS. Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn bulan.”
Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik. Wallahu aalam
Dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu! Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”) (QS. An-Nisaa: 23)
Dan firman Allah: wa ‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi (“Dan ke-wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara yang ma’ruf.”) Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagai-mana firman Allah swt. yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut, lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Dan firman-Nya lebih lanjut: laa tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laa mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang ayah [menderita ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.
Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi, ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa ‘alal waaritsi mitslu dzaalika (“Dan waris pun berkewajiban demikian.”) Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya’bi dan adh-Dhahhak. Ada juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut madzhab Hanafi dan Hambali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Khaththab dan jumhur ulama salaf.
Dan disebutkan pula bahwa penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap badan maupun otaknya.
Dan firman-Nya selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa tasyaawurin falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh ats-Tsauri dan ulama lainnya.
Hal ini merupakan tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak. Anak merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat ath-Thalaq berikut ini yang artinya: “Dan jika nereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik.Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaaq: 6).
Dan firman-Nya: wa in aradtum an tastardli-‘uu aulaadakum falaa junaaha ‘alaikum idzaa sallamtum maa aataitum bil ma’ruuf (“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut apa yang patut.”) Maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.
Dan firman Allah: wattaqullaaHa (“Bertakwalah kepada Allah,”) dalam segala hal dan keadaan kalian. Wa’lamuu annallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.
&

No comments:

Post a Comment

 
back to top