Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 44
17FEB
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 44
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berpikir.” (QS. 2:44)
Allah swt bertanya, “Wahai sekalian ahlul kitab, apakah kalian pantas menyuruh manusia berbuat berbagai kebajikan, sedang kalian melupakan diri sendiri. Kalian tidak melakukan apa yang diperintahkan itu, padahal kalian membaca al-Kitab dan mengetahui kandungannya yang berisi ancaman terhadap orang yang mengabaikan perintah Allah? Apakah kalian tidak memikirkan apa yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri itu, sehingga kalian terjaga dari tidur kalian dan terbuka mata kalian dari kebutaan?”
Abu Darda’ ra. mengatakan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang mendalam sehingga ia mencela orang lain karena Allah, kemudian ia mengintropeksi dirinya sendiri, akhirnya ia lebih mencela dirinya sendiri. Yang dimaksud, bukan celaan terhadap usaha mereka menyuruh berbuat kebajikan, namun yang wajib dan lebih patut baginya adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang ia perintahkan dan tidak menyelisihi mereka. Sebagaimana kata Nabi Syu’aib as:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Huud: 88).
Dengan demikian, amar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan pengamalannya merupakan suatu kewajiban-yang tidak gugur salah satu dari keduanya dengan meninggalkan yang lainnya. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama salaf maupun khalaf.
Yang benar, orang alim hendaknya menyuruh berbuat baik meskipun ia tidak mengamalkannya atau mencegah kemungkaran meskipun ia sendiri mengerjakannya.
Imam Malik meriwayatkan dari Rabi’ah katanya, aku pernah mendengar Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika seseorang tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran sampai pada dirinya tidak terdapat sesuatu (dosa/cela) apapun, maka tidak akan ada seorang pun yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.” Malik berkata, “Benar demikian, siapakah orang yang pada dirinya tidak terdapat sesuatu apa pun?” Penulis (Ibnu Katsir) katakan, “Namun seorang alim dengan keadaan demikian itu tercela karena meninggalkan ketaatan dan mengerjakan kemaksiatan sedang ia mengetahui, dan tindakannya menyalahi perintah dan larangan itu berdasarkan pada kesadaran. Dan pengetahuannya akan hal tersebut. Sesungguhnya orang yang mengetahui tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui. Oleh karena itu, ada beberapa hadits yang memaparkan ancaman keras terhadap hal itu.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya aku pemah mendengar Rasulullah bersabda: “Pada malam aku dinaikkan ke langit (mi’raj), aku melewati beberapa orang yang bibir dan lidahnya dipotong dengan gunting yang terbuat dari api. Kemudian aku tanyakan: `Siapakah mereka itu, hai fibril?’ Jibril pun menjawab, `Mereka itu adalah para pemberi ceramah dari umatmu yang menyuruh berbuat baik kepada manusia tetapi melupakan dirinya sendiri”‘. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih)
Imam Ahmad meriwayatkan, pemah dikatakan kepada Usamah, tidakkah engkau menasehati `Utsman? Maka Usamah berkata, bukankah kalian tahu bahwa aku tidak menasehatinya melainkan akan kusampaikan kepada kalian? Aku pasti menasehatinya tanpa menimbulkan masalah yang aku sangat berharap tidak menjadi orang pertama yang membukanya. Demi Allah aku tidak akan mengatakan kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau ini sebaik-baik manusia,” meskipun di hadapanku itu seorang penguasa, karena aku telah mendengar sabda Rasulullah saw. Maka orang-orang pun bertanya: “Apa yang engkau dengar dari sabdanya itu?”
Usamah menjawab, beliau telah bersabda:
“Pada hari kiamat kelak akan didatangkan seseorang, lalu dicampakkan ke dalam neraka. Kemudian usus-ususnya terburai, dan ia berputar mengitari usus-ususnya itu, seperti keledai mengitari sekitar penggilingannya. Maka para penghuni neraka pun berputar mengelilinginya seraya berkata: `Hai fulan, apa yang menimpa dirimu, bukankah dahulu engkau suka menyuruh kami berbuat kebaikan dan mencegah kami berbuat kemungkaran’? Ia pun menjawab: ‘Dahulu aku menyuruh Ialian berbuat baik, tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan melarang kalian berbuat kemungkaran, tetapi aku sendiri mengerjakannya.”‘ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
“Pada hari kiamat kelak akan didatangkan seseorang, lalu dicampakkan ke dalam neraka. Kemudian usus-ususnya terburai, dan ia berputar mengitari usus-ususnya itu, seperti keledai mengitari sekitar penggilingannya. Maka para penghuni neraka pun berputar mengelilinginya seraya berkata: `Hai fulan, apa yang menimpa dirimu, bukankah dahulu engkau suka menyuruh kami berbuat kebaikan dan mencegah kami berbuat kemungkaran’? Ia pun menjawab: ‘Dahulu aku menyuruh Ialian berbuat baik, tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan melarang kalian berbuat kemungkaran, tetapi aku sendiri mengerjakannya.”‘ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah didatangi oleh seseorang seraya berkata: “Hai Ibnu Abbas, Sungguh aku ingin menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau telah menyampaikannya?” la menjawab: “Aku baru ingin melakukannya.” Kemudian Ibnu Abbas mengatakan: “Jika engkau tidak khawatir akan terbongkar aib dirimu dengan tiga ayat di dalam al-Qur’an, maka kerjakanlah.” Ia pun bertanya: “Apa saja ketiga ayat tersebut?” Ibnu Abbas menjawab, firman Allah “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan sedang kamu melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri.” “Apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” tanya Ibnu Abbas. Orang itu menjawab: “Belum.”
Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat yang kedua, firman Allah: Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau sudah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” Sahutnya: “Belum.”
Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat ketiga yaitu ucapan seorang hamba yang shalih, Syu`aib as: ‘Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.’ (QS. Huud: 88). Tanya Ibnu Abbas lagi: “Dan apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” la pun menjawab: “Belum.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya).
Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat yang kedua, firman Allah: Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau sudah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” Sahutnya: “Belum.”
Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat ketiga yaitu ucapan seorang hamba yang shalih, Syu`aib as: ‘Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.’ (QS. Huud: 88). Tanya Ibnu Abbas lagi: “Dan apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” la pun menjawab: “Belum.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya).
&
No comments:
Post a Comment